Oleh: Raihal Fajri dan Rahma Nur Azizah
Direktur Katahati Institute dan Mahasiswa Sosiologi, FISIP, Universitas Syiah Kuala
Bukan juga sekadar mengadang-gadang beda jenis kelamin saja, tapi lebih luas melihat konstruksi sosial yang dibangun dengan prinsip partisipatif dan keadilan. Karena kesetaraan bukan mengadu antar jenis kelamin, namun bertujuan untuk saling bergandingan tangan memajukan peradaban alih-alih menjadi saingan satu sama lainnya.
Makin ke Sini Makin ke Sana
Peringatan ‘simbolik’ International Women’S Day 2025 menggaungkan kembali hak-hak dan ruang hidup perempuan yang dirampas. Namun, ada juga yang menyajikan lusinan karya, ide dan gagasan perempuan-perempuan akar rumput yang merajut harap dalam inovasi-inovasi cemerlang untuk peradaban.
Peringatan awal Maret 2025 ini menjadi menguap begitu saja saat sepuluh nama mencuat ke permukaan yang menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh telah menetapkan calon staf khusus (stafsus) Gubernur Aceh pada sejumlah bidang terkait. Mirisnya, ke sepuluh nama tersebut adalah laki-laki.
Begitupun saat sejumlah nama, lagi-lagi hanya laki-laki mencuat sebagai nama-nama pilihan yang dianggap mampu memastikan hajat hidup Aceh lima tahun ke depan sebagai pengawal Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh berakhir sah-sah saja tanpa menghiraukan sejumlah kata keberatan.
Di sisi lainnya pertengahan tahun lalu, lima anggota Komisioner Informasi Aceh terpilih paska fit and proper test di DPRA juga hanya laki-laki. Meskipun sejumlah nama perempuan telah terpilih sebelumnya dalam rangkaian tes yang dilaksanakan tim independen di bawah koordinasi Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh.
Pemerintahan Bebal atau Gerakan Melemah?
Desas-desus terus mengalir seiring percakapan di dunia maya dan dunia nyata bergulir. Beragam protes sebagai bagian ketidaksepakatan dibicarakan. Mulai dari semakin jauhnya ruang pelibatan perempuan dalam perumusan kebijakan hingga lemahnya posisi tawar gerakan perempuan Aceh dalam menyikapi ini secara komprehensif.
Kenapa bebal? Karena bercerita tentang pengarusutamaan adalah cerita sudah berpuluh tahun yang tidak mungkin manusia di planet ini tidak terpapar, termasuk Aceh di dalamnya. Topik ini sudah disebarluaskan melalui semua saluran komunikasi, dari buku dan artikel ilmiah hingga cerita sederhana di sosial media dan percakapan warung kopi.
Riuh protes lainnya muncul saat sejumlah nama yang bahkan sama dengan usulan nama di tim RPJMA akankah menjadi puncak protes hingga membuka mata Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah atau lebih dikenal dengan Mualem-Dek Fad ini mampu melihat fenomena kemunduran peradaban ini.
Merujuk data yang termuat dalam RPJMA, ketimpangan gender di Aceh justru merendah. Salah satu pembahasan dalam RPJMA tahun 2025-2029 (RPJMA) berisikan data terkait dengan indeks ketimpangan gender (IKG). IKG bagian dari penyokong pembangunan secara berkelanjutan dengan melibatkan permasalahan gender. IKG mempunyai 3 aspek dan 5 parameter, yaitu: aspek kesehatan reproduksi perempuan yang terwujud melalui parameter keseimbangan perempuan yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan (MTF) dan keseimbangan perempuan yang melahirkan hidup pertama kalinya di usia kurang dari 20 tahun (MHPK20). Aspek pemberdayaan yang terwujud melalui parameter persentase penduduk dengan usia 25 tahun lebih, menempuh pendidikan SMA/sederajat ke atas, beserta aspek pekerja yang diwakilkan melalui parameter tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan data tersebut, memberi penjelasan bahwa IKG di Aceh kian mengecil yang menandakan angka ketimpangan gender semakin berkurang. Akan tetapi, fenomena di atas menandakan sebaliknya.
Di sisi lain, gempita perjuangan gerakan perempuan sebagai sebuah agenda perjuangan menuju kesetaraan telah lama bergaung di lorong-lorong sempit bahkan jauh dari paparan selebrasi ataupun sebaliknya. Sebenarnya mitigasi cerdas sudah harus menjadi agenda gerakan ini sejak pencalonan kandidat perempuan sebagai calon pemimpin politik pada Pilkada Serentak 2024 lalu yang meletakkan kandidat perempuan menjadi bulan-bulanan opini publik masif jika tidak ingin menyebutnya sistematis dan terstruktur. Sayangnya ini juga menjadi pembicaraan biasa menunggu proses pungut hitung berakhir dengan penentuan gubernur, wali kota dan bupati terpilih dilantik.
Gerakan perempuan di Aceh dimulai pada tahun 1989 dengan berdirinya organisasi perempuan. Kemudian lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat sipil yang berkaitan dengan perjuangan hak-hak perempuan mulai bermunculan di tahun 2004 setelah bencana tsunami menerpa Aceh. Keberadaan organisasi perempuan turut menggerakkan implementasi kesetaraan gender. Akan tetapi, keberlangsungan peran LSM dan OMS kian melemah. Secara konsep LSM dan OMS mendorong melakukan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh. Namun, apabila kinerja pemerintah tidak sejalan dengan program yang dijalankan oleh mereka, maka secara langsung maupun tidak tujuan dari gerakan perempuan tidak dapat berjalan secara maksimal.
