• Tentang Kami
Monday, September 29, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?

SAGOE TV by SAGOE TV
September 28, 2025
in Analisis
Reading Time: 10 mins read
A A
0
Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?

Adi Warsidi. Foto Dokumen sagoetv

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Adi Warsidi
CEO Acehkini.id

Saat konflik dan pascadamai Aceh, para penguasa dan para pembisiknya kerap memberikan label kepada jurnalis dalam bekerja. Jika berita bikin untung mereka, pujian datang, dan cacian bila sebaliknya. Warga ikut-ikutan memberikan warna, kamu jurnalis apa?

Pengalaman ini saya sebut catatan kaki, tertulis di notes saat meliput berbagai peristiwa di masa konflik dan pascadamai Aceh, tapi belum semuanya terpublish.

BACA JUGA

Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

Jalan Baru Menuju Kebangkitan Ekonomi Aceh

Duduk di baris ketiga mobil penumpang L-300, saya membuka lembar-lembar notes untuk membacanya kembali. Isinya, tentang kondisi pengungsi konflik di Lhok Bengkuang, Aceh Selatan, keluh-kesah mereka yang terusir saat perang berkecamuk di kampung-kampung yang jauh.

Mobil melaju kencang dari Tapak Tuan, Ibu Kota Aceh Selatan, melintasi perbukitan dan pantai-pantai. Dari celah jendela, hembusan angin pagi masuk membawa ragam aroma, Ahad, 12 Desember 2004. Di balik kemudi, sopir ditemani seorang rekannya, dua kursi di baris kedua masih kosong, lainnya terisi.

Tujuan armada itu ke Banda Aceh, tapi saya hanya memesan tiket sampai ke Calang, Aceh Jaya. Ada satu lagi tugas meliput camp pengungsian Keutapang, tempat warga mengamankan diri dari permukiman yang telah menjadi medan perang.

Sesampai di Kecamatan Samadua, mobil keluar jalur berbelok ke arah kanan. Sopir memberi kabar, akan menjem-put penumpang di Gampong Meunasah Dalam. Jalan mulai menyempit, beberapa titik berlubang, mobil melaju pelan.

Saat melewati beberapa rumah di area padat, pandangan saya tertuju kepada beberapa rumah yang bertuliskan ‘GAM’ dengan cat merah. Saya sempat memotretnya dari dalam mobil. GAM adalah kependekan dari Gerakan Aceh Merdeka. Label itu diberikan oleh aparat keamanan untuk menandai rumah yang salah seorang anggota keluarganya kombatan. Saat konflik, hal demikian gampang terlihat di beberapa rumah warga Aceh area pedalaman, sebagian bertulis kata ‘GAM’ sebagian bertanda silang.

Mobil parkir di sebuah rumah, penumpang baru naik bersama anaknya, duduk persis di depan saya. Rumahnya juga bertanda merah ‘GAM’, lengkap sebuah nama. Tulisan itu, sempat dipelototi seisi mobil.

L-300 kembali melaju keluar kampung dan menapaki jalan lintas barat Aceh. Kak Nur tampak tenang, sesekali berbicara dengan anaknya. Sesampai di Blangpidie, Aceh Barat Daya, mobil berhenti di warung nasi, memberi kesem-patan kepada penumpang rehat. Kak Nur tidak turun di warung itu. Sepertinya dia membawa bekal. Bersama anaknya, dia menyantap makan siang di dalam mobil tak ber-AC. Saya mencoba ramah tamah, menegurnya sambil mengorek keterangan. Di benak, tanda merah di rumahnya menjadi hal penting untuk ditulis.

Setelah basa-basi sejenak, lalu bertanya tentang tanda merah di rumahnya, Kak Nur dengan penuh kecurigaan balik bertanya. ”Adik anggota, ya?” Anggota merujuk pada sebutan untuk personel militer atau polisi. ”Wartawan, Kak, dari Banda Aceh,” ujar saya. Kak Nur masih menatap curiga. Sesaat kemudian dia pun berujar, ”Wartawan TNI atau wartawan GAM?”
Mendapat tanya seperti itu, sulit dijawab. Pilihannya hanya dua. Lalu coba jelaskan sebatas kemampuan tentang tugas jurnalis yang berpihak kepada publik, bukan kepentingan. Kak Nur masih membantah, dia yakini bahwa wartawan TNI/Polri dan wartawan GAM itu ada.

