Oleh: Risman Rachman.
CEO aceHBaru Consulting.
Mengapa janji perbaikan dan perubahan oleh para politisi di setiap kali kontestasi memperebutkan kekuasaan seringkali berakhir mentok, gagal, dan berujung menjadi “siklus PHP” ketika mereka sudah berkuasa? Mengapa sulit sekali menemukan pemimpin yang betul-betul amanah dan ketika turun tahta dikenang oleh rakyat karena legacy-nya?
Setidaknya ada lima alasan mengapa ini terjadi. Pertama, problem mentalitas “politik untuk kekuasaan” bukan “politik untuk perubahan”. Kedua, kurangnya tekad dan komitmen. Ketiga, cara berpikir yang terlalu makro, gelondongan, normatif, dan abstrak. keempat, tidak memahami masalah secara komprehensif. Kelima, tidak menguasai menajemen berpikir dan bertindak konkrit
Faktor pertama dan kedua terkait dengan kapasitas moral. Ini faktor penghambat yang paling sulit diubah. Faktor ketiga, keempat, dan kelima, terkait dengan kapasitas intelektual. Faktor ketiga, keempat, dan kelima adalah satu paket. Faktor ketiga adalah “induknya”, sementara faktor kempat dan kelima adalah turunannya. Di tingkat faktor induk inilah, orang hanya bisa menjual judul besar perubahan tanpa mampu merinci secara detail strategi dan langkah-langkah perwujudannya. Namun secara keseluruhan kombinasi kelemahan “induk” dan “turunan’ nya ini masih berpeluang diperbaiki jika di point pertama dan kedua mindset-nya positif : berpolitik untuk perubahan dan memiliki komitmen yang kuat.
Jika janji politik yang kemudian dirumuskan sebagai visi-misi calon pemimpin politik dapat diasumsikan sebagai solusi, maka di sinilah menjadi penting sebuah cara berpikir komprehensif, yang runut, runtut, dan tertib dalam skema “hulu-hilir” untuk memastikan antara “kenyataan yang tidak atau kurang ideal” yang ingin diubah dan “harapan ideal” sebagaimana dijanjikan, itu terhubung dalam sebuah garis lurus, sinkron, dan paralel, sehingga realisasi visi-misi pada saatnya betul-betul akan terealisasi dan berbuah manis seperti yang diharapkan.
Langkah sederhana ini dapat diformulasikan dengan rumus atau ilustrasi “tiga tahap” seperti ini : (Identifikasi) masalah — solusi — strategi/instrumen. Inilah garis lurus, sinkron, dan paralel yang dimaksud. Formula tiga tahap ini sangat berguna memandu kita dalam mencermati dan mengeksplorasi detail permasalahan, memilih solusi yang tepat dan sesuai kebutuhan, serta menentukan alat, strategi, dan instrumen paling operasional untuk mengeksekusi dan mengevaluasi solusi tersebut.
Sekadar satu contoh penerapan “formula tiga tahap” ini dalam menjawab problem pembangunan di Aceh dapat dilihat dari ilustrasi di bawah ini:
Masalah | Solusi | Alat/Instrumen/strategi |
Orientasi: Realisasi proyek | De-orientasi: Realisasi program | Indikator dan matriks realisasi program |
Implementasi “formula tiga tahap” pada contoh di atas meski terlihat sangat sederhana namun pada tingkat implementasinya akan berdampak besar pada dua aspek yang saling terkait, berhubungan, dan memmperkuat satu sama lain, yaitu meningkatkan etos kerja dan menstimulasi peningkatan kinerja pembangunan birokrasi Pemerintah Aceh. Formula ini sangat aplikatif untuk semua lini manajemen pembangunan di Aceh. formula ini akan menjawab dan memutus siklus kelemahan dan kegagalan kita selama ini dalam manajemen solusi, sekaligus memberikan kita alat bantu yang praktis untuk membumikan cita-cita perubahan Aceh ke arah yang lebih baik sampai pada tingkat yang paling riil dan konkrit. Tak lagi menggantung di awang-awang. Insya Allah.[]