Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin.
Produser Film Satu Kampung Tiga Cahaya (2019), Pujangga Sufi (2020), Terdidik Toleran (2020).
Melawan pandemi covid-19 bukanlah hal yang mudah. Hingga saat ini belum ada obat yang benar-benar tepat untuk virus ini. Para ahli masih pula pingkui (pontang panting) melakukan penelitian dan percobaan untuk menemukannya. Proses ini tentu saja tidak mungkin dilalui dalam waktu singkat. Atau bahkan memang tidak dapat ditemukan sama sekali, seperti halnya HIV yang hingga saat ini tidak dapat ditaklukkan.
Namun demikian hidup tetap wajib dilanjutkan. Di sinilah kita perlu melakukan penyesuaian diri. Di satu sisi hidup tetap harus “normal”, di sisi lain lingkungan “tidak normal” karena dikelilingi virus. Apa yang kemudian disebut dengan “new normal” adaah pilihan yang paling mungkin.
Hidup dalam kenormalan baru telah mengubah banyak hal dalam kehidpan sosial kita, pendidikan, ekonomi, kesehatan, kerja, karena semua itu berbasis pada relasi sosial yang dibatasi. Semua budaya yang terkait dengan relasi antar personal baik individu maupun dalam jumlah banyak harus dicarikan jalan berbeda dengan apa yang selama ini telah kita lakukan. Oleh sebab itu lahirnya budaya baru tidak dapat dielakkan. Kita menyaksikan bagaimana budaya baru itu lahir saat ini dan bahkan kita senidri adalah bagian dari budaya tersebut.
Walau hubungan sosial secara fisik dituntut berjarak, namun relasi emosional dalam melawan pandemi ini justru harus lebih dieratkan. Jarak fisik sama sekali tidak boleh membentengi relasi yang lebih intim antar sesama manusia dengan beragam budaya, ras, dan bahkan agamanya. Perlu ditingkatkan kehidupan yang toleran. Berasal dari kata Latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri, toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok dan antarindividu dalam masyarakat.
Terkait kehidupan di era new normal ini, ada empat model toleransi yang harus dibangun sebagai kunci penting melawan pandemi.
Pertama toleransi dalam pemikiran. Manusia dibekali oleh Allah dengan kemampuan berfikir. Ada banyak ayat dalam kitab suci yang menegaskan betapa manusia harus menggunakan pikirannya. Hasil olah pikiran tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Setiap orang memiliki cara pikir yang berbeda sesuai dengan kapasitas keilmuan dan lingkungannya. Oleh sebab itu bersikap toleran atas keberagaman pemikiran adalah suatu keharusan. Kita tidak mungkin menyamakan semua pikiran orang dalam satu model saja sebab itu bertentangan dengan sunnatullah. Sebaliknya yang harus kita lakukan adalah bagaimana menjadikan keberagaman pemikiran itu menjadi kekuatan yang dapat semakin memperkuat kehidupan sosial kita, apalagi pada masa pandemi ini.
Dalam agama, keberagaman pemikiran menghasilkan mazhab pemikiran yang beragam atau apa yang kita sebuat dengan mazhab. Mazhab pemikiran ini juga beragam, ada mazhab fikih, mazhab teologi (kalam), mazhab filsafat, mazhab politik, dan lain sebagainya. Tujuanya bisa jadi sama, yakni membawa umat kepada jalan yang benar dan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Namun bacaan dan pemahaman berbeda atas dasar yang ditinggalkan Rasulullah tersebut membuat mereka berbeda dalam pelaksanakanya ritual agama. Disinilah kita wajib bertoleran, menghormati pikiran yang berbeda tersebut karena kita menyadari ada maksud yang baik di belakangnya.
Kedua, toleransi sosial. Sama halnya dengan pikiran, Allah juga menciptakan manusia bersuku dan berbangsa, bahasa, budaya dan warna kulit yang berbeda. Di sini kita perlu bertoleransi. Pembunuhan yang dilakukan polisi Amerika atas pria berkulit hitam karena warna kulitnya baru-baru ini adalah contoh betapa toleransi atas warna kulit masih menjadi masalah besar di dunia saat ini. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dan Aceh.
