Oleh: Juanda Djamal.
Ketua Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Besar (2019-2024).
Setelah hiruk pikuk Pileg 2019, perdebatan politik berlanjut, baik di internal maupun eksternal partai. Inilah dinamika politik yang menarik untuk terus diikuti. Secara internal, selain upaya mempertemukan kesepakatan baru atas ketidaktuntasan political deals sesama caleg. Sejumlah dinamika terus bermunculan.
Politik personal ternyata ikut memperkaya sejumlah dinamika. Meskipun regulasi sudah jelas namun tetap saja celah-celah politik dicarikan. Harapannya, orang-orang seperti itu sadar bahwa tindakan politik personal dapat memperlemah pergerakan dan perjuangan jangka panjang.
Saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam Fraksi Partai Aceh, tentunya perlu memastikan arah dan agenda politik yang harus diperjuangkan. Basis pertimbangannya gerakan politik jangka panjang (Acehnese National Interests) sebagaimana yang sudah ditanamkan sejak lama oleh Wali Nanggroe Tengku Hasan Muhammad di Tiro dalam bukunya “Atjeh Bak Mata Donya”.
Ideologi menjadi pemikiran dan tindakan politik setiap kader PA, kesadaran politik kita tidak bisa lepas daripada ideologi perjuangan alm Wali Negara. Saya dan kawan-kawan bukan hanya sebatas merebut kekuasaan di tingkat legislatif dan atau eksekutif. Tetapi memiliki beban dan tanggung jawab moral untuk menjaga arah perjuangan politik Aceh masa depan.
MoU Helsinki dan UU Nomor 11 2006 menjadi modal dan batu loncatan, yang harus dipergunakan agar memastikan terjadinya lompatan jauh kedepan. Tentunya, ketentuan ini harus dipegang teguh oleh seluruh kader Partai Aceh, baik di legislatif maupun eksekutif, Kabupaten/Kota dan Provinsi.
Political discourses ditingkat eksternal partai terus menarik. Dimana menjelang pelantikan, saya sebagai pendatang baru, tentunya belum tahu “dalam dan dangkal” politik Kota Jantho. Sayup-sayup terbetik kabar bahwa semua partai politik nasional merapat dalam satu gerbong koalisi besar. Koalisi Parnas ini beranggotakan 24 orang terdiri dari PAN 7 orang, PKS 5 orang, Golkar 3 orang, Gerindra 3 orang, Demokrat 3 orang, PBB 1 orang, PKB 1 orang dan Nasdem 1 orang. Tentunya, adalah kewajaran politik, PAN sebagai penguasa “eksekutif” dan mayoritas berupaya merangkul semua parnas dalam gerbongnya agar kekuatan pemerintahan yang dipimpin oleh “Mawardi-Waled” menjadi kuat. Pertanyaannya, kenapa PAN tidak mengajak PDA, bukankah wakil bupati dari PDA?
Rupanya, ”Terjadi gesekan politik besar-besaran antara Bupati dengan wakil bupati, gesekan tersebut memuncak saat rapat paripurna pembahasan APBK-P 2019 Kabupaten Aceh Besar, di gedung DPRK, Jantho, 19 Juli 2019”. Situasi demikian adalah kemakluman politik, selalu saja, pasangan politik jika tidak berlandaskan kesamaan ideologis, pembagian kekuasaan tidak jelas, maka gesekan tidak dapat dihindari.
Mau tidak mau, kami dari Partai Aceh, akhirnya membangun komunikasi politik dengan PDA dan PNA. Kita sepakat, biar saja koalisi besar berjalan tanpa “sparing partners”. Apalagi situasi politik tubuh “eksekutif” sedang mengalami turbulensi. Kemudiaan, kabar burung juga menguatkan, bahwa koalisi besar dibentuk hanya untuk merebut AKD. Menariknya lagi, karena tergiurnya AKD, Partai Gerindra Aceh Besar “melepaskan diri dari koalisi dengan PA” dan masuk koalisi besar.
Awalnya, adrenalin politik saya tertantang juga,”Kalau konstruksi politik DPRK Aceh Besar terjadi belahan “parnas vs parlok”, maka balancing of power di DPRK terbangun. Perdebatan-perdebatan politik dapat berlangsung dinamis, pro dan kontra berlangsung, sintesa baru atas kebijakan pembangunan dapat lebih kuat. Ternyata fakta politik lain pula, mesti ada konstruksi struktur politik baru agar politik pembangunan Aceh Besar dapat lebih efektif dan RPJM maupun RPJP Aceh Besar bisa dicapai.
“Reorientasi” Eksekutif
Dalam berbagai momentum diskusi, baik sesama Parlok maupun Parnas. Saya semakin mendalami bahwa tata kelola Pemerintah Kabupaten Aceh Besar semakin disorientasi sampai sampai sekarang. Sistem pengendalian pembangunan lemah, koordinasi apalagi. Salah satu faktornya karena gesekan antara Bupati-Wabup ternyata ikut mempengaruhi kinerja ditingkat kedinasan. Friksi dilevel kedinasan demikian parah juga. Tujuan dan capaian yang ingin diraih hampir tidak terukur pada SKPD, dan bahkan implementasi program maupun realiasi anggaran yang semestinya updated secara mingguan atau bulanan pun tidak ada mekanisme monitoring.