Saya tak ingin berdebat, karena ragu untuk tidak setuju dengannya. Faktanya di lapangan saat itu, profesi jurnalis mudah disusupi. Bahkan ada aparat, juga kombatan tak segan mengaku sebagai wartawan.

Tak berselang lama, Kak Nur bercerita tentang kisahnya. Dari situ saya tahu, betapa dia tak mudah lagi percaya sama orang-orang asing yang belum dikenalnya. Selalu curiga pada sekitar, mentalnya ditempa setiap saat dengan tanya-tanya dan mungkin interogasi dan diawasi oleh dua pihak bertikai.

Kecurigaan Kak Nur bukan tanpa alasan, terbawa perilaku para pihak bertikai dalam menyekat jurnalis untuk kepentingan mereka. Misalnya, kerurigaan TNI terhadap media yang diklaim ikut membesar-besarkan kombatan. Alasan ini pula, saat Darurat Militer berlaku di Aceh, ruang gerak wartawan dibatasi dengan Maklumat Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Nomor 5 Tahun 2003, ditandatangani Mayor TNI Endang Suwarya.

Bunyinya; melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilaku-kan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Membatasi ruang gerak, dilakukan dengan mengidentifi-kasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih, keluaran media center PDMD. Pengekangan kembali dilanjutkan pada masa Darurut Sipil, dengan Maklumat Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) No. 4 tahun 2004, yang mengatur tatacara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.

Bahkan PDSD juga pernah mengeluarkan himbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, hal itu mempunyai dasar yang kuat, UU No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres No 43 Tahun 2004, tentang penerapan status darurat sipil.

Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004 lalu.

Baca Juga:  Kopi, Sufi, dan Kontroversinya

Saya ingat apa kata (almarhum) Muharram M. Nur, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Banda Aceh, kala itu. “Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka (penguasa) untuk melakukan apa saja.”

Kendati tak melalui aturan tertulis maupun maklumat resmi, GAM melakukan hal serupa, intimidasi. Beberapa mobil sirkulasi milik media Serambi Indonesia dibakar, sebagai tuntutan GAM terhadap pemberitaan yang dianggap tak seimbang. Masih ada kasus penculikan Ersa Siregar serta Ferry Santoro di Aceh Timur. Kasus ini menjadi puncak terburuk perlakuan terhadap insan pers di Aceh, dalam masa konflik.

Ersa kemudian meninggal dalam sebuah kontak senjata, 29 Desember 2003, di Peureulak, Aceh Timur. Sementara Ferry dibebaskan GAM pada 16 Mei 2004.

Masa konflik, ruang wartawan memang sulit, hampir tak punya pilihan bebas meliput sepuas-sepuasnya. Kendati semu, label wartawan yang kerap tersebut tak banyak, hanya wartawan TNI/Polri atau wartawan GAM. Jarang terdengar wartawan bodrex, wartawan peresmian atau wartawan pejabat.

Improvisasi di lapangan
Tidak ingat persis waktunya, pertengahan 2004. Kodam Iskandar Muda mengundang sejumlah jurnalis ke Nagan Raya, meliput acara peresmian pusat latihan TNI yang sedang dibangun sebagai arena pelatihan.

Saya ikut serta ke sana bersama sejumlah jurnalis ternama hingga kini; Murizal Hamzah, Nany Afrida, dan lainnya. Kami diangkut dengan bus sekolah yang disediakan Penerangan Kodam IM, alasannya untuk keamanan, tak terdeteksi pihak GAM. Sejumlah perwira TNI ikut serta dengan mobil dinas, sementara Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal Endang Suwarya naik helikopter. Sepanjang jalan dinilai rawan telah dijaga TNI, perjalanan mulus sampai tujuan.

