Oleh: Fatma Susanti.
Praktisi Pedagogi Kritis, Berdomisili di Aceh.
Apakah anda orang terdidik? Jika anda mengiyakan, apakah karena anda sudah menghabiskan sebagian besar usia hidup anda di bangku sekolahan? Mungkin anda memang sudah sekolah dan bertitel, tapi benarkah anda sudah terdidik? Tunggu dulu. Jangan buru-buru. Paulo Freire akan memberikan alat bantu analisa seberapa terdidiknya anda.
Paulo Freire, Bapak Pendidikan Kritis dunia yang terkenal dengan karya utamanya Pendidikan untuk Kaum Tertindas. Pedagogi kritis lahir karena rakyat mengalami penindasan. Melalui pedagogi kritis, Freire menyusun aktvitas pembebasan, terutama apa yang ia sebut dengan dengan praxis pendidikan.
Praxis pendidikan yang memerdekakan bagi Freire adalah proses dan praktik pendidikan yang bertujuan membebaskan manusia. Karenanya harus dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi. Praxis hanya dapat diperoleh melalui kesadaran terhadap realitas, merealisasikan pengetahuan melalui aksi-aksi nyata pembebasan, lalu melakukan refleksi atas pengetahuan dan aksi yang telah dilakuka, agar terjadi dialektika.
Salah satu kritik terbesar Freire terhadap sistem pendidikan kita adalah praktik Banking Concept. Pendidikan kita yang bersifat banking menindas sejak orientasi hingga proses. Inilah yang saya rasakan juga setelah mengikuti ToT Multiple Intelligence (teori kecerdasan majemuk). Ternyata pendidikan sebagai pembebasan bukan hanya membekali siswa dengan kesadaran kritis dan anti penindasan. Tapi juga proses pendidikan itu harus dilakukan dengan cara-cara, proses-proses, dan prosedur-prosedur yang membebaskan dan manusiawi pula.
Sebagai guru ilmu sosial di Sekolah Menangah Umum, Saya merasakan dan melihat lansung dampak parah betapa pendidikan kita bukan hanya menindas fisik dan intelektual, lebih fatal lagi merusak mental. Dari sini cikal bakal mental peserta didik yang tertindas dibentuk menjadi penindas baru di masa depan.
Kita jelas merasakan pengalaman langsung aktivitas banking concept seperti ceramah di sekolah, dimana ceramah guru harus dianggap benar, tanpa tanya jawab, harus mencatat sambil mendengar ceramah sepanjang jam pelajaran, bahkan yang diceramahi pun berupa textbook. Konyolnya hal ini bahkan dipraktekkan hingga perguruan tinggi.
Tapi bahkan kritik atas kesadaran berbasis intelektualitas pun tidak cukup. Tindakan manusia lebih besar dipengaruhi aspek mental-psikologis. Tugas kita bukan hanya mengubah orientasi, namun juga proses. Pendidikan sangat menindas, ketika pun orang berhasil berpikir dan berkesadaran kritis namun diperoleh dengan proses kekerasan, eskploitasi psikis, tidak memenuhi hak-hak peserta didik bahkan sebagai manusia.
Tidak heran pendidikan kita justru menjadi mesin produksi para penindas baru. Dan mengapa banyak orang berkesadaran kritis (intelektual, aktivis) tapi juga menindas. Atau militan melawan negara tapi gagal membebaskan diri dari kecenderungan menindas diri sendiri dan orang lain. Bisa jadi kesadaran kritisnya baru di level kognitif, belum masuk ke mental-spiritual. Menanam benih pengetahuan pembebasan di atas mental yang sudah dirusak sistem sekolah suatu hal yang mustahil.
Aksi Dialogis
Dalam hal ini, Freire menyatakan pendidikan harusnya dilakukan melalui ‘aksi dialogis’. Aksi dialogis tidak sama dengan aktivitas dialog biasa. Aksi dialogis memiliki orientasi, yakni pembebasan. Sekedar melakukan dialog namun tidak membuat peserta didik dapat mengkritisi pengetahuan yang datang padanya, tidak membuat peserta didik memahami realitas yang terjadi berdasarkan kesadaran kritis, tidak membuat ia memahami relasi kuasa dan penindasan yang tejadi dlam masyarakat. Aksi dialogis Freire mensyaratkan praxis: berpikir – bertindak – refleksi. Kata dan aksi merupakan representasi dari perspektif pengetahuan dan kondisi mental.
