Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Penyamaran adalah cara yang paling sering dilakukan oleh satu institusi intelijen. Mereka akan melakukan segala cara untuk melakukan penyamaran yang dilakukan oleh agen terbaik mereka. Ini tentu saja bukan hal yang luar biasa, untuk dikupas, sebab dunia ‘mata-mata’ adalah dunia penyamaran atau bagaimana berperan sesuai dengan skenario yang dijalankan.
Karena itu, orang yang melakukan tindak kejahatan bukanlah penjahat, namun dia orang baik yang menyamar jadi orang jahat. Namun, ketika dia sudah ketahuan, maka dia akan kembali menjadi orang baik. Maksudnya, adalah mereka yang tidak suka melakukan penyamaran, maka tidak akan pernah menjadi atau merasakan agen. Ini tentu saja, agen disini adalah agen untuk sebuah kepentingan besar. Jadi, dengan menyamar, dia boleh melakukan apa saja yang ditugaskan. Proses penyamaran ini bisa menyamar atau menukar nama, identitas, atau bahkan kewarganegaraan. Penyamaran juga bisa dilakukan dengan pura-pura menjadi pengikut agama tertentu. Pada hakikatnya, proses penyamaran adalah bagian terdekat dari penyusupan.
Dengan kata lain, orang yang melakukan penyusupan, maka sesungguhnya dia sedang melakukan penyamaran. Suatu penyusupan akan dikenal atau dketahui berhasil jika dilakukan dengan penyamaran yang baik pula. Orang yang paling pintar menyamar dia tidak akan banyak berada di publik, jika tidak penting. Dalam hal ini, proses penyamaran ada berlapis-lapis. Misalnya, ada penyamaran yang dilakukan untuk sekedar mengalihkan perhatian. Ada juga penyamaran yang disebabkan untuk membuka satu misi kemudian dijalankan oleh agen lain, jika sudah terbuka pintunya. Namun, tidak sedikit pula penyamaran yang dilakukan untuk sekedar menggali informasi, kemudian menjualnya kepada pihak lain. Tentu saja ini akan membuat suatu skenario demi skenario. Namun semua aktivitas penyamaran selalu dibarengi dengan konde sandi atau kode rahasia.
Sandi dalam dunia intelijen ada beberapa tingkat dan sesuai dengan kepentingan yang mengeluarkan sandi. Sandi tingkat tinggi adalah tidak ada sandi. Maksudnya, karena dalam dunia intelijen ada lembaga khusus yang menangani sandi, maka ada organisasi intelijen yang membuat tidak ada sandi apa-apa adalah sandi itu sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah pengendalian agen dilakukan dari jarak jauh, ketika mereka menyamar. Karena itu, sandi dibawah tingkatan tersebut sandi yang dikelola oleh negara masing-masing. Lembaga sandi negaralah yang mengolah dan mengatur semua sandi yang beredar di negara tersebut. Lembaga sandi negara pun tidak mungkin mungkin mereka tidak punya sandi. Jadi, dalam proses penyamaran sandi sangatlah penting, supaya untuk proses pengamanan dan pengondisian suatu misi. Kalau kita lihat dalam beberapa operasi intelijen, sandi memainkan peran penting dalam misi penyamaran agen. Hanya saja, karena perbedaan sandi ini pula, terkadang memunculkan konflik di antara institusi intelijen. Terkadang mis-komunikasi atau tidak adanya kerja sama antar institusi intelijen menyebabkan terkadang penyamaran tidak mengalami kemajuan.
Dari beberapa agen intelijen yang pernah mengakui penyamarannya, mereka selalu diingatkan agar selalu waspada terhadap siapa dan bagaimana disamping mereka. Biasanya dalam kategori ini, penyamaran yang paling sering dilakukan adalah oleh pihak wanita. Hal ini disebabkan wanita dipandang mudah aktivitas ini. Penyamaran ini memiliki beberapa tingkat dan diperlukan kecerdasan yang berbeda-beda pula. Misalnya, penyamaran untuk mencari bukti atau data, ini akan dilakukan dalam kadar yang sederhana, dengan asumsi musuh atau target tidak pernah akan tahu. Penyamaran yang dilakukan seperti ini kadang kala berhasil, namun tidak sedikit yang gagal. Biasanya si agen memainkan peran yang seolah-olah berada di pihak musuh dan seolah-olah pula orang yang paling aktif dalam organisasi tersebut. Untuk memberikan kata kunci pada level ini, saya mengatakan bahwa penyamaran ini sesungguhnya bukanlah yang paling tinggi. Ada pula penyamaran yang tidak begitu rumit yaitu dengan melakukan beberapa perubahan pada bentuk wajah, sehingga agen tersebut tidak mudah dikenali. Namun ada juga yang berhasil terkuak, misalnya cara jalan, cara tertawa, cara berkata-kata. Bagi saya, untuk mengenal seseorang mata-mata atau bukan, maka satu hal yang saya lakukan yaitu menatap bola mata secara tajam. Biasanya, agen manapun tidak akan bisa berkutat jika bola mata hitam mereka ditatap. Reaksi yang muncul bukanlah saya ini agen atau ‘mata-mata.’ Jadi, sebenarnya orang yang cukup cerdas adalah mereka yang mengatur aksi penyamaran atau bahkan penyusupan. Jadi, mereka yang dikenal dengan sebutan tokoh dibelakang layar atau dalang.