Usai meliput arena latihan, kami diajak ke Rumah Sakit Kesrem 012 Teuku Umar, Meulaboh untuk wawancara seorang anggota GAM dengan luka tembak. Dia disebut telah menyerah, dengan pertimbangan keluarganya. Lalu, para jurnalis dijamu di rumah Komandan Korem 012 Teuku Umar, Kolonel Geerhan Lantara.

Keesokan harinya, kami balik ke Banda Aceh dengan bus sekolah ditemani staf Penerangan Kodam. Tak ada aral melintang sampai tujuan, kendati hati tak tenang.

Saya menulis beberapa tulisan di website acehkita, tentang perjalanan tersebut. Salah satu artikel memuat sisi lain, hasil wawancara warga di sekitar lokasi pembangunan tempat pelatihan TNI. Ada keluhan warga, merasa terusik hingga pembayaran lahan yang dinilai murah.

Berita itu tersiar sampai ke level tertinggi di Kodam Iskandar Muda. Mereka lantas bertanya siapa wartawan acehkita yang menulisnya. Pertanyaan diajukan oleh seorang perwira Penerangan Kodam ke Yuswardi Ali Suud, saat itu menulis untuk Tempo dan juga acehkita. Saat pertanyaan itu diajukan, saya sedang bersama Yuswardi. Dia berkelit tanpa menyebut satu pun nama.

Saya melapor ke pimpinan redaksi, merasa terancam. Lalu disarankan untuk evakuasi sementara ke Jakarta, tapi saya menolak karena masih dapat bertahan. Caranya, menghindar tidur di rumah, kalau bepergian selalu bersama kawan.

Tak lama setelahnya, seorang perwira pertama Kodam Iskandar Muda mengisengi sejumlah wartawan yang sedang nongkrong di warung CoHA. “Ada beberapa wartawan dan dinilai berafiliasi GAM, mereka adalah (dia menyebut nama), demikian (menyebut namanya) melaporkan dari warung CoHA, Banda Aceh,” katanya terkekeh, meniru laporan langsung reporter televisi dan radio. Nama yang disebut sedang di sana.

Warung CoHA terletak di Simpang Lima, memanfaatkan tanah kosong di depan kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dikelola oleh Ismail alias Bang Mae, CoHA diambil dari kepanjangan Cessation of Hostilities Agreement, sebuah kesepakatan penghentian permusuhan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani Desember 2000, dan gagal pada 18 Mei 2003, menjelang Aceh ditetapkan sebagai wilayah Darurat Militer. Kini, warung bersejarah itu telah tiada.

Mendapat informasi tak terduga dari sang perwira, kami bengong. Beberapa rekan lalu menebar bercanda. “Makanya jangan dekat-dekat kali dengan GAM, kan sudah dipantau ini,” celoteh seorang jurnalis.

Kisah ini tak menyurutkan semangat kawan-kawan yang tertuduh untuk tetap menulis tentang konflik Aceh, memberitakan imbas yang dialami warga, kekerasan, kematian, penyiksaan, sambil berharap damai segera cepat hadir. Sebagian memakai nama samaran dalam tulisannya, ini memungkinkan secara etik jurnalistik.

Setelahnya sedikit perubahan untuk improvisasi, para jurnalis lebih sering hadir di Media Center Kodam Iskandar Muda, maupun meliput kegiatan-kegiatan TNI. Untuk membuktikan bahwa mereka tak memihak dan berafiliasi, hanya memberitakan kebenaran.

Di sisi lain, informasi wartawan berafiliasi salah satu pihak, terus menjadi perbincangan. Bahkan, muncul kotak-kotak di kalangan jurnalis yang mencurigai sesamanya. Uniknya, saya pun pernah dicurigai sebagai intel TNI karena gaya rambut, gondrong melewati bahu.

Tsunami dan Ruang Kebebasan
Saat tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, perang terjeda sejenak atas dasar kemanusiaan. Kurang satu purnama setelahnya, kontak senjata antara TNI/Polisi dan GAM berlangsung dalam intensitas rendah. Di Helsinki, Finlandia, perundingan damai akan dimulai.

