SAGOE TV | BANDA ACEH – Seniman teater asal Banda Aceh, Zikrayanti, akan mementaskan monolog tubuh berjudul “Cut Nyak” di Museum Rumah Cut Nyak Dhien, Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, pada Sabtu, 6 September 2025. Pertunjukan ini mengangkat tema “Tubuh yang Tak Pernah Takluk” sebagai simbol semangat juang pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang hingga kini dikenang sebagai ikon perlawanan perempuan Aceh
Zikrayanti menyebut, pementasan ini sengaja dikemas dengan bentuk monolog tubuh, yakni pertunjukan yang minim kata namun sarat ekspresi gerak. “Monolog tubuh dengan minim kata namun kaya ekspresi gerak akan menyampaikan perjuangan, penderitaan, dan kekuatan batin seorang perempuan yang menjadi ikon perlawanan nasional,” ujarnya.
Cut Nyak Dhien adalah salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia tidak hanya dikenal karena keberanian memimpin perlawanan rakyat Aceh melawan Belanda tetapi juga karena keteguhan hati dan kecerdasannya dalam strategi perang gerilya. Hingga akhir hayatnya dalam pengasingan, Cut Nyak Dhien tetap menolak menyerah.
Bagi Zikrayanti, mengenang sosok tersebut tidak cukup hanya lewat buku pelajaran atau dokumen sejarah. Ia menilai seni pertunjukan adalah medium yang lebih emosional dan reflektif. “Pementasan monolog tubuh ini bertujuan menghadirkan kembali semangat perjuangan Cut Nyak Dhien melalui pendekatan pertunjukan yang lebih simbolik dan emosional.”
Pertunjukan berdurasi sekitar 30-45 menit ini disutradarai oleh Nazar Shah Alam dan akan dibagi ke dalam lima bagian dramatik. Elemen artistik dirancang oleh Arifa Safura sebagai seniman rupa perempuan dari Aceh yang telah sering memamerkan karyanya baik di dalam maupun di luar negeri. Kemudian, musik akan digarap oleh Dana Maulana yang dikenal sebagai salah satu komposer ternama di Aceh.
Kolaborasi ini diharapkan menjadi ruang kreatif lintas disiplin seni. “Pementasan ini juga menjadi bentuk pemberdayaan narasi perempuan dalam sejarah, di mana kisah Cut Nyak Dhien sebagai tokoh sentral akan disuarakan dari perspektif tubuh yang menyimpan trauma, keteguhan, keimanan dan ketegangan dalam diam,” kata Zikrayanti.
Ia berharap pementasan ini tidak hanya menjadi tontonan, melainkan juga ruang refleksi. “Lewat tubuh Cut Nyak Dhien, kita belajar bahwa perjuangan tidak selalu bersenjata; kadang, keberanian dan keteguhan adalah bentuk perlawanan yang paling dalam,” ujarnya.
Pementasan ini dipandang penting dalam memperkaya khazanah seni pertunjukan Aceh sekaligus menghadirkan cara baru dalam mengajarkan sejarah kepada generasi muda. Dengan pendekatan tubuh sebagai medium ekspresi, tema besar yang diusung menegaskan posisi perempuan dalam sejarah bangsa. Tubuh perempuan justru ditampilkan sebagai sumber kekuatan. Pesan ini selaras dengan semangat pemberdayaan perempuan dalam kehidupan kontemporer Aceh maupun Indonesia.
Pementasan “Cut Nyak” di museum Rumah Cut Nyak Dhien juga memiliki makna simbolis. Rumah peninggalan pahlawan perempuan itu menjadi saksi bisu perjuangan masa lalu, sekaligus panggung untuk menghidupkan kembali semangat juang lewat seni. Dengan menggabungkan kekuatan sejarah, seni pertunjukan, dan narasi perempuan, monolog tubuh Cut Nyak menjadi upaya kreatif untuk menjaga ingatan kolektif bangsa.
Pertunjukan ini tidak hanya memberi pengalaman teater yang reflektif, tetapi juga mengingatkan publik bahwa semangat perjuangan perempuan Aceh tetap relevan di masa kini. “Perjuangan Cut Nyak Dhien tidak hanya layak dikenang, tapi juga perlu terus dihidupkan dalam semangat seni yang membebaskan,” ujar Zikrayanti. [] Ikhsan Maulana, Founder Komunitas SISI BUKU




