Jadi, aktivitas spionase ini tidak akan jauh dari kegiatan penyusupan dan penyamaran. Hanya saja yang diperlukan adalah tingkat kewaspadaan kita pada mereka. Namun saya sendiri menganjurkan supaya tidak pusing dengan kelompok agen yang melakukan penyamaran, maka anggaplah semua orang disamping anda adalah agen. Jadi, anggaplah anda dimata-matai atau diincar oleh satu pihak. Buatlah skenario anda berada di tengah-tengah satu operasi intelijen. Jadi, dengan demikian anda tidak akan pusing, sebab akan mengontrol diri anda sendiri, yaitu tetap waspada dengan seolah-olah tidak waspada. Hal ini saya tegaskan bahwa mereka yang berada di tingkat tinggi yang memiliki kemampuan pengindraan jarak jauh, akan bisa mengarahkan orang lain untuk berbicara dengan anda.
Ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta, perkara intel menyamar sebagai ‘apapun’ adalah fenomena yang lumrah dijumpai. Pernah ketika diundang oleh salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Yogyakarta untuk menyampaikan beberapa persoalan kekerasan di Aceh. Saat itu, tidak pernah disadari bahwa isu yang dibicarakan adalah persoalan yang cukup hangat. Namun, karena semangat sebagai mahasiswa, saya akhirnya menyampaikan apa adanya dan perspektif saya mengenai tragedi Aceh. Tidak ada sedikit pun perasaan curiga terhadap audiens. Namun, diujung acara tersebut, tiba-tiba datang seorang pemuda yang mengaku wartawan dari salah satu media massa di Jawa Timur. Dia mengatakan bahwa akan mempublikasikan makalah yang saya presentasikan. Tanpa sedikit pun rasa curiga, saya langsung menyerahkan makalah saya kepada ‘wartawan’ tersebut.
Keesokan harinya, saya menunggu dengan penuh harap bahwa makalah saya akan dipublikasikan oleh salah satu koran ternama. Setelah menunggu beberapa hari hingga bulan, akhirnya saya sadar bahwa makalah tentang Aceh tersebut, tidak diterbitkan. Itulah pengalaman pertama kali melihat keganjilan mengenai sosok pemuda yang mengaku ‘wartawan.’ Pengalaman tersebut saya simpan hingga saya dapat memecahkan teka-teki siapa ‘wartawan’ yang meminta makalah tersebut. Belakangan saya diberitahukan oleh kawan bahwa pihak intelijen sudah memonitor gerak-gerik para aktifis di Yogyakarta, tidak terkecuali mahasiswa dari Aceh.
Dalam perjalanan pulang ke Aceh, saya naik bis dari Medan ke Lhokseumawe. Tidak saya sadari bahwa ada sesosok yang duduk di samping saya. Dia mengatakan secara terus terang bahwa dari salah satu kesatuan pasukan elit di Indonesia. Duduk, diam, dan tanpa banyak bicara adalah ciri khas intel tersebut. Sang tentara tersebut pun kemudian memperlihatkan pistol yang ada di pinggangnya. Saya tidak ambil pusing dengan seorang tentara sipil dari pasukan elit duduk di samping saya. Belakangan saya tahu bahwa KOPASSUS memiliki satuan khusus yang membidangi intelijen (Sandi Yudha).
Lain lagi, ketika menempuh salah satu perjalanan dari Lhokseumawe ke Medan. Tidak saya sadari bahwa kernet bis yang selalu mengangkat barang penumpang ke dalam bis adalah intel Brimob yang diperbantukan pada Polda Sumatera Utara. Identitas ini saya peroleh dari sang intel tersebut, sambil memperlihatkan logo korps Brimob. Tugas utama dia adalah memburu para pengangkut ganja dari Aceh ke luar Aceh. Karena itu, para pengangkut ganja, pada tahun-tahun tersebut menggunakan bis malam dari Banda Aceh menuju Medan. Sang intel Brimob tersebut pun menghilang ketika sampai di Kota Medan. Anehnya, kedua intel tersebut mengaku bahwa mereka berasal dari kesatuan yang bertugas di Aceh. Mereka memakai pola yang sama yaitu menyamar sebagai penumpang bus. Bahkan intel dari kepolisian menyamar sebagai kernet bus malam.
