Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).
Seperti yang telah diduga oleh banyak analis hubungan internasional, bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 tahun 2021 Negara-negara Kelompok Tujuh (G7) di resor Cornish Bay, Cornwall, Inggris, akan lebih dominan berputar pada narasi “ancaman China.”
Percepatan luasan jangkar ekonomi China serta menguatnya pengaruh negara itu di arena internasional, telah membuat kekuatan utama yang ingin terus mempertahankan status quo atas polaritas tatanan global merasa sangat terancam. Pertemuan hari kedua, G-7 kemudian menyepakati suatu proposal rencana proyek yang didekasikan pada upaya meningkatkan persaingan dengan China.
Para pemimpin negara-negara anggota G7 yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Perancis, Italia, Jepang dan Kanada, mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan suatu proyek infrastruktur besar yang dinamai dengan “Build Back Batter World (B3W),” Diberitahukan, proposal proyek yang diperuntukkan bagi negara-negara berkembang itu datang di bawah panduan AS dalam upaya memunculkan alternatif tandingan terhadap proyek China multi-triliunan dolar, yaitu “Belt and Road Initiative (BRI)”. Pertanyaan pokok analisis kita kali ini adalah, akankah proyek B3W akan berjalan mulus dan dapat efektif mengekang laju China?
Peluncuran B3W sebagai suatu langkah respon yang berpijak pada narasi “ancaman China” itu lebih tampak sebagai rencana frustasi G7. Blok negara-negara yang menobatkan identitas diri mereka sebagai kelompok negara dengan demokrasi terbesar dan ekonomi terkaya di dunia itu bahkan tidak dapat mengkonfirmasi gagasan yang utuh dari proposal tersebut, dan juga soal bagaimana teknis pelaksanaannya. Intinya, tidak ada perencanaan dan ataupun rancangan yang matang telah di desain sebelumnya, hingga sampai di meja meeting G-7 untuk disepakati dan ditindak lanjuti keputusan langkah-langkah kongkrit bagi implementasinya.
Menyinggung identitas ilusi G-7 itu sendiri, seorang anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh, George Galloway, sempat menyindir dengan sangat pedas mengenai hal itu. Galloway yang dikenal kritis dan vokal terhadap tatanan global yang monopolar, mengidentifikasi sifat partisan G7. Ia kemudian menyatakan “G7 tidak mewakili negara demokrasi dunia maupun ekonomi terbesarnya.” Sandaran identitas G7 sama sekali tidak fair.
“Kanada bisa berada di sana hanya karena sentimen. Indonesia, India, dan negara-negara demokrasi besar lainnya dikecualikan. Ekonomi terbesar kedua di dunia, China, juga demikian. Negara terbesar di Eropa – bahkan negara terbesar di dunia – Rusia adalah persona non grata atas ‘invasi’ Krimea,” tulis Galloway lebih lanjut dalam opininya yang diterbitkan media internasional RT.com.
Pejabat AS dan Eropa teleh secara rutin mengkritik dengan tajam proyek BRI China, yang mereka sebut sebagai kendaraan untuk ekspansi Komunis China. Namun selama ini belum tercetus ide untuk mendorong lahirnya suatu proyek nyata untuk bersaing dengan BRI. Sementara China terus bergerak agresif memajukan proyek Jalur Sutera-nya itu, sedangkan Barat, alih-alih menanggapi dengan prakarsa proyek jangkar ekonomi alternatifnya, justru mengambil jalan naif. Dengan berbagai cara, Barat berupaya hanya memberi gangguan terhadap BRI. Baru pada pertemuan puncak G-7 Tahun 2021, suatu langkah kompetisi lapangan nyata terhadap BRI disepakati dan diumumkan secara publik, yaitu rencana proyek infrastruktur dengan label B3W.
BRI China yang dijuluki sebagai proyek Jalur Sutra Abad 21, dengan pembangunan infrastruktur ekonomi ambisius, menghubungkan antara Timur dan Barat, memang cukup realistis untuk dilihat sebagai ancaman utama terhadap kemapanan posisi dominan AS dan juga para anggota G7 lainnya. Maksudnya adalah ancaman dalam matarantai struktur kendali tatanan ekonomi-politik global hari ini. Jauh sebelum peluncuran gagasan B3W, berbagai upaya Barat untuk menggagalkan BRI, atau setidaknya memperlambat lajunya, hingga sejauh ini tidak menunjukkan hasil efektif, disebabkan oleh — saya menyebutnya — faktor “orkestrasi tak harmoni” di antara sekutu Barat.