Saat Pansus Dapil dilakukan, laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBK Aceh Besar Tahun Anggaran 2019. Semua Dapil menemukan banyak masalah pada teknis pekerjaan dan kualitas program, sehingga tidak jelas sustainability. Atas situasi tersebut, Fraksi Partai Aceh dalam pendapat akhirnya menyampaikan sikap tidak memuaskan atas pelaksanaan program eksekutif tahun 2019. Sejauh ini, kita belum dapat menemukan program monumental dan “terkesan” dari Mawardi.
Malah harapan besar terletak Sekda. Sekda berupaya mengambil peran strategis dalam memediasi gesekan kedua pimpinannya. Bekerja ekstra menjaga keseimbangan, juga dalam mengelola administrasi dan keuangan Aceh Besar. Tanpa keberadaannya maka manajemen eksekutif bakal lebih carut marut. Selain itu, Bappeda memiliki peran strategis, seperti melakukan evaluasi kinerja secara menyeluruh, mengkaji kelemahan, kekuatan, tantangan dan peluang. Namun, kerja-kerja “Monitoring and Evaluation” tidak berlangsung efektif. Pada sisi lain, meskipun perencanaan berbasis musrembang Kabupaten sampai Gampong. Namun sejauh ini, musrembang tersebut tidak efektif membongkar permasalahan yang ada sehingga rencaana program kurang strategis dan lemah dampak pada upaya peningkatan layanan publik, pertumbuhan ekonomi dan merealisasikan RPJM 2017-2022.
Saya memperhatikan, pimpinan eksekutif tidak mengambil peran untuk mengkapitalisasikan peluang yang ada didepan mata. Misalnya keberadaan 11 Anggota DPRA mewakili BASAB (Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar), 13 anggota DPR RI, keberadaan balai dan program departemen di Aceh Besar. Situasi ini harus kita ubah, langkah jemput bola harus dilakukan agar Aceh Besar memiliki potensi sumber-sumber tambahan diluar APBK atau anggaran yang sudah teralokasikan secara metic.
Mempertimbangkan situasi eksekutif yang demikian. Maka legislatif perlu membangun pemikiran dan langkah politik yang lebih konstruktif dan strategis serta mereorientasikan arah pembangunan Aceh Besar sesuai dengan RPJM 2017-2022.
“Political Visioning” Legislatif
Selesai pelantikan, pimpinan sementara langsung mengadakan rapat yang menghadirkan perwakilan partai politik, pertemuan diawal terasa tegang karena secara psikologis politik, parnas sudah mendeklarasikan diri membentuk koalisi besar. Rumor ditengah publik pun, mereka sudah siap dengan perangkat Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Meskipun suasana sedikit tegang namun secara umum terkesan “tasteless”. Maka, beberapa pertemuan selama penyiapan tata tertib, atmosfir politik mulai mencair dan mulai terbangun visi politik DPRK 2019-2024, yaitu semangat kritis dan mengkritisi demi keseimbangan hubungan antara legislatif-eksekutif, juga membangun langkah politik atas terbangunnya gagasan dan kebijakan baru bagi kemajuan dan kemakmuran Aceh Besar.
“Kita berangkat dari beragam partai politik, namun kita sama-sama legislatif, semestinya kita bangun satu irama, satu arah, kita kuatkan posisi tawar legislatif agar fungsi-fungsi kita dapat kita laksanakan secara efektif, dan kalaupun kita berpolitik lagi, nantilah menjelang pilkada kedepan” ucap ketua, Iskandar Ali.
Semangat membangun “visioning” ditingkat DPRK Aceh Besar semakin menguat saat pembekalan anggota DPRK di hotel Kryad, Banda Aceh. Semua kita sepakat untuk mengoptimalkan implementasi UU No.11/2006, alasannya sejauh ini implementasi UUPA bagaikan terpasung oleh regulasi-regulasi baru sehingga posisi tawar UUPA sangat lemah. Makanya, setiap kunjungan kerja ke kabupaten/kota lainnya, anggota DPRK Aceh Besar selalu menjadikan UUPA sebagai salah satu bahan diskusi yang diharapkan dapat kembali menjadi pembicaraan para politisi Aceh, ditingkat kabupaten/kota maupun Aceh.
Sayangnya, sejauh ini, konsolidasi politik DPRK Aceh Besar masih belum bisa diterjemahkan oleh eksekutif, bahkan beberapa gagasan strategis yang sudah disampaikan dalam forum paripurna, sejauh ini belum ada inisiatif oleh eksekutif untuk menindaklanjutinya. Beberapa pertemuan sudah ada kesepakatan bersama namun tindak lanjutnya berbeda pula. Kondisi demikian melahirkan penafsiran yang destruktif antar lembaga ini, padahal legislatif memiliki otoritas sesuai peraturan pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 pada Pasal 23, sudah sangat jelas disebutkan tentang tugas dan wewenang DPRK agar memastikan setiap anggaran dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, melakukan pengawasan dan bahkan membuat regulasi yang menguntungkan dan melayani masyarakat.
