Ada satu hadits sahih Bukhari dan Muslim, yang isinya tentang saat datangnya bulan Puasa, Allah akan membuka pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka. Tentu saja ada syarat yang harus dipenuhi, yakni bagaimana hubungan dengan Khaliq dan hablumminannas. Ada tiga hal: soal menyekutukan Allah, soal kewajiban meminta maaf atas kesalahan dengan sesama manusia, dan tidak memperlakukan orang tua dengan baik.
Saya hanya akan fokus pada soal hablumminannas, khususnya soal minta maaf jika ada kesalahan. Ada dua konteks yang harus dipastikan, apakah kesalahan kita dengan orang, atau kesalahan orang dengan kita. Kemudian pertanyaan dasarnya adalah, kita menunggu diminta maaf atau kita yang akan meminta maaf? Orang yang arif tidak mengenal kelas. Misalnya mereka yang jabatannya lebih tinggi lebih menunggu mereka yang berpangkat rendah. Orang yang memiliki gelar lebih hebat dan panjang, menunggu permohonan maaf dari mereka yang miskin gelar. Orang yang secara ekonomi dan politik lebih mapan, lebih menunggu.
Semua itu keliru. Permohonan maaf tidak tergantung kelas. Jika kita sadar bahwa setiap saat bisa saja membuat dosa dan menzalimi orang lain, maka minta maaf bukanlah satu hal yang merendahkan. Orang-orang yang menyorong tangannya terlebih dahulu, sesungguhnya adalah orang hebat. Bukan sebaliknya, mereka yang menunggu disodorkan tangan baru menyodorkan.
Sekali lagi, ia tidak ditentukan oleh kelas. Orang-orang yang arif akan maju terlebih dahulu dan berani mempertaruhkan semua yang duniawinya untuk meminta maaf. Tidak takut jadi tidak populer karena berani meminta maaf terlebih dahulu. Untuk meminta maaf, seharusnya tidak ada rumus gengsi dan semacamnya.
Jadi, apa yang lebih tangguh selain keberanian orang untuk meminta maaf? Bagi sebagian pihak, hal demikian sangat berat untuk dilakukan, oleh siapapun. Maka siapapun yang berani melakukannya, akan mendapat ganjaran berlipat ganda. Ada balasan yang luar biasa disediakan untuk orang yang mampu melakukannya.
Di pihak lain, orang yang menerima permintaan maaf pun bukan sesuatu yang mudah. Untuk memaafkan saja butuh kekuatan tersendiri. Tidak mudah meminta maaf, serta tidak mudah memaafkan, merupakan perilaku yang tidak terpuji. Seorang manusia tidak mungkin lepas dari salah dan lupa. Seyogianya meminta maaf dan memaafkan adalah sesuatu yang niscaya.
Lebih jauh, orang-orang yang terlibat dalam proses maaf-memaafkan juga akan mendapat balasan tersendiri. Saya kira untuk orang-orang yang mendamaikan orang lain, akan mendapat fasilitas istimewa kelak.
Begitulah ketika berbicara mengenai mendamaikan. Orang akan merasakan kehilangan ketika sudah tidak ada lagi di sampingnya. Salah satu hal yang penting dalam hidup adalah hubungan silaturrahim. Terkait dengan silaturrahim dalam konteks idul fitri, saling menghalalkan antar sesama.
Saya menyarankan kepada orang yang memiliki kuasa (pemerintah, organisasi, dan sebagainya), untuk selalu menginisiasi halal bi halal. Penting selalu ada ruang untuk saling bertemu dan saling meminta dan memberi maaf. Dengan hadir, banyaknya kesempatan, akan memungkinkan kita saling bertemu banyak orang. Dan ini tidak terbatas pada urusan kantor dan formal.
Kegiatan ini pun tidak mesti dilaksanakan dengan anggaran. Ruang untuk bisa bertemu. Tidak mesti dengan proposal. Sederhana dan saling bertemu. Maka ketika suatu kali, ada acara ini, saya minta dipadukan dengan pengajian. Dalam realitas, pilihan ini juga tidak disukai semua orang. Misalnya di kampung, diadakan satu acara untuk saling bertemu, lalu dipadukan dengan pengajian, belum tentu semua orang akan hadir. Sebagiannya, walau tidak ada agenda, lebih memilih di warung kopi.
Kita tidak mengerti apa yang menyebabkan orang yang lebih memilih warung ketimbang nimbrung dalam pengajian. Tentu ada alasan tertentu, semacam tarikan magnit tertentu yang mana orang yang bersangkutan seperti tidak bisa memilih untuk tidak duduk bersantai-santai di warung. Fenomena ini sebenarnya sama seperti orang yang begitu selesai shalat, tidak bisa berdiam barang beberapa saat. Begitu selesai salam, langsung balik kanan –istilah lokal di sini. Khusus di kampung, biasanya orang tua akan menegur orang-orang yang langsung keluar dari mushalla begitu shalat selesai. Ada tuntutan interaksi antara sesama masyarakat. Shalat jamaah sendiri sebenarnya sangat disunatkan –malah ada mazhab yang menyamakan tingkatannya dengan hukum wajib. Dalam masyarakat, ketika seseorang menunaikan shalat jamaah, tidak hanya akan menunaikan kewajiban vertikal tersebut. Shalat jamaah juga melunaskan kewajiban saling berinteraksi sesama anggota masyarakat.
Makanya dalam masyarakat kita, pelaksanaan ibadah yang berlangsung di musala (meunasah) selalu memiliki sisi sosial –tidak sebatas kewajiban vertikal. Hal ini sangat penting dalam hal bersosialisasi satu sama lain. Tentu saja masing-masing masyarakat memiliki konsep sendiri mengenai bersosialisasi ini, namun yang jelas, ruang paling umum digunakan adalah ruang-ruang pelaksanaan ibadah.
Saya salut jika ada kampung yang masih memiliki agenda halal bi halal ini. Dengan acara demikian, memungkinkan para warga untuk saling bertemu, dan duduk dalam satu waktu. Berkunjung dari rumah ke rumah bisa berhari-hari. Ada beberapa kepentingan: Pertama, mengenai pentingnya semua orang menggapai halal dengan proses dan cara yang halal. Jangan mengejar yang halal dengan sesuatu yang tidak halal. Menjelang hari raya, idul fitri nanti, pada dasarnya momentum penting untuk menggapai halal bi halal tersebut. Orang membuka diri untuk meminta dan menerima maaf, adalah sesuatu yang sangat tinggi bagi sesama dalam mencapai halal.
Kedua, mengenai tujuan keberadaan kita yang harus memberikan sebanyak mungkin manfaat bagi alam sekitar, baik manusia, hewan, maupun alam. Setiap orang harus selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan melalui konsep memberi manfaat bagi banyak orang. Dengan konsep demikian, akan ada usaha untuk mengurangi sebanyak mungkin kerugian bagi banyak orang lain. Konsep terakhir ini yang sering diremehkan. Kita sering menjadi penyakit bagi orang lain, dan kita tidak peduli ketika orang merasakan sesuatu yang ganjil akibat dari keberadaan kita.
Mencapai kebahagiaan demikian, idealnya sudah harus dipikirkan sebelum bulan Puasa berlalu. Saya kira orang-orang yang memiliki kesalahan dengan orang lain, beranikan dirilah untuk lebih dahulu menyodorkan tangan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Sabtu, 29 Puasa 1446, 29 Maret 2025]