Oleh: Muhammad Irfan Ilmy.
Mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan Agama Islam UPI Bandung. Host Teman Duduk Podcast, dan Pendiri Komunitas Sayap Cita.
Nelson Mandela pernah berujar bahwa “education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Saya sering mendapati kutipan itu di berbagai kesempatan atau pun konten di media sosial yang ditujukan sebagai pendukung kalau pendidikan memang sepenting itu dalam kehidupan manusia. Penting sih penting, tapi apakah semua orang beruntung punya akses menjangkaunya sebagai pintu gerbang untuk memperbaiki masa depan?
Saya pernah mengisi sesi berbagi mengenai beasiswa di salah satu SMA di Kabupaten Bandung. Di sesi tanya-jawab, ada seorang siswi yang bertanya pada saya mengenai cara untuk meyakinkan orang tuanya agar dia diizinkan kuliah. Seingat saya, entah karena alasan ekonomi, atau lantaran orang tuanya tidak melihat bahwa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya itu penting, sehingga siswa tadi bertanya pada saya soal itu.
Saya melihat ada keinginan membuncah di dirinya untuk bisa berkuliah. Saya agak malu belum bisa memberi solusi nyata ke dia dengan memberi beasiswa misalnya. Tapi, hanya baru bisa memprovokasi saja untuk bisa berkuliah.
Di banyak daerah di negeri ini saya pikir masih banyak anak-anak muda Indonesia potensial dengan kegigihan dan daya pikirnya yang kurang beruntung bisa mengecap manisnya bangku kuliah. Hingga akhirnya keinginan mereka untuk bekerja dengan titel profesi tertentu harus kandas.
Untuk sekarang, akses untuk menempuh pendidikan tinggi bisa dijangkau lebih banyak orang dengan berbagai latar belakang. Termasuk yang kesulitan dari segi ekonomi pun. Dengan catatan punya kemauan yang kuat. Kesempatan untuk berkuliah terbuka sangat lebar bagi mereka.
Ada banyak pilihan beasiswa yang bisa dicoba untuk tetap berkuliah tanpa memberatkan orang tua. Ditambah lagi kesempatan mendapat pemasukan lain dengan mengikuti perlombaan, menjadi guru les privat, kerja paruh waktu, atau jadi asisten peneliti dosen kalau memang benar-benar mumpuni di bidang tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi ini soal kesungguhan tekad.
Penelitian menunjukkan kalau semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, makin tinggi pula kesempatannya untuk sukses di kemudian hari. Kalau salah satu indikator kesuksesan hidup adalah kemapanan ekonomi, maka, pendidikan sangat berperan di sana.
Penelitian yang dilakukan Arifin (2019, hlm. 155) menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan, dalam hal ini Angka Melek Huruf (AMH) terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Riau. Di mana apabila terjadi peningkatan 1%, maka PDRB Provinsi Riau meningkat pula sebanyak 24568,81%.
Ini baru tingkat Angka Melek Huruf. Bagaimana kalau masyarakat Indonesia memiliki tingkat kekritisan yang tinggi sebagai buah dari berhasilnya proses pendidikan? Tidak hanya sukses dalam pencapaian ekonomi saja yang didapat, melainkan juga akan masyarakat terpelajar itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi Indonesia secara luas melalui kiprahnya di berbagai bidang.
Walau tak sedikit pula yang berhasil dalam kehidupannya tanpa melalui jalur pendidikan tinggi formal. Tapi, menurut saya, bagi yang masih sulit belajar tanpa tekanan dan sistem terpadu juga tuntutan tugas dan ujian di setiap tahap pembelajaran, berkuliah masih tetap menjadi pilihan tepat.
Selain itu, di perkuliahan juga kita dilatih untuk menyelesaikan persoalan secara ilmiah dengan langkah-langkah yang sistematis. Tingkat kekritisan pun senantiasa ditumbuhkan lewat berbagai diskusi di kelas maupun berbagai panggung akademik lain seperti seminar, lokakarya, bahkan diskusi yang digelar organisasi kemahasiswaan yang sifatnya tak jarang relatif lebih santai, tapi wawasan tetap bisa terserap.
Kita Bisa Melakukan Apa?