Oleh karenanya itu, aksi dialogis juga menuntut 4 prinsip utama yakni kerjasama, persatuan, organisasi dan sintesa kebudayaan. Sehingga Aksi dialogis akan menghasilkan manusia yang berkesadaran kritis, intelektualitas dan rasionalitas yang baik, perasaan yang halus, mental yang membaja dan aksi untuk pembebasan terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya sesuai dengan akar kebudayaan masyarkatnya. Tanpa ini, tidak ada tindakan dialogis.
Saya mencoba kembangkan model aksi dialogis di dalam ruang belajar. Pertama, saling menyampaikan perspektif dan memposisikan diri setara dalam pembelajaran. Peserta didik dirangsang untuk aktif menyampaikan pengetahuan-pengalaman dan itu harus dianggap penting. Kedua, saya dan peserta didik membahas teori-perspektif menyangkut materi dan realitas yang akan dikaji melalui ‘Literasi Kritis’. Ketiga, saya merancang aktivitas agar peserta didik memahami realitas.
Untuk melatih kerja sama, persatuan dan organisasi, peserta didik bekerja berkelompok, berdiskusi memahami permasalahan, menganalisa solusi dan action plan. Peserta didik belajar tentang kolektif yang bertanggungjawab atas pemahaman dan kerja seluruh anggota. Dalam aktivitas diskusi dan debat, kritik atas kebudayaan juga dibangun. Karakter dominasi, feodal, rentan ditindas, juga dapat dikritisi dan dihubungkan dengan kebudayaan masyarakat yang memproduksi itu.
Aksi dialogis juga lebih mudah dilakukan melalui pembelajaran hadap masalah atau melalui upaya mengkonfirmasi pengetahuan konseptual tertentu atas realitas. Misalnya ketika membahas konflik sosial, peserta didik diminta untuk memaparkan kesan dan pendapatnya saat mendengar konsep tersebut, meminta mereka menceritakan pengalaman pribadi mengenai konflik yang pernah dialami lalu meminta mereka menilai upaya penyelesaian konflik yang mereka lakukan selama ini, meminta teman-temannya ikut memberikan kritik dan saran. Dalam proses ini, proses dialogis terjadi antara pendidik dengan peserta didik, serta antar-sesama peserta didik. Melalui proses seperti ini pula, saya belajar sangat banyak melalui peserta didik.
Di samping itu, saya memiliki serial aktivitas bertajuk Bolos Resmi. Dimana peserta didik melakukan aktivitas pembelajaran di luar kelas secara berkala, seperti: berkunjung LBH untuk berdialog tentang pengalaman advokasi konflik di masyarakat, studi lapangan ke Kampung yang berhasil melakukan pemberdayaan berbasis kearifan Lokal; mengunjungi masyarakat Adat yang tengah berkonflik dengan perusahaan sambil mempelajari praktik Adat berdaulat melawan kapitalisme; tour keliling kampung menggali pengalaman masyarakat tentang kebencanaan (tsunami); mengunjungi lembaga-lembaga pemerintahan seperti DPRA, pemerintahan desa; mengunjungi LSM dan lembaga-lembaga yang concern di isu kerakyatan seperti MaTA, KKR, Aceh Documentary Forum, ICAIOS, Tikar Pandan, Prodeelat, AJI, JMSPS, dan lainnya.
Bentuk aksi dialogis lainnya yang saya kembangkan melalui bermain peran di kelas, seperti bermain peran sebagai NGO yang melakukan riset komunitas dan menghasilkan Rencana Aksi; sebagian berperan sebagi lembaga pemerintahan yang mempresentasikan kinerja di depan masyarakat, pengadilan mini, memerankan situasi konflik, sidang paripurna bahkan aksi massa menyangkut isu tertentu. Seperti saat bermain peran menjalankan agenda Rapat Dengar Pendapat kasus perampasan lahan misalnya, peserta didik yang berperan sebagai pemerintah, rakyat, perusahaan, akademisi, politisi dan NGO dapat langsung berposisi sebagai subjek dalam realitas, saling uji informasi dan data, berkontradiksi, berdialektika dalam persatuan dan perpecahan, merasakan dampak kebudayaan yang menindas dan anti-penindasan.
