Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Di Indonesia, di dalam KTP selalu dibubuhkan istilah ‘agama’. Setiap individu wajib mencantumkan agama apa yang dipeluk. Bagi yang Muslim, tentu akan ditulis ‘agama Islam.’ Begitu juga dengan pemeluk agama selain Islam.
Ketika saya mengisi formulir, baik yang cetak maupun on-line, di Barat, jarang ditanyakan mengenai ‘agama’ apa yang dianut, melainkan sering ditanyakan tentang ‘ras.’ Perbedaan mengenai pertanyaan tersebut, memang belumlah dikaji secara serius. Namun, upaya untuk mempertanyakan mengapa mesti istilah ‘agama’ harus diikutkan dengan istilah Islam, tentu merupakan persoalan keimanan. Sebab istilah ‘agama’ bukanlah muncul dari tradisi bahasa Arab, melainkan dari tradisi Hindu dan Buddha. Karena itu, ketika ditanyakan apa agama, sesungguhnya itu untuk ummat yang memiliki keyakinan Hindu, bukan Islam. Sebab, dalam literatur doktrin Islam, istilah yang digunakan untuk disertakan dengan kata ‘Islam’ adalah din.
Dalam Ensiklopedi Islam, dijelaskan sebagai berikut: Arti kata “agama” dalam bahasa Indonesia sama dengan kata dîn dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Eropa: religion (Ing.), la religion (Per.) de religie (Bel.), die religion (Jer.). Secara bahasa, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “tidak pergi, tetap di tempat, atau diwarisi turun temurun”. Adapun kata din mengandung arti “menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan.”
Kutipan di atas merupakan pendapat yang lazim muncul ketika memahami kata ‘agama’ dan dîn. Adapun sarjana lain yang menyamakan antara dîn dan agama, dapat ditemui dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci karya M. Dawam Rahardjo. Dia menuturkan bahwa “terjemahan al-dîn tak lain adalah agama, religion (Inggris) atau religie (Belanda), yang berasal dari kata Latin Religere, artinya, memelihara diri, mengikat jadi satu.”
Untuk lebih memperlihatkan bagaimana definisi religion, Jared Diamond (2012) mengumpulkan beberapa definisi religion:
- “Human recognition of superhuman controlling power and especially of a personal God entitled to obedience” (Consice Oxford Dictionary).
- “Any specific system of belief and worship, often involving a code of ethics and a philosophy.” (Webster’s New World Dictionary).
- “A system of social coherence based on a common group of beliefs or attitudes concerning an object, person, unseen being, or system of thought considered to be supernatural, sacred, divine or highest truth, and the moral codes, practices, values, nstitutions traditions, and ritual associated with such belief of system of thought.” (Wikipedia).
- “Religion, in the broadest and most general terms possible, … consists of the belief that there a unseen order, and that our supreme good lies in harmoniously adjusting ourselves thereto.” (William James).
- “Social system whose participants avow belief in a supernatural agent or agents whose approval is to be sought.” (Daniel Dennett).
- “A propotiation or conciliation of superhuman power which are believed to control nature and man.” (Sir James Frazer).
- “A set of symbolic forms and acts which relate man to ultimate conditions of his ” (Robert Bellah).
- “A system of belief and practices directed toward the ‘ultimate concern’ of a society.” (William Lessa and Evon Vogt).
Padahal, dua istilah tersebut (dîn dan agama) muncul dari tradisi yang berbeda. Istilah ‘agama’ tidak ditemukan di dalam literatur bahasa Arab dan Semit. Demikian pula, sejauh yang diketahui, tidak ditemukan istilah dîn dalam tradisi India. Namun di Indonesia yang masih menggunakan bahasa Melayu, masih menggunakan istilah agama untuk mengungkapkan makna dîn. Hemat saya, kedua istilah itu tidak dapat disandingkan, terlebih lagi dipersamakan secara istilah. Karena konsep dîn merupakan turunan dari keyakinan dari langit, yang memiliki hubungan dengan istilah-istilah lain yaitu: millah dan syari‘ah. Sedangkan, istilah agama sama sekali tidak memiliki hubungan dengan millah dan syari‘ah. Karena turunan istilah agama, baru kemudian dapat dijabarkan di dalam sistem religi Hindu yang di situ ada agama.
Adapun penjelasan mengenai konsep ‘agama’ dapat dilihat dari uraian berikut: The term ‘Agama’ has been derived in the Svachchhanda Tantra as ‘āgataṁ śiva-vaktrebhya gataṁ ca girijā-mukhe; (Agama signifies the collection of spiritual wisdom that) having emanated from the mouth of Shiva entered into the intellect of his consort Parvati’. This meaning is in accordance with the structure of Agamic texts, which, like other tantras, are in the form of dialogue—Shiva is the speaker and Parvati the hearer. There are other tantric texts—and these have also been called ‘Nigama’—where Parvati is the speaker and Shiva the listener (Debabrata 2010:372).
Jadi, istilah ‘agama’ merupakan tantra dari hasil dialog dewa Siwa dengan Parwati. Adapun lawam dari ‘agama’ adalah ‘nigama’. Adapun tantra adalah: ‘Tantra or tantrism … refers to the Holy Scriptures relating to Shaktism. This however is a narrow perception. In fact tantra, as a concept and branch of knowledge, is quite broad and versatile. In its broader perspective tantrism refers to the branch of knowledge that protects and liberates its practitioners (Satyabrata dan U, 2010:1).
