Oleh: M Adli Abdullah
Dosen Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Pada suatu kesempatan, saya shalat dhuhur di masjid cut Meutia, Menteng Jakarta, suasana beribadah di masjid ini terasa tenang dan nyaman walaupun bentuknya tidak seperti masjid biasa yang berkubah, tetapi seperti bentuk gedung peninggalan kolonial. Hal inilah yang menyebabkan saya ingin tahu untuk menelusuri sejarah masjid yang diberi nama Cut Meutia pahlawan nasional dari Aceh ini.
Setelah salat, saya beristirahat di dalam masjid, maklum habis makan siang di warung samping masjid, jadi kekenyangan. Tanpa sengaja saya duduk dan beriktikaf ada seorang lelaki separuh baya, langsung saya dampingi dan memperkenal diri. Nama beliau H Herry Heriawan, rupanya beliau kepala pengurus harian Madjid Cut Meutia ini.
Sejarah masjid ini menurut pak Herry, cukup panjang rupanya. Masjid yang berlokasi Jl. Taman Cut Meutia No.1, Menteng, Jakarta Pusat, awalnya adalah kantor NV De Bouwpleg, kantor para arsitek Belanda. Dulunya, menurut pak Herry, bangunan ini selain dijadikan kantor para arsitek, juga pernah dijadikan kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz (1851-1924), sebelum dibangun Istana Negara, tempat presiden RI sekarang.
Jenderal van Heutsz ini, tidak asing dalam sejarah perang Aceh Belanda. Dia lahir pada tanggal 3 Februari 1851 di Coevorden, Belanda memimpin genocida pembunuhan rakyat Aceh, mulai di Bateeiliek, sampai ke pedalaman dataran tinggi Gayo. Dia dikirim ke Aceh sebagai subaltern (bawahan) pada tahun 1873 dan memperoleh promosi dengan cepat. Kemudian ketika tahun 1887, memperoleh kenaikan pangkat menjadi kepala staf, dan selanjutnya tahun 1899, Van Heutsz diangkat sebagai gubernur militer dan sipil Aceh yang harus menghadapi perang Aceh (1898–1903). Atas prestasinya membantai rakyat Aceh, dia dianugerahi jabatan tertinggi di Hindia Belanda (Indonesia sekarang), Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1904 sd 1909 menggantikan W. Rooseboom (1898–1904). Van Heutsz mati pada 10 Juli 1924 di tempat peristirahatannya di Montreux, Swiss. Salah satu monumen Van Heutsz sampai sekarang masih berada di Bateeiliek dikenal dengan Van Heutsz Bank.
Herry Heriawan dalam diskusi selanjutnya dengan penulis juga menjelasakan bahwa masjid Cut Meutia ini adalah gedung bertingkat pertama yang dibangun di daerah Menteng. Pada zaman pendudukan Jepang, gedung ini dijadikan Markas Besar Angkatan Laut. Paska kemerdekaan gedung kolonial Belanda ini dijadikan kantor Wali kota Jakarta Pusat. Pada 1966 dijadikan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibawah pimpinan Abdul Haris Nasution. Setelah MPRS pindah ke Gedung MPRRI-DPRRI Senayan gedung ini dijadikan rumah ibadah setelah dipindahtangankan kepada anggkatan 66 yonif Yo Sudarso. Baru pada tahun 1987dengan SK gubernur no. 5184/1987 gedung peninggalan kolonial ini, resmi menjadi masjid Cut Meutia sempena nama seorang pahlawan nasional yang dikejar kejar oleh pasukan Van Heutsz dulunya.
Pada 1984, Masjid Cut Meutia dilakukan renovasi besar-besaran. Untuk memberikan kesan luas, sebagian anak tangga dipotong dan dipindahkan keluar. Selain itu arah kiblat dimiring 15 derajat ke arah kanan. Tempat imam di Masjid Cut Meutia terpisah dari tempat mimbar. Menurut Pak Herry tidak ada dalil yang menyatakan mihrab dan mimbar yang harus berdampingan. Genteng yang semula sirap diganti menjadi genting beglazur. Lantai pun dipasangi marmer. Semula Masjid Cut Meutia tidak mempunyai halaman ataupun tempat parkir. Namun atas usaha Edi Nala Praya, Wakil Gubernur DKI Jakarta (1984-1987), taman yang berada di depan Masjid Cut Meutia yang semula milik dinas pertaman, dibagi menjadi sehingga Masjid Cut Meutia pun mempunyai halaman.
Inilah sekelumit kisah masjid Cut Meutia yang berada dikawasan Menteng, Jakarta, semoga dengan penamaan Cut Meutia pada masjid ini, akan dapat mengenang kisah perjuangan Cut Meutia yang syahid ditangan pasukan marsose yang dipimpin W.J. Mosselman pada 25 Oktober 1910. Pemberian nama gedung yang pernah menjadi kantor Van Heutsz ini menjadi masjid Cut Meutia dapat menjadi renungan bagi generasi kini dan kedepan untuk tidak melupakan jasa jasa para syuhada yang telah mengorbankan dirinya, hartanya demi berjuang untuk negeri dan agamanya. Al-fatihah.[]