Proyek Jalur Sutra, yang saya kira bukan suatu kebetulan, diumumkan oleh Presiden China Xi Jinping, saat ia berkunjung ke Jakarta delapan tahun lalu (2013), melibatkan inisiatif pengembangan dan investasi yang akan membentang dari Asia hingga Eropa dan sekitarnya. Mulai dari itu, Beijing pun — dalam skema BRI –telah menandatangani sekitar 200 dokumen kerja sama dengan 167 negara dan organisasi internasional. Tujuannya adalah untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama antara Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Hal itu diperkirakan akan secara signifikan meningkatkan perdagangan global, memotong biaya perdagangan hingga setengahnya untuk negara-negara yang terlibat.
Ide proyek B3W dari G7 yang saya sebut muncul dari rasa frustasi dalam menanggapi berbagai kemajuan signifikan proyek BRI China, bukan tiada alasan. Indikasinya, ketiadaan konsep yang jelas tentang seperti apa rancangannya yang dapat digambarkan dan bagaimana ia akan dilaksanakan. Ketika mengandalkan investasi swasta, secara tak terelakkan proyek tersebut harus memberikan suatu proyeksi atas profit yang meyakinkan. Diperlukan suatu ajuan analisis pada basis pengelolaan risiko yang mungkin ditimbulkan. Hal itu juga mengingat bahwa proyek ini, dari sisi gagasannya, berangkat dari motif persaingan geopolitik dalam skala global, di bawah tajuk “ancaman China.” Jadi, untuk melibatkan pihak-pihak dengan basis kalkulasi orientasi profit, skema pengelolaan risiko dan jaminan dalam mengatasi kemungkinan kegagalan mesti sangat jelas.
Merujuk pada keterangan pers G7, proyek B3M hanya menyebutkan skema pembiayaan yang mengandalkan investasi pihak swasta, tanpa perincian lebih lanjut yang dapat dianggap sebagai suatu produk rancangan terencana dan matang. Tentu pihak swasta hanya akan tertarik untuk berinvestasi pada proyek tersebut ketika mereka cukup yakin akan keuntungan yang akan diperoleh. Intinya, B3M harus lebih kuat pendasarannya pada logika bisnis, ketimbang pertimbangan logika persaingan di arena geopolitik. Jika tidak demikian, maka proyek itu dapat dipastikan akan mangkrak pada tahap-tahap awal dimulai, jikapun tidak pada tataran rancangan peta jalan dari gagasannya.
Tom Fowdy, seorang analis politik dan hubungan internasional, dalam satu op-ed nya yang dimuat media internasional, RT.com, memandang rencana proyek B3W diluncurkan sebagai kemuliaan yang ditakdirkan untuk gagal. “Sepintas, proposal Barat untuk program investasi infrastruktur global yang mirip dengan China (itu) tampak mengesankan. Tetapi niatnya untuk menggunakan keuangan swasta membuatnya tidak mungkin untuk dianggap serius,” tulis Fowdy.
Pada bagian lain dari tulisannya itu, Fowdy secara retorik menulis, “..cukup jelas mengapa Barat tidak akan mampu menawarkan alternatif yang serius untuk itu. Pertama, negara-negara G7 ingin menggunakan pembiayaan swasta, tetapi tidak menjanjikan uang sepeser pun di muka, karena motivasi utama di balik investasi swasta adalah potensi untuk menghasilkan keuntungan. Siapa yang akan menginvestasikan miliaran dalam proyek-proyek berisiko tinggi di negara-negara miskin – sebagaimana yang dilakukan BRI – seperti Republik Demokratik Kongo, atau Pakistan? Atau bahkan negara musuh seperti Iran?”
Gambaran lebih lanjut dari tujuan proyek B3W datang dari seorang pejabat senior di Pemerintahan Kepresidenan AS. Sebagaimana di lansir oleh berbagai media arus utama, Pejabat itu menyebut tujuan proyek tersebut untuk menyediakan kemitraan infrastruktur yang transparan, dalam apa yang ia sebut, untuk “membantu mempersempit kebutuhan infrastruktur senilai $40+ triliun di negara berkembang, yang telah diperburuk oleh pandemi COVID-19.” Dikatakannya, “ini bukan hanya tentang menghadapi atau menghadapi China, tetapi sampai sekarang kami belum menawarkan alternatif positif yang mencerminkan nilai-nilai kami, standar kami, dan cara kami melakukan bisnis.”