Jurnalis mendapat ruang bahkan pujian. Melalui liputan, mereka mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia terhadap Aceh yang selama ini tertutup. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, pemerintah tak memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dunia.

Baca Juga:  Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

“Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Yosep Adi Prasetyo alias Stanley, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah artikelnya saat itu. Belakangan, Stanley menjabat sebagai Ketua Dewan Pers periode 2016-2019.

Stanley berpendapat, status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh (19 Mei 2003 – 18 Mei 2005), juga menjadi awal pers memasuki masa darurat. Selama dua tahun itu, di Aceh ada wartawan diancam, dipukul, diculik, disandera dan bahkan dibunuh. Wartawan yang dianggap memiliki gaya berpikir kritis diusir ke luar wilayah Aceh. Walaupun ada beberapa yang tetap mencari dan menyebarkan berita dengan menembus berbagai kesulitan.

Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mencapai kata sepakat mengakhiri konflik, setelah perundingan hampir tujuh bulan difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin Martti Ahtisaari. Perwakilan Pemerintah Indonesia dan GAM membubuhkan tanda tangan pada dokumen Memorandum of Understanding (MoU) Damai, di Helsinki, Finlandia.

Damai semakin membuka gerak bebas wartawan dalam melakukan aktivitasnya. Sesaat jurnalis berbagai media; lokal, nasional dan internasional, bebas mondar mandir menuliskan apa saja yang terekam, tanpa ragu lagi menyebut nama GAM dan petingginya. Bahkan, beberapa petinggi GAM di lapangan, mengundang wartawan ke markasnya secara sembunyi-sembunyi.

Jaminan kebebasan juga disampaikan Ketua Tim Misi Pemantau Keamanan (AMM) yang membuka akses lebih jauh terhadap keberadaan para jurnalis. “Kita akan membuka informasi kepada semua kawan-kawan pers,” Pieter Feith, Ketua Tim AMM dalam konferensi pers pertamanya di Media Center Infokom NAD, Banda Aceh, 15 Agustus 2005.
Puncaknya, ketika amnesti untuk GAM diumumkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Agustus lalu. Semua pihak, TNI/Polri dan GAM memberikan sinyal itu.

Jurnalis leluasa bekerja meliput berbagai perkembangan damai, serta rehabiltasi dan rekonstruksi pascatsunami. Untuk sementara, pertanyaan kamu jurnalis apa? Jarang terdengar, kendati belum hilang.

Label Jurnalis saat Pesta Demokasi
Berakhirnya konflik dan kondisi pascatsunami menguntungkan bagi jurnalis. Kemerdekaan pers terus-menerus didengungkan oleh berbagai organisasi pers didukung lembaga nasional dan asing yang sedang mengucurkan banyak dana bantuan ke Aceh.
Berbagai pelatihan meningkatkan kapasitas jurnalis berlangsung, khususnya berkaitan dengan pemberitaan pascakonflik dan pascabencana. Media ikut mendorong penguatan perdamaian, hingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Media mulai mengedepankan peace jurnalisme dalam menulis berita. Dalam masa singkat itu, media di Aceh telah banyak belajar pada kondisi. Setelah sekian lama terkungkung, kemudian bangkit mengambil peran aktif dalam demokrasi, misalnya; mengontrol pemerintah, mengedukasi masyarakat dan mempengaruhi pusat terkait kewenangan Aceh yang lebih luas sesuai dengan amanah perdamaian.

Lalu, apakah labeling jurnalis sudah hilang?

Akhir Oktober 2007, sebuah panggilan masuk ke ponsel saya dari salah petinggi Aceh kala itu. Setelah saya terima, dengan nada kesal, beliau bertanya tentang maksud apa menulis sebuah berita yang –mungkin- menyudutkannya.

Setelah panjang lebar mendengarnya, saya menjawab, “penugasan redaksi bang, ya saya tulis sesuai fakta.”

“Kah cit awak Humam (kau memang orang Humam),” katanya lalu menutup sambungan telepon. Ah, saya mendapat label lagi.

