Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry.
Meski baru-baru ini terjadi aksi teror terhadap salah satu bakal calon gubernur Aceh, Pilkada 2024 yang digelar di provinsi ujung barat pulau Sumatera ini dari aspek keamanan tetap tidak lagi dianggap rawan. Tulisan ini tidak bermaksud menenangkan situasi paska teror, melainkan mencoba menjelaskan sebuah kondisi dari kaca mata studi dan pengamatan emperis.
Masa rawan keamanan dan konflik di Aceh dapat dikatakan telah lewat. Merujuk pada sejumlah hasil studi, masa rawan daerah bekas konflik paling singkat satu tahun (Wallensteen dkk, 2011) dan paling lama 10 tahun setelah perjanjian damai dicapai (Collier dkk, 2008).
Basis argumen studi tersebut dibangun berdasarkan asumsi bahwa waktu 10 tahun dinilai cukup untuk memperkuat institusi politik, pemerintahan dan keamanan, membangun trust antar pihak yang bertikai, dan memperbaiki ekonomi yang rusak akibat perang.
Sementara damai Aceh telah berumur 19 tahun dan pada 2025 nanti genap 20 tahun. Artinya, Aceh telah melampaui masa rawan 9 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2015.
Dengan kata lain, tahun 2015 merupakan tahun berakhirnya fase rawan sekaligus dimulainya kehidupan normal di Aceh.
Semua kegiatan yang berkaitan dengan proses transisi seharusnya juga telah berakhir 9 tahun yang lalu. Misalnya reintegrasi mantan kombatan, proses pencarian kebenaran dan rekonsiliasi, dan pengadilan HAM.
Bukan Pilkada pertama
Selain diukur berdasarkan durasi lamanya waktu damai, situasi rawan juga dapat dilihat dari jumlah pengalaman menggelar event politik.
Pilkada 2024 tidak dapat lagi disebut rawan karena bukan Pilkada kali pertama digelar pasca damai Aceh. Pilkada 2024 merupakan Pilkada kali ke empat yang digelar setelah perjanjian damai 2005.
Pilkada pertama digelar awal 2007 atau satu tahun setelah penandatanganan MoU Helsinki. Meski saat itu diwarnai aksi kekerasan, pelaksanaan Pilkada 2007 secara umum dinilai berhasil oleh masyarakat internasional.
Selang dua tahun kemudian, tepatnya 2009, Aceh kembali menggelar Pemilu legislatif dan Pemilu presiden. Pemilu 2009 merupakan pemilu bersejarah bagi Indonesia karena untuk pertama kali diikuti oleh partai politik lokal, termasuk Partai Aceh, partai yang didirikan oleh mantan aktivis Gerakan Aceh Merdeka.
Tahun 2012, Aceh kembali menggelar Pilkada. Pilkada kali kedua setelah damai juga diwarnai ketegangan dan aksi kekerasan. Namun banyak pihak menilai, kasus kekerasan masih dapat dikontrol oleh pihak keamanan.
Lalu, 2014, 2019, dan 2024 secara berturut-turut Aceh kembali menggelar Pemilu presiden dan Pemilu legislatif yang diikuti oleh partai politik lokal.
Demikian juga, Pilkada kembali digelar pada 2017 di mana saat itu Irwandi Yusuf yang juga mantan juru propaganda GAM terpilih sebagai Gubernur Aceh untuk kali kedua. Kala itu, Irwandi Yusuf mengalahkan mantan elit GAM lainnya, yaitu Zaini Abdullah (mantan Menteri Luar Negeri), Zakaria Saman (mantan Menteri Pertahanan), dan Muzakir Manaf (mantan panglima).
Pelaksaan Pilkada yang telah berlangsung tiga kali berturut-turut paska perjanjian damai, demikian juga pemilu selama empat kali membuat para kontestan, pemilih, lembaga pelaksana, pihak keamanan memiliki “jam terbang” yang tinggi dalam menjalankan Pilkada dan Pemilu yang aman dan damai.
Politik semakin cair
Selain memiliki “jam terbang” dalam melaksanakan event politik pasca konflik, Pilkada dan Pemilu yang digelar selama empat kali berturut-turun di Aceh juga telah membuat para aktor politik di Aceh semakin matang dan dewasa dalam berpolitik.
Pilkada 2017 yang diikuti oleh empat mantan petinggi GAM merupakan salah satu bukti. Saat itu para kontestan yang kalah, menerima kemenangan Irwandi Yusuf sebagai gubernur Aceh periode 2017-2022.
Kedewasaan dalam berpolitik juga dapat dilihat dari bagaimana pengurus partai politik memposisikan satu sama lain. Sebagai contoh partai politik lokal yang lahir dari rahim MoU Helsinki tidak lagi memandang partai politik nasional sebagai musuh politik. Demikian juga sebaliknya.
Hubungan antara partai lokal dan nasional boleh dikata sejauh ini sangat baik, bahkan kelewat baik. Sebagai contoh, Partai Aceh menjadikan Partai Gerindra yang didirikan oleh mantan Danjen Kopassus sebagai “partai kakak” (sister party). Mereka membangun kerjasama kepartaian, saling mengisi, melengkapi, bahkan membantu satu-sama lain dalam setiap event politik.
