Oleh: Risky Almustana Imanullah
Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan, UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Kebodohan yang masih bergeming di era four point zero (4.0) menghambat laju pengembangan dan kemajuan suatu negara. Tidak terkecuali Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka dari penjajahan kolonial. Masih banyak masyarakat yang belum mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman modern karena minimnya fasilitas dan edukasi yang diberikan. Terlebih lagi Aceh merupakan daerah yang pernah dilanda konflik berkepanjangan era tahun 1976 hingga akhir 2005. Pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosa tanpa rasa manusiawi terjadi dimana-mana bak zaman jahiliah yang jauh dari nilai peradaban, tidak bermoral dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Tidak ada regulasi hukum yang melindungi dan mengangkat derajat manusia sebagai makhluk sosial pada saat itu. Walaupun dalam pembukaan Undang-Undang Dasar disebutkan “penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Seperti yang terjadi pada zaman sebelum Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul, kebengisan dan kejahatan terjadi dimana-mana, mereka lebih cenderung terhadap pemikiran hedonism. Tidak ada pendidikan moral, kemanusiaan dan kasih sayang pada saat itu, mereka mutlak jahil. Sebagai contoh yang dilakukan oleh sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Umar Bin Khattab sebelum memeluk agama Islam, pernah mengubur anak perempuanya hidup-hidup.
Seiring berkembangnya zaman, hingga dasawarsa akhir ini. Perubahan zaman dan kemajuan teknologi seharunya menyadarkan manusia untuk terus mengenyam pendidikan, meningkatkan potensi diri, terutama dalam hal pendalaman ilmu agama, sosial, dan eksak untuk meminimalisir kebodohan (kejahilan) yang terus dipertontonkan tanpa rasa bersalah (berdosa). Secara terminologi jahiliyah lebih merupakan sebuah sikap kejiwaan yang tetap ada sampai kapanpun, berdiam diri dalam hati setiap manusia, mewujudkan diri setiap saat dengan mengikuti hawa nafsu. Ini merupakan perihal malapetaka.
Ironisnya, dengan kecanggihan dimasa sekarang ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, begitu juga pemerintah. Artinya, masyarakat tidak siap menghadapi perkembangan zaman yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan, minimnya semangat untuk belajar, malas dan lebih menyukai ihwal praktis. Akibatnya sebuah praktik jahiliyah terlahir kembali dengan polesan ala modern, seperti “game domino online” merupakan praktik perjudian yang dulunya dilakukan ditempat-tempat tertentu, dewasa ini bisa dinikmati dimana saja dan kapan saja hanya dengan smartphone dan akses internet. Tidak hanya dari kaum muda dan orang tua, bahkan di kalangan anak-anakpun sudah mulai terkontaminasi. Apa hal positif yang didapatkan dari kondisi seperti ini? Tentu tidak ada.
“Zaman modern rasa jahiliah” sebuah untaian kalimat yang merepresentasikan situasi Indonesia saat ini. Buktinya, Pendidikan hari ini tidak mampu menjawab pertanyaan, setelah anda menempuh Pendidikan tinggi, mau kerja dimana?, bahkan ada anak yang rela putus sekolah untuk fokus bekerja, orang tua yang menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah demi menggapai cita-cita si buah hati, baik itu menjadi pegawai negeri, polisi, tentara dan profesi lain yang bisa dicapai dengan suap-menyuap. Disini teman-teman bisa melihat bahwa Pendidikan di Indonesia tidak menjadi prioritas utama.
Tidak heran jika kondisi di Indonesia yang hiruk pikuk, problematik yang semakin tumpang tindih, pengangguran terus bertambah memanifestasikan kepapaan yang terpelihara dan peraturan semakin garing akibat negara di kelola oleh orang yang ber-uang, bukan yang berpengetahuan. Yang kuat menjadi raja, yang lemah menjadi hamba, idealis yang mulai redup, mental semakin menciut, regulasi kalang kabut, artinya kita sedang berada dalam lingkungan dengan situasi jahiliah era modern.
