Oleh: Rahmat Fahlevi.
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas, Syiah Kuala. Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Setiap tahunnya semua elemen masyarakat mulai dari akademisi hingga para birokrat memperingati hari pahlawan yang bertepatan pada 10 November.
Bagaimana tidak? Selama berabad-abad para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan sangat sungguh-sungguh dan mendedikasikan nyawanya untuk mengusir para penjajah dari tanah air kita.
Bagi saya, pahlawan dapat dibagi kepada dua tipe, pertama adalah para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan dan mengusir penjajah dengan cara berperang melawan kolonialisme Belanda diantaranya Teuku Umar, Cut nyak Dhien, Pattimura, Imam bonjol, Pangeran di Ponegoro dan lainnya.
Dan yang kedua adalah para pahlawan yang memilih jalan pertempuran pemikiran untuk memerdekakan Indonesia diantaranya Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Tan malaka, Maramis, Sayuti Malik dan lainnya.
Semua para pahlawan kita memiliki metode tersendiri dalam memerdekakan Indonesia berdasarkan keadaan, ruang dan waktu yang menuntut para pahlawan agar melakukan pergeseran paradigma.
Saat menulis opini ini, saya sendiri tidak kuat sekaligus tersayat melihat bagaimana realita yang terjadi sekarang di Indonesia yang jauh dari harapan para founding fathers.
Pelanggaran HAM terjadi dengan marak yang dilakukan oleh negara dengan sikap totaliter terhadap masyarakatnya. Korupsi menjadi budaya dalam birokrasi kita menumbangkan Soeharto dengan dalil Korupsi tetapi Index persepsi korupsi (IPK) meningkat setelah tumbangnya rezim orde baru, perebutan lahan secara paksa dari masyarakat. Pemerintah lebih mementingkan korporasi dibandingkan welfare masyarakatnya dan banyak sekali kompleksitas lain yang menjadi obstacle bagi kemajuan Indonesia.
Kerusakan terjadi dalam multi dimensi, meningkatnya nepotisme dan lambannya birokrasi mengakibatkan menurunnya pelayanan terhadap masyarakat.
Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut oleh Freud manusia yang gagal dalam memproteksi Das es dengan Das ich. Das es meliputi hasrat, nafsu dan keinginan manusia. Untuk mengontrol Das es diperlukan Das ich yaitu pengendalian terhadap Das es yang menciptakan uber ich, sehingga menghasilkan tindakan manusia berdasarkan norma, peraturan dan Hukum yang membuat manusia menjadi bermartabat.
Patologi birokrasi berupa korupsi yang merajalela dalam birokrasi Indonesia merupakan refleksi dari gagalnya para aparat pemerintah dalam mengontrol das es, atau dalam bahasa Ellias Canneti disebut sebagai kegagalan manusia dalam mengontrol sifat kebinatangannya.
Para founding fathers telah menyusun UUD 1945 dan Pancasila berdasarkan falsafah hidup masyarakat Indonesia yang tidak kebarat-baratan dan tidak pula ketimur-timuran, tidak pro Liberal ataupun Komunis melainkan sinkresi antara keduanya sebagai way of life masyarakat Indonesia. Tujuan dibentuknya ini sebagai pilar negara yang setiap eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan masyarakat Indonesia bukan mengeksploitasi sumber daya demi kepentingan asing.
Namun jika setiap tindakan para aparatur negara merugikan kepentingan nasional ini akan mencederai amanah dan raison de’etre para pahlawan kita yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Sungguh sangat ironis jika negara diberikan mandat kepada mereka yang tidak paham bagaimana historiografi bangsa, tidak paham akan demografi masyarakat Indonesia yang multikultural, tidak mengerti dinamika perpolitikan dunia.
Yang mengakibatkan keadaan Indonesia seperti sekarang ini adalah antara ketidaktahuan pemimpin dan aparatur negara atau kepentingan yang sifatnya pragmatis lagi opportunis. Jika sikap ini yang terus di pertontonkan pemerintah kepada publik maka kedaulatan negara dan nasionalisme yang ada pada masyarakat akan terkikis.
Mengutip salah satu maqalah dari Sayyidina Ali R.A yang mengatakan “Tabqa ad-daulah al-‘adilah wa inkanat kafiratan wa tafna ad-daulah ad-dhalimah wa inkanat muslimatan”
Akan kekal sebuah daulah (negara) yang dipimpin secara adil walaupun daulah tersebut dipimpin oleh non muslim dan akan runtuh sebuah daulah yang dipimpin secara tidak adil walaupun dipimpin oleh orang muslim.
Dilanjutkan oleh beberapa adagium “Dis” dari Menkopolhukam kita Mahfud MD yang mangatakan “Apabila negara dipimpin secara tidak adil dan Hukum tidak di tegakkan maka akan terjadinya disorientasi dari tujuan negara, jika disorientasi terjadi maka akan muncullah distrust atau ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah, jika distrust meluas maka akan munculnya disobedience atau pemberontakan dari masyarakat terhadap pemerintah dan pada akhirnya terjadilah disintegrasi bangsa”
Saya sebagai Mahasiswa dan generasi pewaris negara tidak akan pernah berhenti memimpikan sebuah negara yang utopis dimana kepentingan rakyatnya lebih di utamakan di atas apapun, terus memupuk nasionalisme dan menggunakan apapun kemungkinan untuk memperbaiki bangsa dan negara semoga negara kita menjadi negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.[]