Hubungan Partai Aceh dengan Partai Gerindra terjalin erat hingga sekarang. Bahkan Partai Aceh dan Partai Gerindra sudah dua kali bersama-sama bertarung dalam Pilkada (2017 dan 2024) mengusung calon gubernur dan wakil gubernur Aceh.
Tidak hanya dalam pencalonan Pilkada kerjasama antara Partai Aceh dan Partai Gerindra terjadi. Dalam Pemilu legislatif dan presiden, Partai Aceh dan Partai Gerindra juga saling bergandengan tangan.
Sebagai contoh, sejak Pemilu 2014 Partai Gerindra memberi ruang kepada kader Partai Aceh untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota DPR-RI. Sebagai imbalan, Partai Aceh memberikan dukungan politik terhadap calon presiden yang diusung oleh Partai Gerindra.
Kerjasama Partai Aceh dengan partai nasional sebenarnya tidak hanya terjadi dengan Partai Gerindra. Partai Aceh juga membangun kerjasama politik dengan partai nasional lainnya, terutama terkait agenda “menitipkan” kadernya merebut kursi DPR-RI dan dukung mendukung dalam ajang Pilkada seperti yang terjadi sekarang ini.
Kerjasama politik yang terjalin antara partai lokal, khususnya Partai Aceh dengan partai nasional menunjukkan bahwa hubungan politik di Aceh sudah sangat cair.
Selain hubungan antar parpol, hubungan antar aktor yang sebelumnya berseberangan, bahkan saling “menghadang” saat konflik Aceh juga dapat dilihat meleleh. Contoh terbaru dapat dilihat dari bergabungnya Brigjen Armia Fahmi– yang tidak lain adalah mantan Wakapolda Aceh– ke dalam partai yang dipimpin oleh mantan Panglima GAM.
Selang beberapa bulan setelah dilantik menjadi kader, Brigjen Armia Fahmi kemudian diusung oleh Partai Aceh untuk maju sebagai calon Bupati Aceh Tamiang.
Armia Fahmi bukan satu-satunya elit di institusi kepolisian yang bergabung dengan Partai Aceh. Jika kita masih ingat, dulu Mayjen Soenarko, mantan Panglima Kodam Iskandar Muda dan mantan Danjen Kopassus juga pernah bergabung dengan Partai Aceh sebelum akhirnya pindah ke Partai Nasional Aceh yang dipimpin oleh mantan juru propaganda GAM.
Terlepas adanya pro kontra di kalangan masyarakat terkait bergabungnya mantan elit polisi dan militer ke dalam partai politik lokal, fenomena tersebut menunjukkan bahwa trust atau sikap saling percaya telah tumbuhnya diantara pihak-pihak yang dulunya bertikai. Mereka tidak lagi memandang satu sama lain sebagai musuh, melainkan kawan. Bahkan lebih jauh telah menjadi mitra politik Pilkada, saling mengusung dan mendukung.
Kepercayaan terhadap penyelenggara
Trust juga terbangun antara para kontestan politik, lembaga penyelenggara, pihak keamanan dan aparat penegak hukum.
Tentu kita masih ingat kasus yang terjadi pada Pemilu 2024 lalu. Kala itu suara Senator Haji Uma diduga kuat diserobot oleh calon anggota senator lain sehingga merugikan calon anggota senator lainnya, termasuk Azhari Cage.
Sebagai mantan kombatan, Azhari Cage tidak merespon kasus yang merugikan dirinya dengan cara kekerasan, melainkan lebih memilih menempuh jalur formal, yaitu dengan melayangkan protes ke KIP dan Panwaslih Aceh.
Sikap Azhari Cage menunjukkan bahwa institusi penyelenggara dipercaya mampu menjalankan tugas dan perannya secara profesional.
Reaksi masyarakat terhadap teror
Bukti lainnya mengapa Pilkada Aceh tidak lagi rawan dapat dilihat dari reaksi masyarakat dan para kontestan Pilkada terhadap kasus teror yang menimpa salah satu bakal calon gubernur Aceh baru-baru ini.
Dari pada saling curiga, mereka lebih memilih menyerahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian. Berharap pihak kepolisian mengungkap dan menangkap pelaku yang membuat wajah Aceh yang aman dan damai tercoreng oleh aksi yang tidak gentleman itu.
Dengan kata lain, masyarakat dan para kontestan percaya bahwa pihak kepolisian mampu memberikan kepastian hukum dan menciptakan Pilkada yang aman dan demokratis.
Penutup
Meski analisis ini cenderung melihat masa depan keamanan event politik di Aceh tidak lagi rawan, bukan berarti tidak ada lagi tantangan yang bakal dihadapi.
Tantangan paling nyata saat ini dan ke depan terletak pada tiga aspek berikut, yaitu penggunaan media sosial, politik uang, dan praktik kecurangan suara. Tantangan ini tidak hanya terjadi di Aceh, melainkan juga terjadi di Indonesia secara keseluruhan.