Humam yang dimaksud adalah Humam Hamid, calon Gubernur Aceh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006 atau yang pertama setelah konflik. Kala itu, Human berduet dengan Hasbi Abdullah, tokoh GAM sebagai calon wakil gubernur. Mereka diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pilkada Aceh 2006 diikuti oleh delapan pasangan calon. Digelar pada 11 Desember 2006, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dari jalur independen meraih suara terbanyak. Humam – Hasbi mendapat peringkat kedua.

Menariknya, Irwandi – Nazar dan Humam – Hasbi didukung oleh para tokoh GAM dan kombatan. GAM terbelah, saat kampanye di lapangan, para pendukung kedua pasangan calon kerap berseteru. Media kerap membelah mereka dengan nama kelompok tua dan kelompok muda.

Kondisi ini merembet ke media. Sebagian jurnalis dilabeli pro salah satu pasangan calon, hingga membentuk faksi-faksi secara tak sengaja. Lakap kamu wartawan Humam atau Irwandi kerap terdengar. Kondisi ini terus berlangsung 2-3 tiga tahun setelah gubernur terpilih dilantik. Lalu berlanjut lagi jelang Pilkada Aceh selanjutnya.

Belajar dari pengalaman, sebagian besar media di Aceh sering mengambil sikap hati-hati dalam mewartakan isu-isu kekerasan dan pertentangan berbagai kubu. untuk kepentingan yang lebih besar, mengawal perdamaian. Beberapa berita kekerasan yang muncul saat pesta demokrasi karena gesekan sesama mantan kombatan, hanya ditulis sebatas peristiwa, belum mendalaminya lebih jauh.

Sikap hati-hati diambil media bukan karena takut, tapi lebih kepada kekhawatiran pemanfaatan isu oleh kelompok lain untuk mengganggu perdamaian. Juga isu dapat dimanfaatkan oleh salah satu kubu dalam kampanye-kampanye politiknya.

Memilih isu dikenal sebagai fungsi agenda setting, isu mana yang ditampilkan dan isu mana yang akan disampaikan ke publik. Pers harus memilih, karena keputusan pemilihan isu sangat mempengaruhi persepsi masyarakat. Lagi pula, banyak isu demokrasi di Aceh yang bisa disampaikan untuk menjalankan peran media sebagai pilar demokrasi; menyampaikan informasi, kontrol sosial dan pendidikan.

Baca Juga:  Apakah Aceh Berani Istimewa?

Setelah pelaksanaan Pilkada Aceh 2006 usai, perpecahan politik atas dasar demokrasi di tubuh GAM masih terjadi. memunculkan banyak peristiwa penting dan kekerasan. Intensitasnya selalu meningkat saat pelaksanaan pesta demokrasi; Pemilu Legislatif, Pemilihan Presiden hingga Pilkada Aceh 2012, 2017, dan 2024.

Problem yang kerap muncul, para politisi merangkul media dengan harapan merebut hati rakyat. Media kerap dijadikan alat politik, ada juga yang menghindar sehingga memunculkan ketidak-harmonisan pers dengan politisi. Ikut diperparah dengan sebagian politisi yang belum mampu memahami tugas media secara umum. Di sinilah sekat-sekat kembali dibangun oleh para penguasa, kamu jurnalis mendukung siapa?

Epilog
Thomas Jefferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat tahun 1787 mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga sekarang. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.

Dia terkenal sebagai pembela kebebasan pers, beropini, berpendapat kala itu. Pandangannya terhadap media, menggambarkan bahwa hak rakyat berpendapat adalah segala-galanya, dan ini terpresentasikan melalui kebebasan pers. Tapi kemudian, kekuasaan merubah persepsi Jefferson terhadap pers, saat pemilu AS pada 1800 mendudukkan Jefferson sebagai presiden.

