Oleh: Ari J. Palawi
Aceh adalah tanah yang dipenuhi oleh warisan budaya, tapi warisan itu sering dibiarkan menunggu di ambang perhatian. Di tengah banyaknya ekspresi, narasi, dan nilai tradisi yang hidup dalam masyarakat, posisi Aceh dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) nasional masih tergolong rendah. Ini bukan sekadar soal peringkat, melainkan cerminan jarak antara kekayaan yang dimiliki dan keberpihakan yang nyata dalam kebijakan.
Kini, hadir kembali sebuah ruang yang patut kita sambut secara kolektif, bijak, dan menyeluruh: Program Dana Indonesiana 2025. Program ini bukan sekadar tentang anggaran atau proyek, tapi tentang bagaimana negara memberi ruang pada masyarakat untuk bicara dan bekerja atas nama kebudayaan yang mereka hidupi.
Sebagai salah satu pelaksana program Dana Indonesiana tahun 2022, saya tahu bahwa proses itu bukanlah perkara teknis semata. Ketika menjalankan program Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM), saya menyaksikan betapa kebudayaan adalah ruang perjumpaan: antara generasi, antara ingatan dan masa kini, antara suara yang nyaris padam dan semangat yang ingin menyalakan kembali. Kebudayaan bukan hanya sesuatu yang disimpan di rak arsip, tetapi yang hidup di dapur-dapur, ladang, panggung, masjid, dan ruang-ruang warga.
Aceh Tidak Kekurangan Warisan, yang Dibutuhkan Adalah Ruang dan Kesempatan
Dana Indonesiana 2025 adalah upaya negara untuk membuka ruang itu. Melalui kebijakan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan 2025–2045, program ini menegaskan bahwa pemajuan kebudayaan adalah tugas bersama, antara negara dan masyarakat. Namun program sebaik apa pun tak akan berarti jika tidak kita sambut dengan niat baik, kesiapan, dan keberanian untuk mencoba.
Sayangnya, jumlah proposal dari Aceh dalam pelaksanaan Dana Indonesiana sebelumnya masih terbilang sedikit. Bukan karena kita tidak punya gagasan, tapi mungkin karena masih ada rasa ragu, terbatasnya akses informasi, atau kebiasaan menunggu. Saatnya pola ini diubah. Kita tidak perlu menunggu sempurna. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai dengan gagasan yang jujur, berakar, dan relevan.
Apa Saja yang Bisa Diusulkan?
Inisiatif bisa berangkat dari hal-hal yang sangat dekat dengan kehidupan:
• Bahasa Ibu yang Terancam Punah
Misalnya, bahasa Devayan di Simeulue atau Jamee di pantai Barat-Selatan. Dokumentasi, pelatihan bahasa, dan penguatan fungsi sosial bahasa lokal adalah bentuk pemulihan identitas.
• Regenerasi Seniman Tradisi
Banyak maestro tarian, sastra lisan, dan musik tradisi di Aceh menua tanpa sempat mentransfer ilmunya. Ini bukan sekadar kehilangan keterampilan, tapi kehilangan cara kita memandang dunia. Lokakarya, residensi, dan dokumentasi hidup adalah langkah sederhana namun berdampak besar.
• Pemetaan Lanskap Budaya dan Ruang Sakral
Gunong, meunasah, taman pemakaman kuno, aliran sungai yang diyakini sakral, semua ini menyimpan jejak dan narasi lokal yang berharga. Digitalisasi dan pemetaan partisipatif bisa membuka kembali ruang kesadaran kolektif atas nilai-nilai yang pernah hidup.
• Kurikulum Budaya di Sekolah dan Dayah
Anak-anak kita punya hak untuk mengenali sejarahnya sendiri. Dengan kolaborasi antar guru, seniman, dan ulama, nilai-nilai budaya lokal dapat masuk ke ruang belajar formal dan informal.
• Pengetahuan Perempuan di Ruang Domestik dan Komunitas
Ramuan pengobatan, tenun, cerita rakyat, dan upacara keseharian yang dijaga oleh para perempuan di dapur-dapur Aceh menyimpan banyak kearifan. Program dokumentasi dan revitalisasi bukan hanya pelestarian, tetapi juga pemberdayaan.
• Karya Seni Lintas Generasi dan Disiplin
Banyak seniman muda Aceh yang sudah bekerja di wilayah teater, musik eksperimental, film, atau teknologi media baru. Menghubungkan mereka dengan komunitas adat atau tradisi bisa menghasilkan karya yang bukan hanya estetis, tetapi juga memulihkan rasa keterhubungan.
Semua bentuk usulan ini tidak menuntut kemewahan. Tidak perlu gedung megah atau alat mahal. Yang dibutuhkan adalah kejelasan: apa yang ingin kita pulihkan? Siapa yang akan kita libatkan? Apa dampaknya untuk kehidupan bersama?
Menulis Proposal dengan Niat yang Jernih
Dalam pengalaman saya, proposal yang paling menyentuh bukanlah yang paling rumit, melainkan yang paling jujur. Yang tahu dengan pasti di mana masalahnya, apa potensinya, dan siapa yang punya suara. Fokus tidak harus sempit, tapi harus tajam. Jangan tergoda menampilkan banyak hal jika belum tentu bisa dilaksanakan dengan baik.
Menulis proposal juga bukan soal meyakinkan juri, tapi soal menyatakan tanggung jawab kepada masyarakat tempat kita bekerja. Ketika kita bisa menunjukkan bahwa program ini akan mempertemukan, memberdayakan, atau memperpanjang umur suatu praktik budaya, itu sudah cukup kuat sebagai alasan.
Bukan Sekadar Lolos, Tapi Memberi Jalan untuk Kebudayaan Hidup
Saya tidak sedang mengajak semua orang menjadi pemilik proyek. Saya hanya ingin membuka satu pintu kesadaran, bahwa: jalan kebudayaan akan panjang jika kita tidak menyalakannya bersama. Pemerintah daerah, kampus, seniman, ulama, tokoh adat, guru, jurnalis, dan warga biasa, serta semua punya tempat dan tanggung jawab dalam hal ini.
Kalau bukan kita yang memelihara dan memperkuat budaya Aceh, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Mungkin kita tidak bisa menyelamatkan semua yang telah hilang. Tapi kita bisa memilih untuk tidak membiarkan yang masih ada ikut lenyap.
Mari kita menulis. Mari kita bergerak.
Bukan demi program semata, tetapi demi menyambung hidup kebudayaan yang sudah terlalu lama berdiri sendiri. []
Penulis adalah Pendiri Geunta Seni Jauhari (yayasan). Ia menulis, meneliti, dan mencipta karya yang menghubungkan penciptaan artistik, pengabdian budaya, dan kebijakan publik. Fokusnya banyak pada wilayah-wilayah non-sentral dan suara komunitas.