SAGOETV | BANDA ACEH – Pernikahan di usia muda kerap menjadi perdebatan di masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa menikah lebih awal dapat memengaruhi masa depan seseorang, baik dari segi pendidikan, karier, maupun kesehatan mental. Namun, tak sedikit yang meyakini bahwa menikah muda memberikan kesempatan membangun keluarga lebih dini dan tumbuh bersama pasangan.
Sebelum memutuskan menikah di usia muda, ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan, terutama kesiapan mental dan emosional. Lantas, berapa usia ideal untuk menikah? Pertanyaan ini menjadi topik diskusi dalam podcast yang menghadirkan Laila Juari, anggota Komite RPuK, serta Rukiyah Hanum, Ketua Majelis Hukum dan HAM PWA Aisyiyah dipandu oleh Host Ihan Nurdin, Jumat (14/3/2025).
Gerakan perempuan telah berlangsung sejak lama. International Women’s Day (IWD) pertama kali diperingati di Amerika Serikat pada abad ke-19 dan terus menjadi agenda internasional hingga kini. Ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan masih relevan.
Gerakan ini bermula dari isu diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami perempuan, khususnya di dunia kerja. Pada awal abad ke-19 dan 20, buruh perempuan di Eropa dan Amerika menghadapi kesenjangan upah yang signifikan dibanding laki-laki, meski bekerja dalam jam yang sama atau lebih lama. Di Amerika, perempuan bahkan tidak memiliki hak pilih dalam pemilu.
Di Indonesia dan Aceh, isu ketidaksetaraan gender masih menjadi tantangan. Berbagai persoalan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, dan diskriminasi masih kerap terjadi. Peringatan Hari Perempuan Internasional menjadi momentum refleksi dan perjuangan agar perempuan mendapatkan hak yang lebih setara.
Ketahanan Keluarga dan Literasi Digital
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, komunitas perempuan di Aceh berkolaborasi dalam berbagai kegiatan, termasuk diskusi yang diselenggarakan oleh Sago TV dan Balai Sura Urung Inong Aceh. Salah satu tema yang diangkat adalah ketahanan keluarga dan literasi digital, dua isu yang dianggap sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Ketahanan keluarga menjadi perhatian utama karena erat kaitannya dengan perlindungan perempuan. Sementara itu, literasi digital dinilai penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu perempuan, terutama dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, enam kabupaten di Aceh mencatat angka pernikahan dini yang cukup tinggi, yaitu Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Subulussalam, Gayo Lues, dan Aceh Barat. Jumlah kasus pernikahan dini di daerah tersebut mencapai 4.106 kasus.
Tingginya angka pernikahan dini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa fenomena ini masih tinggi? Secara psikologis, anak-anak yang menikah dini belum memiliki kesiapan untuk membangun rumah tangga. Oleh karena itu, penting untuk mendiskusikan isu ini secara luas agar masyarakat lebih sadar akan dampaknya.
Secara hukum, seseorang dikategorikan sebagai anak jika berusia di bawah 18 tahun. Namun, di banyak daerah, praktik pernikahan anak masih marak terjadi.
Anak-anak yang menikah dini kerap belum matang secara psikologis maupun biologis. Mereka masih berada dalam fase perkembangan dan belum siap menghadapi kompleksitas kehidupan berumah tangga. Dalam beberapa kasus, anak-anak bahkan dinikahkan dengan pasangan yang jauh lebih tua. Penelitian di Aceh Utara menemukan bahwa dari enam keluarga yang diteliti, dua kasus pernikahan anak terjadi akibat perkosaan, sementara empat lainnya dilatarbelakangi faktor kemiskinan.
Dalam banyak kasus, pernikahan anak dijadikan solusi ekonomi bagi keluarga. Namun, keputusan ini sering kali berujung pada masalah yang lebih besar, seperti penelantaran keluarga, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada kasus di mana suami jauh lebih tua, kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak terjadi. Selain itu, anak perempuan yang menikah akibat perkosaan sering menghadapi stigma sosial yang justru memperburuk kondisi mereka.
Tingginya angka pernikahan anak di Aceh beriringan dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Beberapa daerah dengan angka pernikahan anak tinggi, seperti Aceh Timur, Aceh Utara, dan Bireuen, juga mencatatkan kasus kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi dibanding daerah lain. Ini menunjukkan adanya korelasi antara pernikahan usia dini dan risiko kesehatan yang serius.
Pendidikan sebagai Solusi
Kurangnya pendidikan menjadi faktor utama yang mendorong pernikahan anak. Jika orang tua tidak memiliki pemahaman yang cukup, mereka cenderung mengulangi pola yang sama dengan menikahkan anak mereka di usia dini.
Pendidikan tentang kesehatan reproduksi perlu diperkuat, bukan dalam konteks mengajarkan hubungan seksual, melainkan untuk memberikan pemahaman tentang tubuh, pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, serta risiko yang ditimbulkan oleh pernikahan dini.
Di era digital, tantangan semakin besar. Anak-anak dengan mudah mengakses informasi melalui media sosial, tetapi tanpa pendampingan yang memadai, risiko yang dihadapi juga semakin besar. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, sebagian anak justru dinikahkan, padahal mereka belum memiliki kemampuan untuk menyeleksi informasi digital, apalagi menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Pernikahan anak bukanlah solusi, melainkan pemicu berbagai permasalahan, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun sosial. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan keluarga dalam meningkatkan kesadaran serta kualitas pendidikan. Dengan demikian, pernikahan anak dapat dicegah dan ketahanan keluarga semakin kuat.
Tingginya angka kekerasan seksual menjadi perhatian serius. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap hal ini adalah akses yang tidak terkontrol terhadap konten yang tidak layak bagi anak-anak. Kurangnya pendampingan dari orang tua dalam mengakses media digital memperburuk keadaan.
Keluarga memiliki peran sentral dalam mengedukasi anak-anak mengenai pemanfaatan media digital secara bijak. Teknologi memang memudahkan akses informasi, tetapi tanpa bimbingan, risikonya semakin besar. Oleh karena itu, diskusi tentang literasi digital dan pencegahan pernikahan anak harus terus digalakkan guna membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. []