Ada banyak bahasa yang mengandung kebencian dan merencahkan suku bangsa tertentu yang digunakan dalam masyarakat. Padahal bahasa-bahasa tersebut dapat memicu konflik antar budaya dan ras yang lebih besar.
Secara sosial manusia saling membutuhkan. Apa yang kita dapatkan sekarang adalah hasil dari pekerjaan banyak orang. Sekecil apapun yang kita miliki tidak mungkin kita produksi sendiri. Sebutir nasi yang kita makan adalah proses kerja keras petani, pedagang, sopir, pegawai pasar, dan lain sebagainya. Demikian juga dengan apa yang kita lakukan, hasilnya akan dinikmati oleh banyak sekali orang. Bahkan kita sama sekali tidak mengetahui siapa yang menikmati hasil kerja tersebut. Oleh sebab itu Dalam masa pandemi ini toleransi ini harus semakin ditingkatkan demi persatuan dan kekuatan dalam menghadapi wabah.
Ketiga, toleransi jenis kelamin. Allah menciptkan manusia dengan jenis kelamin yang berbeda. Kondisi ini tidak dapat dipilih oleh manusia saat ia lahir. Allah-lah yang menentukan siapa yang akan lahir dalam jenis kelamin laki-laki atau jenis kelamin perempuan. Ini adalah pilihan Tuhan. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi semua orang untuk menghormati pilihan Tuhan dengan menghormati ciptaanya. Seorang yang mencela, merendahkan, mencaci, dan menistakan orang karena jenis kelaminnya berarti telah mencela pilihan Tuhan. Tentu saja tidak bijak seorang manusia menghina pilihan Tuhan.
Dalam masyarakat kita diskriminasi karena jenis kelamin ini sangat kentara. Berbagai praktik pelecehan seksual muncul karena cara pandang ini. Seorang laki-laki merasa lebih berkuasa dan memiliki power lebih besar dibandingkan perempuan. Dengan cara pandang ini mereka melakukan pelecehan pada perempuan. Inilah kita sebut dengan diskriminasi gender. Sejatinya kita wajib menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi fitrahnya. Dan penting untuk memastikan mana yang disebut fitrah, mana yang berasal dari sebuah konstruksi sosial yang kemudian dianggap sebagai fitrah. Oleh sebab itu toleran atas jenis kelamin yang berbeda adalah sebuah keniscayaan.
Keempat toleransi antarumat beragama. Hilangnya toleransi antarumat beragama telah melahirkan banyak sekali masalah di dunia. Ada banyak perang yang terjadi karena masalah ini. Bukan hanya di Indonesia, konflik antarumat beragama tejadi di berbagai belahan dunia. Kampanye yang dilakukan untuk membangun toleransi masih kurang kuat dibandingkan dengan keinginan sekelompok orang untuk melakukan sebaliknya.
Hal yang paling kita sayangkain seringkali intoleransi antarumat beragama ditunggangi oleh kepentingan politik yang menggunakan umat beragama sebagai kenderaannya. Padahal secara sosial umat beragama hidup damai dan akur. Namun begitu sekelompok orang politik menggunakan mereka untuk kepentingan politiknya, konflik umat beragamapun terjadi. Ini sering terjadi dan akan terus terjadi di masa depan jika kita semua tidak berusaha menghentikannya.
Saya ingin menegaskan bahwa toleransi harus dipahami lebih umum dan luas. Dengan hanya menempatkannya sebagai toleransi beragama maka banyak hal yang terabaikan. Padahal toleransi mencakup banyak hal dalam kehidupan kita saat ini.
Dengan menempatkan toleransi dalam empat model di atas maka kita akan melihat lebih luas dan mengembangkannya dalam kehidupan yang lebih luas. Apalagi dalam kondisi pandemi ini, maka toleransi semakin menjadi keniscayaan sebab kita tidak akan mungkin kita menghadapi pandemi ini sendiri, namun tetap harus bekerja sama. Merusak kerja sama dengan praktik intoleransi akan menyebabkan masyarakat kita justru menjadi lemah dan rentan dalam menghadapi pandemi. Sementara dengan toleransi dan tentu saja terus berdoa kita akan melintasi pandemi ini dengan sukses, insya Allah.[]