Sangat disayangkan ketika ihwal konyol di pertontonkan, kecurangan menjadi rahasia umum, pencitraan untuk mendapat kekuasaan, masyarakat yang berulang kali tertipu karena kebodohan, kaum terpelajar yang penalarannya terbatas dari isi perut hingga di atas lutut, petugas keamanan yang menakut-nakuti masyarakat dengan seragam kebanggaan, untuk mendapat posisi yang di inginkan harus dengan suap-suapan. Tidak peduli kualitas apa yang dimiliki, tetapi seberapa banyak uang yang mampu di keluarkan agar hasrat terpenuhi. Itulah yang terjadi di Indonesia.
Jauh berbeda dengan negara Jepang. Jika dilihat secara historis Jepang termasuk negara yang banyak geruh-gerah. Mulai dari gempa dan tsunami dahsyat yang melanda jepang merenggut ribuan korban jiwa dan kerugian besar-besaran, pada bulan Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, menewaskan lebih kurang 129.000 jiwa.
Tetapi tidak membuat negara tersebut keteteran, terutama dalam segi pendidikan dan kemajuan teknologi yang saat ini memasuki revolusi industri 5.0. Bagaimana dengan Indonesia saat ini yang merupakan negara agraris, kekayaan alam yang begitu melimpah menjadi alasan utama penjajahan membumi di Indonesia. Sudah memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Walaupun Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Sejauh mana negara menyadarkan dan memberi edukasi pentingnya Pendidikan terhadap masyarakat?
Tidak heran, jika hari ini banyak para investor yang datang ke Indonesia, namun tidak memperkerjakan tenaga lokal, karena masih meragukan kualitas pekerja tersebut di bidang tertentu. Seharusnya dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, negara mampu menyadarkan dan memberikan fasilitas Pendidikan yang baik agar integritas Sumber Daya Manusia (SDM) lokal tidak diragukan lagi, dan dengan harapan mampu mengelola Sumber Daya Alam (SDA) secara mandiri.
Disisi lain, pemerintah sudah salah kaprah dalam pemusnahan dan pembatasan untuk mempelajari buku kiri. Seharusnya mendorong masyarakat untuk menurunkan angka buta baca dan tulis, bukan malah membatasi dalam membaca. Bagi penulis, ketika seseorang membaca dan mempelajari buku kiri, artinya orang tersebut adalah orang visioner dan peduli terhadap negeri. “jangan di anggap sebagai orang yang mengancam negara”, kecuali “mengancam oligarki di Indonesia”. Indonesia negara demokrasi. “atau jangan-jangan pemerintah tidak faham apa itu demokrasi?”. Sangat disayangkan jika demokrasi diartikan sebatas kedaulatan berada di tangan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), karena fakta dilapangan adalah dari rakyat oleh yang ber-uang untuk kelompok tertentu. Sejauh ini penulis belum pernah mendengar terkait demokrasi apa yang berlangsung di Indonesia, demokrasi murni? demokrasi liberal? demokrasi Pancasila? atau lainnya. Karena demokrasi yang sedang berlangsung untuk saat ini adalah sistem yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing, mengekspresikan diri, sehingga mampu menyulut api keributan dimana-mana.
“Sudahlah, akhiri saja permainan ini”. Negara butuh pemimpin yang mampu menjadi teladan. Dewan yang fasih lidahnya dan jelas pendengaran. Aparat yang mengayomi, bukan yang mengintimidasi. Mahasiswa yang teliti dalam menginput setiap informasi, tidak gegabah saat melakukan aksi (memperdalam kajian sebelum melaksanakan demonstrasi), serta masyarakat yang peduli dan mengerti terhadap arti pentingnya pendidikan. Kita terlalu bodoh dalam mengartikan sesuatu. Mayoritas masyarakat lebih mengutamakan tenaga otot dari pada otak, sehingga lupa memberikan nutrisi yang cukup kepada otak untuk mampu menjadi seorang visioner. Akhirnya, lebih memilih menjadi budak dari pada manusia yang merdeka.