Dia kemudian menjadi Presiden ketiga AS yang dikenal juga sebagai salah seorang penyusun The Declaration of Independence. Sikapnya terhadap pers berubah. Partainya memang mampu mengontrol pemerintahan, namun dalam perhitungan Jefferson, tiga per lima para editor masih mendukung lawan-lawan politiknya. Yang terjadi berikutnya adalah adanya klaim dari para pengikut Jefferson yang memulai pembatasan-pembatasan politik dengan menamakan sebagian jurnalis dengan oposisi.

Itu sebuah fenomena yang terjadi jauh di AS dan sudah dua abad lalu. Tapi seperti itulah representasi hubungan antara penguasa dan pers yang hampir selalu punya batasan-batasan yang mirip permusuhan. Di banyak negara dan daerah, termasuk Indonesia dan Aceh khususnya, banyak mereka yang sebelumnya mesra dengan media dan pers, tetapi kemudian langsung berseberangan ketika menjadi penguasa.

Secara umum sampai kapan pun, ketidak-harmonisan pers dengan pemegang kekuasaan –juga senjata- akan terus terjadi, begitulah relnya. Karena yang dilakukan media adalah kontrol disampaikan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kalau tak ingin dikritik tak usah menjadi politisi. Tapi tak dipungkiri, ada juga hubungan yang harmonis, bila keputusan yang diambil kekuasaan berpihak rakyat.

Ada sebuah sisi lain yang perlu dilihat, bahwa media adalah sebagai alat untuk berkomunikasi politik para politisi. Kerap para politisi memakai ruang media massa untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada rakyat, begitu sebaliknya. Media menyediakan ruang, karena disitulah tugasnya.

Sebagai media komunikasi, keberadaan pers merupakan hak asasi bagi individu atau insan pers untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Sebagai media publikasi, pers mengemban kewajiban asasi untuk menyampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.

Pada dasarnya media mempunyai implikasi yang luas dalam mempengaruhi perilaku politik. Pada satu sisi media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkeraman negara yang bersikap sebagai polisi. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, sarana sosialisasi, pendidikan dan sosialisasi politik bagi masyarakat.

Dalam konteks politik, zaman ini persaingan kekuasaan antar politisi kadang menguntungkan media dan masyarakat tapi juga kerap merugikannya pada sisi lain. Tak dipungkiri banyak politisi yang dibesarkan media dan surat kabar akan membesarkan sesuai dengan keinginannya. Media massa juga punya kepentingan untuk mendukung siapa saja. Walaupun itu kerap dilakukan dengan sembunyi-sembunyi di Indonesia, Aceh khususnya.

Politisasi informasi akibat pengaruh kekuasaan dan bisnis media menyebabkan media kerap tak mampu menjalankan misinya sebagai pengawas. Kendati ada juga idealisme yang dimiliki media dalam menyampaikan informasi kepada rakyat.

Dalam berbagai perhelatan demokrasi meraih kekuasaan, kampanye kerap dilakukan dengan memakai media. Misalnya membeli tempat untuk iklan, menggelar acara hingga muncul berita, artikel, mengirimkan press release dan sebagainya. Faktor ini menjadi salah satu pemicu dalam upaya mengkotak-kotakkan jurnalis.

Kebenaran terhadap kerja jurnalis (yang sebenarnya) tak mutlak di mata para pihak, kendati sudah menerapkan sederet etik dan aturan-aturan mengikat profesi. Kadang mereka tetap saja salah, saat menuliskan yang sebenarnya.

Media dan jurnalisnya kadang menjadi kawan baik bagi politisi dan kadang menjadi kawan buruk. Pelabelan tak akan hilang sampai kiamat.

Di Aceh khususnya, istilah-istilah yang diberikan saat ini tentu tak semenakutkan masa konflik. Tak lagi terdengar tanya; kamu wartawan TNI atau GAM? Salah nilai bisa bikin mati.