Untuk memastikan pendidikan Indonesia maju dan bisa beranjak dari kualitas sebelumnya ke kualitas lebih baik, kita masing-masing harus merasa bertanggung jawab buat mengubahnya. Kita berperan tanpa harus menunggu jadi seseorang atau lebih jauhnya menjabat di posisi tertentu yang ada kaitannya dengan pendidikan. Terlebih Indonesia akan menghadapi bonus demografi yang puncaknya pada tahun 2030 (sudah dimulai sejak 2020 dan berakhir pada tahun 2035)[1].
Apabila tanpa ada penyiapan terbaik pada kualitas manusianya, bonus demografi berupa banyaknya penduduk usia produktif (15-65 tahun) ketimbang yang non produktif (0-14 tahun dan >65 tahun) hanya akan berubah menjadi bencana demografi. Di mana menurut Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia, salah satu hal fatalnya yaitu jumlah pengangguran akan banyak sehingga potensial menimbulkan konflik sosial.[2] Pendidikan dalam ini menjadi wahana untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul.
Pendidikan, kata Tan Malaka, bertujuan untuk “mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” Dan tak ada alasan bagi saya untuk berbeda pendapat. Untuk poin memperhalus perasaan, maka kita harus peka terhadap kesulitan kaum yang terkendala mengakses pendidikan dan membantunya sesuai yang kita mampu agar turut serta mencerdaskan mereka, serta kalau bisa, membuatnya berani melawan berbagai penindasan yang terjadi di sana-sini.
Sesuatu yang paling bisa kita kontrol adalah diri kita sendiri. Dengan demikian, berbuatlah, meski itu tak tersorot kamera para peliput berita. Aktivitas berupa mengajar adik-adik saat mengikuti pengabdian pada masyarakat, jangan dilakukan sebatas menuntaskan kewajiban sebagai panitia pelaksana kegiatan itu saja, tapi coba, resapilah peran tersebut.
Anak-anak akan mengingat momen-momen manis bersama mahasiswa dari kampus di kota hingga mereka beranjak dewasa. Mereka bisa merasakan mana kakak mahasiswa yang tulus, setengah tulus, bahkan hanya pura-pura baik padanya karena tuntutan peran. Mereka tak senaif yang kita bayangkan.
Terlihat tak berpengaruh apa-apa, tapi bisa saja itu menjadi jalan pembuka impian mereka untuk minimal berjas almamater kampus kebanggaannya kelak. Impian tak kalah berharganya dengan memperoleh apa yang diimpikan. Dan kita bisa memilih menjadi seseorang yang berperan membikin mereka percaya diri untuk bermimpi.
Kalau kita punya cukup waktu untuk mendirikan sebuah kelompok belajar yang sifatnya non formal, silakan dirikan. Di dalamnya bisa diisi dengan beragam tipe kegiatan dan mengajak kenalan lain untuk turut serta berkontribusi, seperti ikut mengajar, berdonasi untuk operasional kegiatan pembelajaran atau sekadar foto-foto dan mendesain beragam konten untuk keperluan media sosial.
Sepengalaman saya mendirikan kelompok belajar serupa bersama beberapa kawan—kami menamakannya Planet Antariksa—di tahun 2016-2018, ternyata tidak terlalu rumit. Kami berkegiatan di daerah Geger Arum, dekat kampus UPI Bandung setiap Sabtu sore. Modal uang adalah nomor sekian. Nomor pertamanya adalah niat tulus untuk berbagi. Nanti akan selalu ada jalan untuk pengembangannya ke depan.
Kenapa akhirnya ini hanya bertahan 2 tahun? Kami ternyata harus menghadapi kehidupan pasca kampus sehingga koordinasi di antara pengurus lumayan keteteran. Kami kembali ke asal masing-masing dan ada juga yang bekerja di luar Bandung. Meskipun jarak kini bisa dipangkas dengan teknologi, karena kegiatan kami membutuhkan kehadiran orang-orang, ini jadi kendala tersendiri.
Selain itu, kami pun tidak melakukan proses kaderisasi yang baik sehingga keberjalanan Planet Antariksa sangat tergantung pada keberadaan kami. Ini bahan evalusi bagi saya pribadi yang ke depan ingin membikin kelompok belajar serupa.
Itu hanya contoh. Ada banyak pilihan di depan mata yang bisa dilakukan sebagai wujud bakti pada negeri, terutama di sektor pendidikan. Kita harus melakukannya atas dasar kecintaan pada negeri ini agar tak merasa terbebani ketika menjalaninya.
