SAGOETV – Kegiatan “Ngopi Konstitusi” episode ke-157 yang diselenggarakan oleh Yayasan JSLG dan AKSA Law Center membahas dinamika hukum tata negara yang tengah hangat diperbincangkan, terutama terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Nomination Threshold. Acara ini mengundang berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, serta tokoh masyarakat untuk membahas lebih dalam implikasi putusan MK terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Dr. Wahyu Nugroho, S.M.A., Wakil Direktur JSLG, pembicara utama yang hadir memberikan pandangan mendalam. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Dewan Pembina Yayasan JSLG, sebagai keynote speaker, menjelaskan bahwa putusan MK ini merupakan langkah besar dalam penegakan demokrasi, yang tidak hanya mencerminkan perubahan paradigma dalam menafsirkan konstitusi, tetapi juga memperbaiki praktik politik yang dianggap melanggar prinsip keadilan dan kedaulatan rakyat.
Signifikansi Putusan MK
Prof. Jimly menyebutkan bahwa keputusan MK dalam perkara No. 62/PUU-XII/2024 untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden ini dapat menjadi tonggak sejarah dalam politik Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa MK tidak hanya berfungsi mengawal demokrasi dan konstitusi, tetapi juga memiliki peran strategis dalam merekayasa kebijakan konstitusional jangka panjang. Keputusan ini memberikan harapan baru bagi sistem demokrasi yang lebih terbuka dan inklusif.
Putusan ini menghapus ketentuan dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang selama ini mengatur ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Hal ini dianggap sebagai kebijakan yang tidak memiliki dasar ilmiah, transparansi, atau akuntabilitas. Titi Anggraini, salah satu penggagas uji materi tersebut, mengungkapkan rasa syukur atas keputusan MK ini, yang dianggap sebagai bagian dari perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih baik.
“Keputusan ini adalah hasil dari perjuangan lebih dari satu dekade yang mengarah pada long road to democracy. Sebelumnya, kami hanya berharap ambang batas tersebut bisa diturunkan, bukan dihapuskan sepenuhnya,” ujar Titi.
Pandangan Para Hakim MK
Meski demikian, putusan ini tidak lepas dari dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic, yang berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Meskipun demikian, mayoritas hakim MK sepakat bahwa Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden tersebut inkonstitusional dan harus dihapus.
Keputusan MK ini tentunya membawa dampak besar terhadap sistem politik Indonesia. Namun, pengamat politik mengingatkan bahwa keputusan ini harus diawasi dengan ketat untuk menghindari potensi terjadinya oligarki politik. Titi Anggraini mengingatkan pentingnya pengawasan agar keputusan ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan elit politik tertentu.
“Keputusan ini harus diikuti dengan upaya untuk memastikan bahwa sistem pemilu yang lebih terbuka ini benar-benar meningkatkan partisipasi politik masyarakat, tanpa membuka ruang bagi hegemoni elit politik,” tegasnya.
Demokrasi yang Lebih Inklusif
Dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden, diharapkan tercipta kompetisi yang lebih sehat antara calon presiden dari berbagai partai politik maupun calon independen. Ini merupakan langkah positif menuju demokrasi yang lebih inklusif dan memungkinkan partai-partai politik kecil serta calon-calon yang memiliki kualitas dan kapabilitas tinggi untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan presiden.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya sistem pemilu yang lebih adil, di mana pemilih dapat memilih calon berdasarkan kualitas, bukan hanya karena siapa yang memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan.
“Ke depan, kita perlu terus mendorong sistem politik yang semakin terbuka dan inklusif, di mana semua pihak, termasuk partai politik dan calon independen, memiliki kesempatan yang sama dalam berkompetisi,” harap Prof. Jimly.
Putusan MK untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden merupakan langkah penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, tantangan untuk menjaga demokrasi tetap sehat dan bebas dari dominasi oligarki tetap perlu menjadi perhatian semua pihak. Dengan semangat ini, diharapkan Indonesia dapat melangkah menuju sistem politik yang lebih adil, inklusif, dan demokratis. []