Sebagai penutup, saya masih teringat dilema rekan-rekan saat proses Pilkada Aceh 2024 lalu. Beberapa kawan terus bertanya, kamu jurnalis (pendukung) Mualem atau Bustami? Tentang pers di masa konflik dan damai adalah renungan panjang.[]

Sumber: Artikel ini pernah dipublikasi dalam buku bersama yang berjudul “20 Tahun Damai RI-GAM Dari Senjata, Berkonflik Dalam UUPA” terbitan https://bandarpublishing.com/produk/20-tahun-damai-ri-gam-berdamai-dari-senjata-berkonflik-dalam-uupa/

Tags: 20 Tahun MoU HelsinkiAdi WarsidiJurnalis AcehMeliput Perang AcehMoU RI-GAM
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
SAGOE TV

SAGOE TV

SAGOETV.com adalah platform media digital yang memberi sudut pandang mencerahkan di Indonesia, berbasis di Banda Aceh. SAGOETV.com fokus pada berita, video, dan analisis dengan berbagai sudut pandang moderat.

Related Posts

Pandai Merasa Bukan Merasa Pandai
Analisis

Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

by SAGOE TV
September 27, 2025
Strategi Ekonomi Aceh: Optimalisasi Potensi Lokal dan Ekspansi ke Pasar Global (bagian 2)
Analisis

Jalan Baru Menuju Kebangkitan Ekonomi Aceh

by SAGOE TV
September 22, 2025
Hotel, Kapitalisme dan Spiritualitas
Analisis

Hotel, Kapitalisme dan Spiritualitas

by SAGOE TV
September 22, 2025
Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh
Analisis

Gas Raksasa Andaman: Titipan Damai, Harapan Sejahtera untuk Aceh

by SAGOE TV
September 15, 2025
Membaca Ulang Arah Pendidikan Tinggi di Aceh
Analisis

Membaca Ulang Arah Pendidikan Tinggi di Aceh

by SAGOE TV
September 1, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

Lima Ilmuwan PTKIN Masuk Top 2% Scientist Stanford–Elsevier 2025, Dua dari UIN Ar-Raniry

Lima Ilmuwan PTKIN Masuk Top 2% Scientist Stanford–Elsevier 2025, Dua dari UIN Ar-Raniry

September 23, 2025
Cerita dari Konferensi Perdamaian Perempuan Internasional 2025

Cerita dari Konferensi Perdamaian Perempuan Internasional 2025

September 24, 2025
Pandai Merasa Bukan Merasa Pandai

Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

September 27, 2025
USK Buka Pendaftaran Calon Rektor

USK Buka Pendaftaran Calon Rektor

September 23, 2025
Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?

Pengalaman Meliput Perang dan Damai Aceh; Laku Lancung Pemilik Senjata, Kamu Jurnalis Apa?

September 28, 2025
Enam Dosen USK Masuk 2% Top Saintis Dunia

Enam Dosen USK Masuk 2% Top Saintis Dunia

September 23, 2025
100 Tahun Hasan Tiro

100 Tahun Hasan Tiro

September 26, 2025
Akademisi dan Aktivis Aceh, Dr. Tgk Baharuddin AR, Berpulang ke Rahmatullah

Akademisi dan Aktivis Aceh, Dr. Tgk Baharuddin AR, Berpulang ke Rahmatullah

September 22, 2025
Obituari Adun Baha; Guru Inspirator Kami

Obituari Adun Baha; Guru Inspirator Kami

September 22, 2025

EDITOR'S PICK

Pj Bupati Aceh Besar Tinjau Pasar Induk Lambaro

Pj Bupati Aceh Besar Tinjau Pasar Induk Lambaro

January 8, 2025
Kakanwil Kemenag Aceh Lantik Lima Pejabat Eselon III

Kakanwil Kemenag Aceh Lantik Lima Pejabat Eselon III

March 26, 2025
Terima Parlemen Bangsa Moro, Pj Gubernur Aceh Bahas Pengelolaan Daerah Otonomi Khusus

Parlemen Bangsa Moro Kunjungi Aceh, Pelajari Pengelolaan Daerah Otonomi Khusus

December 5, 2024
Ulama dan Santri Aceh Harus Terlibat dalam Politik sebagai Kekuatan Moral

Ulama dan Santri Aceh Harus Terlibat dalam Politik sebagai Kekuatan Moral

May 15, 2025
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.