Adapun penjelasan lanjutannya adalah agama merupakan nama lain dari tantra. Disebutkan juga bahwa agama merupakan perkataan Dewa Siwa. Nigama merupakan perkataan Shakti. Adapun perkataan tantra yang bukan dari Shakti dan Siwa disebut sebagai Yamala. Dalam kajian Agama Sutra, agama diartikan sebagai ‘heritage’, sedangkan sutra diartikan sebagai ‘sewed together.’ Dalam kajian Buddha, dijelaskan bahwa maksud dari agama sutra adalah perkataan Buddha dari seorang guru kepada muridnya.
Karena itu, jika makna agama dikaji secara mendalam, maka akan tergiring pada kajian Hinduisme, Buddhisme, dan Jaina. Karena itu, istilah ini lebih banyak ditemukan di India, Tibet, dan Cina yan menganut ketiga ajaran tersebut. Paling tidak, di Tibet misalnya, ada lima agama, yaitu: Dîrgha Âgama, Madhyama Âgama, Samyukta Âgama, Ekottara Âgama.
Jika ditarik pada istilah agama Hindu, maka kaitannya adalah dengan persoalan warna atau kasta. Adapun istilah yang melekat sangat boleh jadi seperti warga, wangsa, dharmai, karma, dan guna. Adapun istilah warna sering dilekatkan pada istilah warna (color), tetapi istilah ini dapat diartikan sebagai ““order” of society, implying profession (Eiseman 1990, 28).” Ada juga yang menyebutkan bahwa “[w]arna as classificatory category in studies o the Hindu caste system. [W]arna once signified a class division (Stevenson 1954, 48).” Salah satu tatanan di dalam ajaran Hindu, tidak terkecuali Hindu-Bali adalah kasta. Istilah ini berasal dari bahasa Latin yaitu castus, yang berarti “asli’ yang dihubungkan dengan kelahiran seseorang dan secara turun temurun. Maksudnya adalah posisi seseorang sangat ditentukan menurut kelahiran atau asal usulnya. Jadi, status seseorang di dalam tradisi agama adalah disebabkan karena asal-usulnya, yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam suatu kasta.
Tentu saja, sistem di atas tidak ditemukan di dalam tradisi dîn. Istilah ini sangat berhubungan dengan madînah, tamaddun, Sama sekali tidak mendiskusikan posisi seseorang di dalam berkeyakinan, seperti halnya di dalam tradisi agama di dalam Hindu. Seseorang tidak diukur dari asal usulnya. Kendati belakangan ada sinyalemen mengenai keutamaan suku-suku tertentu di dalam sejarah Islam, seperti posisi sayyid, syarifah, habib, dan istilah-istilah lainnya yang menyiratkan pada asal usul seseorang yang ada di Tanah Arab. Demikian pula, istilah dîn sangat terkait dengan istilah a-m-n atau s-l-m. Adapun istilah yang memiliki konotasi dengan dîn adalah madinah, tamaddun, dayyuna, dan dayyan. Dalam konteks ini, Naquib al-Attas bahkan tidak ingin mempersamakan makna dîn dengan religion yang digunakan di dalam tradisi Eropa, karena menurutnya “… semua konotasi dasar yang berpautan dengan istilah dîn digambarkan sebagai terpadukan ke dalam kesatuan tunggal dari arti yang tali temali seperti tercerminkan di dalam Kitab Suci al-Qur’an dan dalam bahasa Arab.” Sementara itu, makna ‘religion’ yang sebanding dengan Hindu adalah dharma. Donald Eugene Smith (1973: 35) menyebutkan bahwa: “The concept of dharma in Hinduism includes everything which might be suggested by the English word “religion,” “duty,” and “law”; it is the sum total of the rules of behavior from all aspect of life.” Jika demikian halnya, maka dharma itu adalah religi dalam tradisi bahasa Inggris yang diwujudkan dalam konsep hukum.
Tentu saja, jika Islam disamakan dengan religi, Islam menjadi dharma. Karena itu, istilah yang tepat, jika mengikuti pandangan Smith di atas adalah bukan agama islam, melainkan dharma Islam. Namun, di dalam Islam sendiri, istilah yang paling cocok adalah akhlak Islam (tata perilaku). Pemahaman ini tentu saja jika dikaitkan dengan penjelasan dari paragrap di atas. Akan tetapi, di dalam Islam sendiri, ketika membahas tentang akhlak, hampir semua kajian tertuju pada satu sosok yaitu Rasulullah. Namun, konsep ini tidak dapat diteruskan lagi, karena akar kata akhlak adalah kh-l-q. Penjelasan ini tentu saja tidak sampai pada penjelasan kata religion di dalam tradisi Barat. Adapun istilah lain, yang sekilas cocok dengan dharma adalah adab.
Salah satu konsekuensi logis adalah, bagaimana menjelaskan Islam dalam lubang pemahaman agama. Demikian juga, bagaimana memahami Islam melalui corong religi. Masalah ini memang jarang mendapatkan perhatian para sarjana, ketika mendiskusikan Islam dalam kacamata agama. Misalnya, ketika Islam dijelaskan di dalam bejana-bejana konsep yang bukan dari tradisi Islam. Sejatinya, jika Islam dipahami melalui pintu agama, maka penjelasannya harus memakai kerangka pemahaman agama di dalam ajaran Hindu. Begitu juga, jika dipahami melalui jendela religi, maka penjelasan Islam harus disesuaikan dengan tradisi sejarah religi di Eropa.[]