Oleh: Dr. Tuti Marjan Fuadi, M.Pd
Wakil Rektor I Universitas Abulyatama Aceh. Email: tutimarjan@gmail.com
Pada tanggal 12 Desember 2020 yang lalu, Kementerian Pendidikan Tinggi Indonesia meluncurkan sebuah program yang dinamakan Kedaireka. Ini adalah sebuah kebijakan yang baru lagi dari kementerian. Sejak “Mas Menteri” Nadeim Makariem menjabat sebagai pimpinan lembaga Pendidikan Tinggi, ada banyak sekali inovasi yang beliau lakukannya. Sebagai anak muda yang sangat dekat dengan perkembangan teknologi, beberapa inovasi tersebut tentu saja berbasis pada teknologi. Fokus utamanya terutama dalam menyiapkan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi yang siap ditempatkan di dunia kerja. Oleh sebab itu beberapa kebijakan lama dilanjutkan oleh Nadiem dengan cara dan wajah yang baru. Inovasi ini secara umum diapresiasi sebagai langkah besar, yang dapat disebukan sebagai inovasi yang bermanfaat baik bagi dunia pendidikan maupun di dunia usaha.
Masalahnya inovasi tersebut menuntut kesiapan yang ekstra dari Universitas atau Perguruan Tinggi dalam implementasinya. Beberapa kebijakan Nadiem bukanlah sebuah inovasi yang sederhana melainkan sebuah loncatan yang luar biasa terutama dibandingkan dengan tingkat melek teknologi di dalam masyarakat Indonesia, bahkan di dunia pendidikan tinggi itu sendiri. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan posisi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Aceh dalam mengahadapi “revolusi” Mas Menteri ini.
Dua diantara program Mas Menteri yaitu Program Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Kedaireka yang baru diluncurkan. Kebijakan MBKM dibuat untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa agar menguasai berbagai pengetahuan yang berguna saat kelak mereka memasuki dunia kerja. Selama ini mahasiswa hanya diperbolehkan mengambil Mata Kuliah yang disiapkan oleh Program Studi di mana ia kuliah. Dalam program Kampus Merdeka, mahasiswa memiliki peluang untuk memilih mata kuliah yang berada diluar Program Studinya namun masih dalam Perguruan Tinggi yang sama dan atau di Program Studi yang sama di Perguruan Tinggi yang berbeda.
Untuk itu dalam program MBKM menawarkan delapan kegiatan yakni; pertukaran pelajar, magang (praktik kerja), asisten mengajar disatuan pendidikan, penelitian, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen dan membangun desa. Melalui delapan program MBKM ini diharapkan terubukanya kesempatan yang luas bagi mahasiswa untuk memperkaya dan meningkatkan wawasan serta kompetensinya di dunia nyata sesuai dengan passion dan cita-citanya. Kesempatan ini juga akan tercipta sebuah kultur baru dalam proses pembelajaran, dimana belajar dapat terjadi dimanapun, semester belajar tidak terbatas, tidak hanya diruang kelas, perpustakaan dan laboratorium, tetapi belajar juga dapat terjadi di desa, industri, tempat-tempat kerja, tempat-tempat pengabdian, pusat riset, maupun di masyarakat. Kampus merdeka ingin mewujudkan pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta sebuah kultur yang inovatif, tidak mengekang dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Kebijakan kedua disebut dengan Kedaulatan Indonesia dalam Reka Cipta (Kedaireka). Program ini secara resmi diluncurkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di tanggal 12 Desember 2020. Kedaireka dibuat berbentuk sebuah platform virtual yang diharapkan mampu menghubungkan serta menwujudkan kemudahan sinergi antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri. Kebijakan ini sebagai sebuah kelanjutan dan pengembangan dari visi kampus merdeka.
Kedaireka dibuat dalam rangka mewujudkan mimpi lama pendidikan tinggi untuk bersinergi dengan dunia usaha dan industri dalam satu platform. Hal ini dirasa penting agar dunia usaha dan pendidikan dapat berjalan beriringan hingga kolaborasi keduanya dapat memperoleh hasil maksimal. Melalui platform ini dunia kerja yang memiliki berbagai masalah dan kebutuhan dapat bertemu dengan dunia pendidikan tinggi yang memiliki berbagai solusi untuk masalah tersebut. Dengan demikian akan memotong banyak rantai yang memperjarak keduanya hingga saling melengkapi.
Realitas PTS
Aceh memiliki Perguruan Tinggi Swasta yang sangat banyak. Dari data yang ada, Aceh mencatat 111 buah Perguruan Tinggi swasta, yang terdiri dari 10 universitas, 49 sekolah tinggi, 48 akademi dan 4 politeknik. Belum lagi perguruan tinggi swasta di bawah kementerian agama yang berjumlah 32 buah. Akumulasi semunya menempatkan Aceh menempati posisi nomor dua di Sumatera. Hal ini dapat dilihat dengan dua sisi. Pertama menunjukkan tingginya semangat melanjutkan pendidikan dikalangan masyarakat di Aceh. Hal ini menorong mereka yang memiliki ide-ide tentang pengembangan SDM melalui perguruan tinggi untuk mendirikan PTS. Disisi lain ini juga menunjukkan minimnya kreatifitas dari pengusaha dan mereka yang memiliki modal sehingga memilih membuat perguruan tinggi sebagai usaha yang mendapatkan keuntangan ekonomis.