Ketika konflik berlangsung di Aceh, ada seorang warga asing yang melakukan olah raga sepeda. Warga asing ini sangat tinggi dan singgah di kampung halaman saya untuk minum. Ketika ditanyakan asal usul sang bule ini, dia diam dan tidak mau menggubris. Namun karena saya desak, akhir dia mengatakan bahwa tidak mau menceritakan hal yang sama pada pertanyaan yang sama. Bule ini agaknya sangat kesal, karena dicerca dengan pertanyaan. Belakangan diketahui bahwa beberapa kedutaan besar di Jakarta mengirim tentara mereka ke Aceh untuk memonitor perkembangan Aceh. Salah satu informan mengatakan bahwa mereka adalah para tentara dari angkatan laut, yang dititipkan di kedutaan untuk memantau persoalan keamanan di Indonesia. Melalui bersepeda, dia menyisir seluruh jalan utama di Aceh. Karena itu, wajar ketika ditanyakan bertubi-tubi asal usul dan tujuan mereka datang tiba-tiba ke kampung halaman saya, bule ini merasakan tidak nyaman dan marah-marah. Saya agak yakin kalau bule tersebut merupakan salah satu marinir dari salah satu negara sahabat.
Itulah sekelumit perkenalan saya dengan intel yang menyamar. Di Aceh, persoalan intel yang menyamar memang sudah menjadi rahasia umum. Misalnya, mereka yang berprofesi penjual kain/baju kreditan, agen penjual rokok, tukang becak, tukang jual ikan, petugas kesehatan, dan berbagai profesi lainnya yang mengharuskan mereka keluar masuk ke dalam perkampungan. Ada pula mereka yang menyamar sebagai bagian tugas pendidikan intelijen. Sehingga mereka seolah-olah sedang merayap untuk membuat suatu laporan mengenai situasi dan kondisi daerah tertentu. Karena itu, tidak mengejutkan bahwa pihak intelijen mengerti betul situasi dan kondisi suatu daerah, mulai dari setting daerah sampai pemetaan tokoh-tokoh tertentu yang menjadi TO (Target Operasi). Ada juga seorang agen yang menyamar sebagai penjual rokok dengan mobil box ke seluruh wilayah di Aceh.
Namun demikian, proses samar menyamar ini tidaklah berlaku pada persoalan aktivitas intelijen yang sangat sempit. Karena, proses penyamaran juga dilakukan oleh agen-agen intelijen dari suatu negara ke negara lain. Mereka akan menyamar dalam berbagai profesi seperti mahasiswa, aktivis LSM, wartawan, ilmuwan, peneliti, bisnisman, wisatawan, guru bahasa, dan diplomat. Tidak jarang, untuk membangun kepercayaan, mereka yang menyamar ini akan melakukan apa saja demi mendapatkan kepercayaan, mulai dari menikah dengan warga dimana dia ditempatkan, sampai dengan pindah agama. Karena dengan begitu, mereka akan sangat mudah membaur dalam masyarakat yang menjadi wilayah operasi. Operasi dengan penyamaran ini memang terkadang sangat membahayakan, sebab terkadang ada operasi intelijen yang tidak mengakui bahwa agen yang menyamar tersebut adalah agen yang disusupkan. Untuk itu, ada istilah yang digunakan dalam operasi ini yaitu agen yang ditanam (planted agent).
Operasi dengan penyamaran (covert) ini, pada prinsipnya, bertujuan untuk mendapatkan informasi dan pemetaan daerah yang menjadi bahan analisa. Keakuratan informasi dari intel yang disusupkan dengan proses penyamaran ini memang mendapatkan predikat A1. Karena itu, operasi intelijen kadang kala berhasil karena mendapatkan Laporan Intelijen yang masuk kategori A1. Sedangkan informan dan pengamat kadang kala tidak dianggap sebagai informasi A1.
Berikut adalah salah satu contoh pengakuan agen intelijen yang menyamar:
“Saya pernah menyamar jadi tukang durian yang mengirim dagangan dari Medan ke Lhokseumawe. Dalam perjalanan melewati pos penjagaan dan pemeriksaan aparat, beberapa kali saya diminta jatah durian. Saya beri dua buah durian justru dimarahi lalu ditempeleng. Katanya, kalau untuk GAM pasti saya memberi lebih banyak. Di sini ada satu peleton anggota yang sedang berjaga, mana cukup kalau hanya dua buah durian?” Kata Sersan Badri (bukan nama asli) anggota Sandi Yudha Kopassus mengisahkan penyamaran dirinya.