Kanselir Jerman Angela Merkel, saat memberi komentar mengenai B3W, ia menyebutnya sebagai “inisiatif penting” sangat dibutuhkan di Afrika. “Kami tidak bisa duduk diam dan mengatakan bahwa China akan melakukannya tetapi ambisi G7 untuk memiliki agenda positif bagi sejumlah negara di dunia yang masih tertinggal,” ungkap Markel untuk menegaskan persetujuannya atas proposal itu. Sayangnya, tidak ada diantara pemimpin G7 atau yang mewakili otoritas mereka, untuk segera mengungkap tentang bagaimana proyek itu akan dilaksanakan. Hal yang paling penting tentu terkait gambaran tentang berapa banyak investasi yang pada akhirnya akan dibutuhkan dan penentuan waktu pelaksanaannya.
Secara eksplisit Markel menyebut (benua) Afrika, yang dimana China kini, dengan berbagai proyek infrastruktur ekonomi yang massif disana, telah hadir dan diterima dengan baik pengaruhnya. Lalu apakah, dengan kehadiran itu, Afrika telah menjadi objek kolonisasi China abad 21, sebagaimana kerap menjadi framing tuduhan Barat yang berpijak pada narasi “ancaman China.” Berseberangan jauh dengan tuduhan Barat itu, negara-negara Afrika malah tidak melihat diri mereka sebagai korban eksploitasi ekonomi China. Justru, Afrika mencintai China. Menurut negara-negara Afrika, seperti yang ditulis oleh Mehari Taddele Maru (Al Jazeera), China dipandang sebagai penyelamat—sekutu Afrika yang bisa dipercaya. Negara yang tidak memiliki sejarah aspirasi kolonial di Afrika, dan mitra yang dapat menyediakan dana sangat dibutuhkan tanpa ikatan apa pun. Beijing juga dipercaya begitu memahami dan menghormati prioritas Afrika.
China telah hadir dengan jumlah investasi yang sangat besar di Afrika. Melalui skema yang disebut “China-Africa Development Fund (CADFund),” didirikan pada Juni 2007, Beijing mendorong dan mendukung perusahaan-perusahaan China untuk berinvestasi di Afrika. Dana ekuitas investasi dioperasikan oleh Bank Pembangunan China itu terkonsentrasi pada industri dan bidang yang membantu mempromosikan pembangunan ekonomi Afrika, seperti pertanian, manufaktur, infrastruktur, dan sumber daya.
CADFund telah menjadi platform utama bagi pembangunan Afrika, bertujuan untuk membantu memecahkan tantangan yang dihadapi Afrika dalam menciptakan hasil ekonomi dan sosial yang positif. Melalui investasi CADFund, menberi dampak penguatan pembangunan Afrika dan peningkatan daya saingnya di lingkungan ekonomi global. Bank Pembangunan China memberikan pembiayaan modal bagi perusahaan untuk berinvestasi di Afrika.
Meskipun perusahaan-perusahaan swasta China yang bergerak untuk investasi dalam pembangunan Afrika, akan tetapi sumber dana yang sesungguhnya adalah dari Bank BUMN China. Berbagai profil perusahaan yang memiliki tingkat kredibilitas baik dan mendaftar untuk terlibat, akan mendapat kucuran dana dari Bank Pembangunan China. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan rencana proyek B3W-nya G-7 yang semata mengandalkan dana investasi pihak swasta. Konsekuensi skema pembiayaan B3W menempatkan penerima risiko berporos pada pihak swasta itu sendiri. Oleh karena itu, kalkulasi bisnis yang sangat matang tentu harus dilalui, sebelum pihak swasta memutuskan untuk terlibat dalam proyek yang diluncurkan B3W.
Tepat yang dikatakan Fowdy, B3W yang terungkap mengandalkan dana investasi pihak swasta, telah menunjukkan G-7 tidak memiliki kesungguhan atas apa yang mereka luncurkan untuk bersaing di arena yang sama dari yang dikerjakan oleh proyek infrastruktur ekonomi China.