Terlepas dari dua sudut pandang tersebut, kenyataannya Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki Universitas Swasta yang sangat banyak dan tersebar dihampir semua daerah kabupaten/kota. Kondisi ini tentu saja menyebabkan jumlah mahasiswa yang sekolah di pendidikan tinggi di Aceh sangat tinggi dimana jumlah siswa lulusan SMA sederajat yang mendaftar sebagai mahasiswa baru ke perguruan tinggi mencapai 192.581 serta yang dinyatakan lulus sebagai mahasiswa baru sebanyak 37.117. Jika semuanya lulus, ini berarti ada 20 ribu sarjana lahir di Aceh setiap tahun. Itu baru dari universitas yang ada di Provinsi ini. Tanpa sebuah skill dan keterampilan yang langsung dapat diimplementasikan dalam dunia usaha tentu saja mereka akan menjadi pengangguran. Kita tahu bahwa pengangguran adalah akar kemiskinan.
Kebijakan “Mas Menteri”
Kebijakan MBKM dan Kedaireka seperti telah disinggung diatas harus menjadi perhatian PTS di Aceh. Hal ini kelak akan menjadi pintu gerbang yang sangat terbuka dalam melahirkan sarjana yang siap ditempatkan di dunia usaha. Pun demikian ini bukanlah perkara yang mudah. Bukan rahasia lagi lembaga pendidikan tinggi di Aceh mengalami tantangan yang berat karena konflik-konflik internal di dalam lembaga dan keterbatasan dana pengembangan kampus. Kondisi demikian dapat menghalangi pendidikan tinggi swasta untuk mewujudkan mimpi menghasilkan sarjana yang berkualitas seperti visi kementerian.
Ada beberapa hal yang harus disiapkan oleh perguruan tinggi swasta untuk mengatasinya. Pertama, melakukan kerjasama dengan dunia industri dalam wujud MoU dan MoA untuk dapat menjalankan kegiatan magang oleh mahasiswa. Kedua, membangun kemitraan dengan berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta untuk program pertukaran pelajar. Ketiga, menguatkan basis keilmuan di kampus dengan beragam inovasi mutakhir yang sesuai dengan perkembangan teknologi sehingga mahasiswa dapat mengimplementasikannya dalam wujud nyata membangun desa, berwirausaha dan bahkan mengembangan riset dan proyek kemanusiaan.
Namun ada banyak tantangan dalam mewujudkan hal ini. Jumlah industri yang sangat terbatas menyebabkan ruang untuk magang mahasiswa juga sempit. Bahkan UMKM yang di daerah lain telah menjadi solusi baru perekonomian juga masih sangat terbatas di Aceh. Demikian juga dengan persoalan pembiayaan yang juga menjadi kendala. Program MBKM membutuhkan biaya tambahan yang besar. Siapa yang menanggung bebas biaya ini? apakah mahasiswa harus menanggung biaya tambahan atas kebijakan ini? Apakah lembaga atau dunia usaha bersedia memberikan layanan percuma? Ini masih menjadi masalah. Demikian juga dengan keterbatasan sumberdaya manusia yang dapat mengelola sarana teknologi informasi di PTS yang tentu saja akan menghalangi implementasi kebijakan ini.
Dukungan pemerintah daerah sangat diperlukan di sini dalam rangka mempermudah implementasi kebijakan tersebut. Beberapa yang dapat dilakukan antara lain mempermudah serta menfasilitasi mahasiswa untuk dapat magang (praktik kerja) di instansi pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan mendukung anggaran untuk mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian, proyek kemanusiaan serta kegiatan wirausaha. Selain itu juga dapat memberikan kelonggaran penggunaan dana desa untuk pengembangan SDM mahasiswa dalam menjalankan kegiatan membangun desa. Mendukung UMKM yang dapat menampung mahasiswa magang.
Sebagai penutup tulisan ini, saya menegaskan bahwa inovasi kebijakan di perguruan tinggi yang digagas oleh “Mas Menteri” bagus bagi peningkatan kompetensi sumberdaya manusia Indonesia khususnya Aceh. Bila dilihat pengaruh jangka panjang, kedepan kita akan memperoleh SDM yang unggul. Selain dapat menjadi tenaga kerja, mereka juga dapat menginisiasi pembukaan lapangan kerja baru yang sangat variatif sehingga dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Namun pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama, siapkah perguruan tinggi swasta menjalankan kebijakan ini?[]