Kontribusi Fraksi-PA
Banyak pihak berharap bahwa Fraksi Partai Aceh dapat mengambil peran “oposisi”, hal ini seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Namun fakta lapangan lain, tahun pertama ini sebagaimana gambaran sebelumnya, “disorientasi dan birokrasi yang kaku” eksekutif menjadi pertimbangan. Selain itu, semangat bersama “legislatif” untuk melahirkan gagasan strategis jauh lebih penting dikedepankan. Namun, kita bersepakat untuk tetap mengkritisi kebijakan dan implementasi program pembangunan Aceh Besar. Agar lebih optimal dan sejauh ini ada beberapa isu yang kita kritisi berhubungan erat dengan kepentingan publik.
Partai Aceh memandatkan kami berlima (Bahtiar, Gunawan, Juanda Djamal. Saifuddin dan Zulfikri). Untuk terus memastikan peningkatan layanan publik, pengentasan kemiskinan, dan menjalankan program-program kesejahteraan masyarakat. Menindaklanjuti mandat tersebut, kami berupaya selalu pro-aktif dalam setiap kegiatan DPRK, seperti aktif dalam pembahasan anggaran, pro-aktif dalam pansus lingkungan PT SBA, Pansus LPJ 2019, Pansus Dapil LPJ, dan menjalankan reses agar menyerap aspirasi para konstituen. Kegiatan-kegiatan dalam komisi masing-masing, dan bahkan ikut aktif dalam merampungkan qanun-qanun di Badan Legislasi.
Selanjutnya, gagasan strategis telah kami tawarkan, seperti penataan kembali Kota Jantho, sebagai Ibukota Kabupaten, pembentukan tim percepatan pembangunan Pulo Aceh, Penataan DAS Krueng Aceh dengan pengembangan palawija dan peternakan. Menjadikan Pasar Lambaro sebagai hotspot bisnis, investasi dan perdagangan. Membangun gampong saudagar, tata kelola sampah, dan tentunya Beut Ba’da Magrib sebagaimana pernah dijalankan semasa kepemimpinan Adun Mukhlis dapat dilanjutkan.
Selain itu, salah satu program unggulan yang sedang dikerjakan adalah Pengembangan Sentra SieBreuh. Karena SieBreuh (Daging-Beras adalah komoditi unggulan di Aceh Besar. Aceh Besar memiliki luas persawahan yang mencapai 30,000 ha dan potensial lahan sawah dapat mencapai 50,000 ha. Menurut kajian Fraksi Partai Aceh, kita perlu mengemasnya dengan memadukan kedua sektor ini menjadi unggulan dan monumental. Kualitas produksi dan nilai tambah produk menjadi indikator yang ingin dicapai, sehingga kualitas hidup petani dapat diwujudkan di masa depan. Tahapan awal kita mulai di kawasan Blang Raya dan Blang Jaro sekitarnya. Juga memanfaatkan pasar hewan ternak di pasar Sibreh, sehingga pasar Sibreh dapat menjadi pasar pengepul yang mendukung pasar Lambaro sebagai hotspot ekonomi Aceh di masa depan.
Secara nasional, presiden Joko widodo menjadikan program “food estate” sebagai salah satu program strategis nasional (PSN). Untuk itu kita ingin merebut peluang tersebut di tahun 2021, kita sedang menyiapkan dokumen untuk memenuhi terlaksananya program ini. Justifikasi pendukunga kuat, bahwa program ini berangkat dari masyarakat petani (bottom – up), dan bahkan sudah terbentuk beberapa kelompok tani yang menjadi penggerak dilapangan, pembentukan ini atas dukungan dari BPP Sukamakmur, terakhir sudah terbentuk Koperasi Jasa Siebreuh Makmue Beusama, dan jika program ini didukung oleh Departemen Pertanian maka koperasi Siebreuh bersama dua koperasi lainnya (Koperasi Beng Mawah dan Koperasi Raseuki Tamita) akan melangkah ke langkah selanjutnya membetuk korporasi petani. Kita menawarkan “Halal Food Estate SieBreuh” agar Aceh Besar menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru di masa depan.
Inilah refleksi tahun pertama kami menjadi anggota DPRK Aceh Besar. Mudah-mudahan menjadi pembelajaran bersama. Kita sebagai “Generasi Politik 2019” terus membuat cerita, bahwa politik bergerak dalam ruang yang terbuka, dinamis, bukan harga mati. Politik yang berpegang teguh pada idealisme namun realistis. Perbedaan dan perdebatan “discourses” berujung pada satu gagasan dan program monumental. Menuju tahun kedua berupaua merekonstruksi “politik pembangunan kesejahteraan” kearah yang lebih tepat, tentunya sejarah akan mencatat bahwa “generasi 2019-2024” dapat memberikan lesson learns bagi generasi politik kemudian.[]