Oleh: Juanda Djamal
Ketua Fraksi Partai Aceh, DPRK Aceh Besar (2019-2024).
Pembangunan perdamaian Aceh telah berjalan 16 tahun, tentunya banyak keadaan telah berkontribusi atas proses transformasi pergerakan politik Aceh dari bersenjata ke politik/diplomasi.
Wali Tgk Muhammad Hasan di Tiro menegaskan bahwa perjuangan rakyat Aceh untuk mencapai kemerdekaan dan kemakmuran dapat ditempuh melalui beberapa strategi perjuangan, antara lain bersenjata, propaganda, diplomasi/politik, dan ekonomi. Mengikuti kerangka strategi tersebut, era bersenjata dan propaganda telah dilalui dari 1976-2005. Dimana awal pergerakan hanya kelompok kecil, maka atas berbagai perkembangan dan propaganda, kemudian meluas sampai ke seluruh Aceh. Namun, perundingan politik telah melahirkan kesepakatan politik dan berakhir dengan perjanjian damai Helsinki, 15 Agustus 2005, dan diatur secara hukum perundang-udangan Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang No11/2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh.
Maka, sejak 15 Agustus 2005, era baru perjuangan dimulai, yaitu era perjuangan politik. UU No/11/2006 mengatur alat perjuangan yaitu partai politik. Terbentuklah Partai Aceh, PNA, SIRA, dan banyak lagi partai politik lainnya, diharapkan dapat mewarnai dalam merekonstruksi struktur politik baru untuk memperjuangkan agenda keadilan dan kesejahteraan di masa depan.
Transformasi Kultur Politik
Meskipun GAM tidak dibubarkan secara resmi, namun langkah transfromasinya ditandai dengan pembentukan Komite Peralihan Aceh (KPA) yang menjadi tempat untuk mengelola dan menindaklanjuti aspirasi politik maupun pemulihan ekonomi dan sosial-budaya. Terbentuknya KPA menandakan transformasi kultur perjuangan dimulai, “bersenjata ke politik”. Selanjutnya, dikuatkan dengan pembentukan Partai Aceh (PA), PA dapat menjadi media politik atau struktur perjuangan di era diplomasi/politik.
Namun, disebabkan arena demokrasi demikian terbuka, maka beragam pandangan, perilaku dan kepentingan politik berlangsung. Bahkan, kepentingan nasional, regional dan global dapat masuk mempengaruhi arena tersebut. Makanya, sejauh ini kita masih berjibaku menghadapi berbagai keadaan yang membuat kita terpecah belah, saling menertawakan sesama, menunjukkan ego dan fanatisme yang berlebihan, saling merebut dan mempengaruhi kepentingan sempit dan instan, dan sulit membangun diskursus untuk menciptakan cita-cita besar perjuangan kita, “Kemandirian dan Kemakmuran”.
Sebagai contoh, awalnya dinamika politik menjelang pilkadasung (2007) yang menunjukkan tarik menarik politik antara pasangan H2O dengan IRNA. Dinamika tersebut berimbas ke pembentukan partai politik, dimana lahir dua partai yaitu Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh (PNA) dari tubuh KPA. Dinamika demikian terus berlangsung sampai hari ini, bahkan kontek hari ini (2021) kontradiksi politik antara legislatif dengan eksekutif Aceh semakin merusak keadaan pembangunan Aceh. Semua dinamika tersebut karena kita kurang dapat membangun harapan besar, cita-cita politik yang strategis sebagaimana pernah dibangun awalnya oleh wali Hasan Tiro.
Semestinya, dalam konteks era perjuangan politik, terbukanya ruang maka lebih leluasa dalam membangun strategi perjuangan. Kita dapat mempersiapkan kerangka transformasi pergerakan dengan kerangka dan perencanaan yang tepat. Salah satunya adalah transformasi kapasitas kepemimpinan Aceh. Platform politik “Aceh national interest” yang mulai terbangun saat perumusan UUPA semestinya dapat terus kita jaga dan pupuk bersama agar segala agenda politik tidak berlangsung secara liar seperti dalam beberapa momentum sebelumnya.
Hasilnya, tiga kali momentum politik yang sudah berlangsung, diskursus politik pembangunan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) masih belum dapat keluar dari kultur politik masa lalu, dan bahkan hari ini kultur politik kita terjebak dalam pusaran rutinitas kegiatan legislatif, baik ditingkat Aceh maupun Kabupaten/Kota. Hasilnya, meskipun dana otsus sudah terealisasi mencapai Rp 72 triliun (2019), namun angka kemiskinan turun tidak signifikan.
Kultur politik saat ini juga belum mampu mendobrak birokrasi Aceh, kultur birokrasi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) juga terjebak dalam rutinitas dan sangat dipengaruhi oleh segala ketentuan dan regulasi hirarki pemerintahan nasional. Sehingga kultur birokrasi juga tidak berubah sebagaimana yang diharapkan dalam struktur baru, yaitu UU No.11/2006.
Struktur Baru Perjuangan
UU No.11/2006 adalah legal standing yang semestinya kita gunakan untuk membangun struktur baru perjuangan Aceh. Pembagian kewenangan dan kekuasaan (the power sharing) Aceh-Jakarta yang diatur didalamnya harus dapat kita gunakan secara maksimal. Kalaupun masih ada isu dan agenda pembangunan kita yang masih harus dibicarakan lebih lanjut, maka pemerintah Aceh dan juga institusi GAM/KPA dapat terus melakukan berbagai langkah diplomasi/komunikasi politik untuk memastikan segala kekuasaan yang dimiliki Aceh dapat dijalankan.
GAM/KPA dapat tetap mengelola para “diplomat-diplomat” nya untuk terus menjaga dan membangun komunikasi politik agar sumbatan dapat lebih lancar. Termasuk, pandangan dan sikap semua insitusi di pemerintah nasional agar pandangannya dalam melihat semua momentum seperti milad GAM/milad PA dan bahkan peringatan Mou Helsinki tidak melihatnya secara ekstrim. Tidak perlu melakukan aksi-aksi yang dapat berdampak menjadi pemicu baru berubahnya suasana damai ini.
Untuk itu, momentum peringatan damai Aceh yang ke-16 ini, saatnya pemerintahan Aceh melihat dirinya sebagai entitas yang bertanggung jawab penuh bangunan yang dinamakan “Aceh”, sepatutunya pemerintah Aceh bersama dengan DPRA dan kelembagaan Wali nanggro dapat menumbuhkan kembali agenda “Persatuan Aceh”. Begitu pula, kita memiliki komponen ulama, akademisi, mahasiswa, tokoh perempuan dan budaya, bangunlah kembali “Persaudaraan Aceh” agar kita dapat secara bersama “Inklusif” membangun kembali harapan dan cita-cita yang sama dalam memperkuat struktur baru perjuangan Aceh, demi mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemandirian dan kemakmuran Aceh.[]