Misalnya, keberadaan aktivis-aktivis Aceh yang turut menyampaikan aspirasi kegundahannya mengenai hak perempuan di media sosial atau menggelar aksi diskusi agar masyarakat mengerti bahwa kesetaraan gender penting diterapkan. Aktualitas yang terjadi mengenai aksi-aksi tersebut justru kurang berdampak nyata bagi perempuan Aceh terutama kancah politik maupun sektor lain dan tetap menjadi kaum yang terpojokan.
Mereka tetap diterpa stereotip tidak berkompeten dan kurang layak menjadi perwakilan rakyat. Melalui penerapan kebijakan yang tidak mengarah pada perempuan, harapannya pemerintah dapat menanamkan dan menerapkan gender mainstreaming sebelum membuat ataupun menetapkan kebijakan. Hal itu dilakukan melalui pendekatan yang mengarah pada perspektif gender dengan merumuskan kebijakan yang realistis dan tidak asal memberi pernyataan perlindungan perempuan maupun kesetaraan gender, namun yang terjadi justru berkontradiksi.
Partisipasi Perempuan dalam Kancah Politik
Pada tahun 22-25 Desember 1928, terbentuknya Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) dengan menyelenggarakan kongres yang pertama. Kemudian, pada tahun 1935 Kongres Perempuan II di Indonesia dilaksanakan. Pada tahun 1977, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memuat resolusi untuk hak perempuan dan perdamaian Internasional sebagai peringatan International Women’s Day (IWD). Pada tahun ini, IWD mengusung tema “Accelerate Action”.
Di Aceh, Kongres Perempuan yang disebut dengan Duek Pakat Inong Aceh didirikan pada bulan Februari 2002 yang menginginkan kedamaian bagi Aceh di tengah-tengah himpitan referendum. Selain itu, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Aceh turut menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati IWD sebagai aksi yang diharapkan dapat melindungi hak-hak perempuan dan merealisasikan kesetaraan gender bagi perempuan untuk berdikari dalam dunia politik maupun berkiprah di sektor-sektor lain.
Meskipun data Indeks Ketimpangan Gender (IKG) semakin mengecil dan kegiatan-kegiatan aksi mendorong kesetaraan gender aktif berlangsung, namun partisipasi perempuan Aceh dalam kancah politik masih sangat rendah. Berkaca pada partisipasi perempuan di ranah politik terutama kiprahnya dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, keterlibatan perempuan Aceh hanya sebesar 11% dan tingkatan keterlibatan perempuan secara nasional sebesar 21%. IKG di Aceh sebesar 69,92, sedangkan skala nasional berada pada 76,90.
Indeks Pengembangan Manusia (IPM) di Aceh juga menunjukkan adanya ketimpangan secara signifikan. Pada tahun 2014, IPM laki-laki Aceh sebesar 73,10, sedangkan IPM perempuan Aceh sebesar 66,89. Meskipun pada tahun 2023, IPM menunjukkan adanya kenaikan, perempuan sebesar 71,42 dan laki-laki sebesar 77,17. Namun, IPM yang terdata tetap saja menunjukkan adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan Aceh untuk mengibarkan sayapnya di kancah politik masih terbayang-bayang oleh stereotip yang melekat kuat yang menganggap mereka tidak cukup kompeten. Meskipun ambang batas keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen sudah mulai memasukan perempuan sebagai kader pencalonan. Akan tetapi, realitas yang terjadi justru lebih mengunggulkan para laki-laki sebagai pihak yang terpilih. Keberadaan perempuan hanyalah formalitas belaka sekadar menunaikan ambang batas yang sudah ditentukan.
Bukan juga sekadar mengadang-gadang beda jenis kelamin saja, tapi lebih luas melihat konstruksi sosial yang dibangun dengan prinsip partisipatif dan keadilan. Karena kesetaraan bukan mengadu antar jenis kelamin, namun bertujuan untuk saling bergandingan tangan memajukan peradaban alih-alih menjadi saingan satu sama lainnya.
Saya yakin Pemerintahan Mualem-Dek Fad sangat akrab bahkan sependapat dengan Hadih Maja berikut yang menyatakan dengan lugas: Adat bak Poe Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana. Ini bukan sekedar “narit indatu” semata, tapi adalah ruang dan peran kebijakan yang partisipasi dan berkeadilan.
Mualem-Dek Fad mempunyai visi dan misi yang akan dicapai pada era pemerintahannya. Salah satu misi yang termuat pada pilar kelima mengenai peningkatan kualiti dan daya saing sumber daya manusia poin pertama menyatakan bahwa tujuan pemerintahannya ini akan memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, penguatan kesetaraan gender, hak perempuan dan anak, serta penyandang disabilitas. Selain itu, 21 program prioritas pemerintahannya pun pilar kesepuluh, menyebutkan permasalahan yang sama, yakni kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan, anak, serta penyandang disabilitas.
Melalui misi dan program unggulannya tersebut seharusnya dapat terealisasikan nyata secara komprehensif terhadap hak-hak perempuan dan peranannya yang sering terabaikan, serta termarjinilisasi. Perlindungan perempuan mencakup segala sektor, baik politik maupun sektor-sektor lain yang berdampingan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi:
Bustami, Badrina, D., Halim, M. R., Dimila, M., Muliana, N., Fajri, R., Maulida, R., & Hasan, S. (2015). Inisiatif Masyarakat Sipil: Berbagi untuk Perubahan (A. Warsidi & T. Ardiansyah, Eds.). KATAHATI INSTITUTE.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Aceh. (2024). Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025-2029.
IWD-sejarah-panjang. (n.d.). Retrieved March 25, 2025, from https://sahabatsetara.id/wp-content/uploads/2022/04/IWD-sejarah-panjang.pdf