Ada pertanyaan banyak orang tentang apa sesungguhnya yang membedakan UU PPLH dengan UU lingkungan hidup sebelumnya. Selain sebagai jalan menjawab konsensus global, ada perubahan konstitusi yang terjadi di Indonesia yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sepanjang tahun 1999 hingga 2002.
Secara konsep, merujuk pendapat Prof. Sri Soemantri, perubahan atau mengubah UUD tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata atau kalimat, melainkan juga membuat isi ketentuan UUD menjadi lain dari semula, melalui penafsiran (Surajiyo, 2006).
Amandemen pertama berlangsung pada masa sidang 14-21 Oktober 1999. Hal yang dibahas periode pertama adalah pembatasan kekuasaan presiden, termasuk pembatasan masa jabatan. Amandemen kedua dilakukan 7-18 Agustus 2000, membahas wewenang dan posisi pemerintah daerah, termasuk hak asasi manusia, masyarakat adat, sistem pertahanan dan keamanan, pemisahan struktur TNI dan Polri, bendera, bahasa, dan lambang negara. Amandemen ketiga dilakukan pada 1-9 September 2001, perubahan terkait pemilihan umum, restrukturisasi dan perubahan wewenang MPR, termasuk DPD dan sejumlah badan. Amademen keempat pada tanggal 1-9 September 2002 menegaskan aturan peralihan dan perubahan dua bab.
Ada perubahan postur UUD 1945 dan UUD NRI Tahun 1945. Dalam UUD 1945, berisi 16 bab, 37 pasal, 65 ayat, dan 4 pasal aturan peralihan serta 2 ayat tambahan. Sedangkan setelah perubahan, UUD berisi 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal aturan peralihan, dan 2 pasal aturan tambahan.
Amandemen dilakukan untuk kepentingan pengaturan sejumlah hal, misalnya pembatasan kekuasaan presiden, perluasan otonomi daerah dan desentralisasi, penegakan HAM, demokratisasi proses pemilihan, pemisahan tentara dan Polisi, pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Komisi Yudisial, Komisi Konstitusi, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).
Amandemen dilakukan sejalan konsep pembatasan kekuasaan dalam konstitusionalisme yang disebut Carl J. Friedrich, untuk menjamin agar kekuasaan tidak ada peluang disalahgunakan (Marzuki, 2016). Pembatasan kekuasaan itu sendiri dapat dipandang sebagai ruhnya dalam konstitusi (Asshiddiqie, 2011; Nugraha, 2018). Perubahan itulah antara lain yang dilakukan pada 1999-2002.
Perubahan yang terjadi tetap berpengaruh pada kondisi bangsa dan negara (Anand, 2013). Namun demikian, juga ada catatan bahwa hasil amandemen yang telah dilakukan tersebut, ternyata juga masih punya kelemahan, terutama dalam praktik kenegaraan. Sejumlah kebutuhan hukum masyarakat sudah terpenuhi, namun ada sejumlah ketentuan terkait sistem perwakilan, kedudukan, tugas dan kewenangan lembaga negara dipandang masih butuh penyempurnaan (Wijayanti, 2009).
Dari perubahan tersebut, termasuk di dalamnya terkait soal lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga Indonesia. Dengan demikian, pengaturan tentang HAM lingkungan dilakukan pada amandemen tahap kedua, tahun 2000. Konsekuensi dari pengaturan ini adalah, bahwa negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Pengaturan ini sendiri berdampak pada konsekuensi jika tidak dilakukan perlindungan dan pengelolaan, yakni menjadi satu bentuk pelanggaran HAM bidang lingkungan hidup. Dengan demikian, membiarkan kerusakan atas lingkungan hidup termasuk dalam bentuk pelanggaran HAM (Mulyadi, 2022).
Dengan adanya ketentuan HAM lingkungan, akan berpengaruh bagi upaya untuk menjaga lingkungan yang bersih dan sehat (Sodikin, 2021). Penegasan ini pula yang ada dalam konstitusi, secara lebih luas juga akan berpengaruh pada perbaikan berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
Alasan perubahan UUD pula yang menjadi salah satu kebaruan UU PPLH dari UU PLH. Hal ini berimplikasi pada penguatan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik. Dasar ini pula yang mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, serta proses penanggulangan dan penegakan hukum.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Senin, 5 Mei 2025]