Literasi Kritis
Salah satu hal krusial dalam pedagogi kritis lainnya adalah Literasi Kritis. Literasi kritis terdiri dari 4 elemen: mendengar kritis, berbicara kritis, membaca kritis dan menulis kritis. Masing-masing bagian tersebut membutuhkan kapasitas tertentu. Di sini kita harus membongkar ulang pemahaman awam yang menyamakan antara literasi dengan (sekedar) membaca. Itupun hanya bicara tentang minat baca (belum kepasitas membaca), bahkan dipersempit lagi (sekedar) membaca buku. Teks pun hanya dipahami sebagai tulisan. Pemahaman ini harus dibongkar ulang.
Selanjutnya, peserta didik perlu dipahamkan teks memiliki nilai benar-salah. Membaca teks harus dilakukan dengan kemampuan menilai benar-salah, hegemoni-counter hegemoni, sesuai realitas atau tidak, mengandung fallacy atau tidak. Kemampuan membaca kritis hanya bisa diperoleh jika kita memiliki alat dan pisau analisa untuk membedah teks melalui kemampuan berpikir kritis (based on logic and epistemologic) dan kesadaran kritis (hegemoni-counter hegemoni).
Saya berusaha menerapkannya via berbagai media seperti: mengajak peserta didik membaca beberapa halaman buku, membagikan artikel dan berita kontekstual, menonton video dan film tentang perlawanan dan isu sosial politik tertentu lalu menganalisa dan mendiskusikan secara kritis. Saya juga memanfaatkan media seni dan sastra. Saya menampilkan puisi-puisi W.S. Rendra dan Wiji Thukul, bagian tertentu dari Novel Pram, cerpen-cerpen, seni rupa, dan lagu-lagu berkonten sosial-politik, atau mengunjungi komunitas seniman-sastrawan aktivis lalu peserta didik menghasilkan karya seni, bahkan sastra dan essay yang dimuat di media massa.
Literasi kritis juga dapat dilakukan melalui aktivitas riset, baik riset lapangan maupun riset media, membuat laporan dan mendiskusikannya. Saya juga membuat penugasan berupa penulisan laporan konflik masyarakat adat dengan perusahaan, isu anti-korupsi dalam format tulisan di status media sosial siswa sebagai bentuk kampanye dan dukungan terhadap rakyat.
Saya bahkan tidak menggunakan evaluasi konvensional seperti soal pilihan-ganda tau menjawab soal uraian di kelas, melainkan seringnya dalam bentuk studi kasus dan wacana tertentu dimana peserta didik mengekspresikan pendapatnya secara bebas sebanyak yang mereka inginkan, dapat mencari data di media atau bahkan take-home. Penilaian ditentukan basis kesadaran (magis-naif-kritis) dan perspektif (keadilan, kemanusiaan, kesetaraan). Terutama melalui penilaian yang apresiatif, peserta didik menjadi terbiasa berpikir dan berpendapat merdeka.
Pembelajaran Semu
Mari kita perhatikan baik-baik bagaimana sistem pendidikan dan pembelajaran bekerja selama ini di tempat dimana anda merasa terdidik. Praxis pendidikan kita jelas belum memerdekakan. Pendidikan kita belum berorientasi membebaskan, belum membuat manusia memahami realitas bahkan yang berada tepat di depan matanya. Jikapun mereka melihat, mereka tidak punya perspektif memadai untuk memahami realitas tersebut. Belum lagi pengetahuan di lembaga pendidikan sengaja dimanipulasi sebagai bagian hegemoni penindas untuk kepentingan mereka.
Pendidik dan peserta didik tidak pernah diberi alat seperti filsafat atau perspektif kritis untuk sekedar membuat mereka dapat menilai: apakah pengetahuan yang datang pada mereka bernilai benar atau salah. Kita hanya diminta untuk menghapal teks-teks untuk diujiankan saban waktu itu, sudah tak jelas benar-salahnya, pun seringnya tak diketahui kegunaan dan relevansinya di dunia nyata.
Pembelajaran kita anti-dialogis, bahkan tak jarang mengabaikan sudut pandang kita sebagai pembelajar. Mulai dari pengetahuan dan pengalaman yang kita hadapi, hingga aspek mental dan perasaan. Guru tidak peduli dengan dampak kata dan tindakan pada pengetahuan dan mental peserta didik, pengetahuan apa yang menjadi kebutuhan peserta didik, bagaimana pengetahuan bermanfat terhadap kehidupan harian mereka.
Balik ke pertanyaan awal, jika anda seorang terdidik, dalam iklim pendidikan seperti apa anda dibesarkan? Jawaban ini mengarahkan kita untuk tahu kecenderungan posisi politik anda saat ini, sebagai bagian dari pembebasan atau penindas baru.[]