Karena sulit untuk menyusup ke dalam masyarakat Aceh yang trauma akibat konflik berkepanjangan, Badri menyamar sebagai pedagang buah Aceh perantauan. Dengan leluasa ia bergerak dari Medan, Sumatera Utara hingga Lhokseumawe di Aceh Utara untuk menjalankan bisnis buah yang mengantarnya masuk sarang GAM. Prosesnya sungguh panjang untuk memperoleh kepercayaan GAM. Selama setahun, Badri memetakan situasi lapangan di Aceh, khususnya di sekitar Lhokseumawe yang menjadi basis utama kekuatan militer GAM. Satu persatu para istri, orang tua, mertua dan anak dari keluarga petinggi GAM berhasil dirangkul oleh Badri, sehingga mereka sangat tergantung pada bantuan Badri yang memposisikan dirinya sebagai petinggi TNI yang menjadi ‘penjuang GAM.’
Gambaran seorang agen intelijen di atas memang sesuai dengan tugas intelijen yang diembankan yaitu mendapatkan kepercayaan lantas dia harus mampu memetakan kekuatan sebagai laporan intelijen. Sehingga ‘jasa’ Sersan Badri ini sangat membantu dalam operasi militer yang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia di Aceh.
Karena itu, untuk memulai proses penyamaran, seorang agen betul-betul memiliki dedikasi yang amat kuat pada tugas yang diembannya. Dedikasi yang dimaksud adalah dia akan masuk ke jantung pertahanan musuh untuk mendapatkan informasi, sebagaimana diamanatkan kepadanya. Untuk itu, seorang yang akan menyamar tentu saja akan melakukan persiapan-persiapan, yaitu: mempelajari wilayah yang akan dimasukinya. Bagi seorang agen yang piawai, kepandaian di dalam berbahasa dan mengerti sosial budaya dimana dia ditempatkan merupakan pra-syarat utama yang harus dimiliki. Pengenalan budaya dan bahasa ini, akan mempermudah baginya untuk masuk pada lingkungan baru. Bahasa merupakan kunci utama. Beberapa warga asing dengan berbagai profesi yang pernah dijumpai di Asia Tenggara hampir seluruhnya memahami dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam bahasa dimana dia bertempat tinggal. Bahkan keluwesan dan kehalusan bahasa akan mempermudah baginya untuk berbaur dalam masyarakat.
Selain itu, informasi mengenai tokoh-tokoh beserta karakter mereka juga harus diketahui terlebih dahulu. Sebab dalam penyamaran dan penyusupan, dia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh inti. Kepiawaan untuk mengarang berita bohong atau penyesatan informasi mengenai jati dirinya mutlak dilakukan. Bagi mereka yang menyamar, biasanya akan memiliki cerita yang harus diulang-ulang untuk disampaikan kepada siapapun yang ingin mengetahui jati dirinya. Adapun cerita itu boleh jadi benar atau boleh jadi cerita yang sengaja dikarang untuk meyakinkan sang target. Pengetahuan tentang karakter masyarakat tentu saja amat diperlukan untuk menempatkan posisinya sebagai ‘orang baru’ dalam komunitas tersebut. Karena itu, tidak mengejutkan ketika kita mendapatkan teman baru, dia seolah-olah memahami betul akan karakter kita sehari-hari. Mereka juga piawai di dalam menyenangkan siapapun.
Adapun agen yang menyamar di luar negeri yang menempati posisi rendahan seperti cleaning service, juru masak, security kantor swasta, dan pekerjaan rendahan lainnya, sang agen harus mampu menyembunyikan semua kepandaian dan karakter asli kepribadiaannya. Karena proses penyamarannya tidak memerlukan untuk menonjolkan karakter orang yang cerdas. Di Malaysia misalnya, ada agen Indonesia yang menyamar pada suatu kampus ternama yang berprofesi sebagai cleaning services. Dalam keseharian, dia memang seperti petugas kebersihan. Namun ketika kediamannya dikunjungi oleh seorang mahasiswa, ditemukan berbagai buku bacaan yang sama sekali jauh dari anggapan bahwa dia seorang petugas kebersihan. Setelah diketahui bahwa dia memiliki pengetahuan yang cukup banyak, akhirnya sang petugas kebersihan tersebut ‘menghilang’ dari pekerjaannya.[]