Sebagai kaum terdidik, kita justru harus malu kalau hidup sekadar hidup sebagaimana yang dikatakan Buya Hamka. Di mana, mereka yang hidup ala kadarnya, maka tak ada bedanya sama sekali dengan kera di hutan, karena hewan itu pun hidup juga. Maka kita harus beranjak pada hidup yang tak lupa pula untuk menghidupkan orang lain, bermanfaat bagi mereka, memberdayakan sesama.
Harapan Itu Masih Ada
Suara-suara sumbang yang berseliweran terutama di dunia maya dengan tendensi membangun narasi bahwa Indonesia tidak lebih baik dari segi pendidikan ketimbang negara lain di luar sana sulit dihindari. Tapi, bukan sama sekali kita harus pasrah menghadapi terpaan badai kebencian yang terus dihembuskan itu. Kita justru harus bangkit dan memperbaiki kapal super besar bernama Indonesia yang bocornya banyak agar tak oleng bahkan tenggelam di dalam gelombang kebencian tadi. Negeri ini masih punya banyak mutiara terpendam yang belum diberdayakan secara optimal.
Pemerintah mesti tampil paling depan memastikan proses pendidikan di negeri ini berjalan dengan semestinya sebagaimana amanat konstitusi, yaitu pasal 31 UUD 1945 amandemen ayat (1) dan ayat (2) mengenai hak dan kewajiban warga negara dan pemerintah di bidang pendidikan.
Sementara itu, pihak-pihak lainnya juga atas dasar kecintaan dan tanggung jawab selaku warga negara demi kelangsungan kaderisasi para penerus bangsa harus memberikan dukungan untuk menyukseskan agenda pemerintah dalam bidang pendidikan. Sebab negeri yang berpenduduk hampir 270 juta (tahun 2020 diproyeksikan ada di kisaran 271 juta)[3] jiwa ini butuh banyak dukungan agar mampu bangkit dari ketertinggalannya dari negara-negara lain.
Dari banyak peran para putra bangsa yang berkiprah di bidangnya dan sukses, bahkan menjadi teladan bagi orang-orang dari negara lain, agaknya kita patut menambah stok optimisme bahwa Indonesia masih punya harapan itu. Harapan untuk berjaya di kancah dunia dengan segala prestasinya di berbagai bidang hingga founding fathers benar-benar tak sia-sia mendirikan negeri ini dengan segenap pengorbanannya dari mulai harta hingga nyawa. Saya percaya Indonesia bisa, kalau kamu?[]
Referensi:
Arifin. (2019). Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Riau. Turats: Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 7(2), 145–160.
Nugroho, K.B. (2016). Bonus Demografi Berpotensi Memunculkan Konflik Sosial. [Online]. Tersedia: https://tirto.id/bonus-demografi-berpotensi-memunculkan-konflik-sosial-buiE, diakses pada 25 Oktober 2020.
Widiyani, R. (2020). Berapa Jumlah Penduduk Indonesia 2020? Turun atau Naik?. [Online]. Tersedia: https://news.detik.com/berita/d-4975893/berapa-jumlah-penduduk-indonesia-2020-naik-atau-turun, diakses pada 25 Oktober 2020.
Yuswohady. (2017). Puncak Bonus Demografi 2030, Indonesia Harus Siapkan Manusia Hebat. [Online]. Tersedia: https://economy.okezone.com/read/2017/11/05/320/1808672/puncak-bonus-demografi-2030-indonesia-harus-siapkan-manusia-hebat, diakses pada 25 Oktober 2020.
[1] Yuswohady. (2017). Puncak Bonus Demografi 2030, Indonesia Harus Siapkan Manusia Hebat. [Online]. Tersedia: https://economy.okezone.com/read/2017/11/05/320/1808672/puncak-bonus-demografi-2030-indonesia-harus-siapkan-manusia-hebat, diakses pada 25 Oktober 2020.
[2] Nugroho, K.B. (2016). Bonus Demografi Berpotensi Memunculkan Konflik Sosial. [Online]. Tersedia:https://tirto.id/bonus-demografi-berpotensi-memunculkan-konflik-sosial-buiE, diakses pada 25 Oktober 2020.
[3] Widiyani, R. (2020). Berapa Jumlah Penduduk Indonesia 2020? Turun atau Naik?. [Online]. Tersedia: https://news.detik.com/berita/d-4975893/berapa-jumlah-penduduk-indonesia-2020-naik-atau-turun, diakses pada 25 Oktober 2020.