• Tentang Kami
Monday, July 28, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Tantangan Dunia Ketiga

Sulaiman Tripa by Sulaiman Tripa
March 20, 2025
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Tantangan Dunia Ketiga
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Sulaiman Tripa.
Penekun Kajian Hukum dan Masyarakat.

Dua dekade yang lalu, seorang penulis dari Selatan, Martin Khor (2001) mengungkapkan bahwa salah satu dilema terbesar negeri-negeri yang sedang berkembang masa kini adalah mereka harus membuka diri terhadap globalisasi. Membuka diri tersebut, sebenarnya sangat berkaitan dengan harapan akan memperoleh beberapa keuntungan bagi negara yang bersangkutan. Atau paling tidak –kalaupun bukan keuntungan—akan memilih berhati-hati untuk menghindari berbagai risiko; yang paling berat disebut Khor adalah kritik institusi-institusi mainstream yang kemudian akan mengkuliahi negara-negara yang sedang berkembang dengan penekanan bahwa negara-negara tersebut akan tertingga apabila tidak mengikuti proses globalisasi.

BACA JUGA

Apakah AI Dapat Disebut sebagai Revolusi Industri 5.0?

Lonjakan Kasus DBD di Banda Aceh, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Pertanyaannya adalah apakah globalisasi akan menjamin tidak ada kesenjangan kesejahteraan dan ekonomi antara negara-negara maju dan negara-negara yang sedang berkembang? Pertanyaan ini pun bukan baru muncul sekarang. Ia sudah menjadi diskursus sejak isu globalisasi muncul.

Pertanyaan (yang seharusnya tak perlu) tersebut, dipertanyakan hanya untuk meneguhkan pernyataan bahwa ada kesenjangan yang luar biasa antara negara-negara maju dan negara-negara yang sedang berkembang, dalam konteks ekonomi dan kesejahteraan –yang dihiasi pula oleh dominasi politik yang sangat berlebihan. Tak pelak, perdebatan tentang keuntungan ekonomi menjadi suatu yang dominan dalam konteks globalisasi –yang pernah digambarkan oleh mantan Presiden Soeharto sebagai sesuatu yang mau tidak mau, senang atau tidak senang, akan dihadapi oleh semua negara di dunia.

Ketimpangan muncul. Lalu mengapa, kesenjangan yang luar biasa itu ternyata kian menganga dari tahun ke tahun?

Perilaku mencari sumber ekonomi sebenarnya sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Lahirnya penjajahan di atas muka bumi, faktor terbesarnya disebabkan oleh karena penguasaan sumber-sumber ekonomi. Membaca buku-buku tentang sejarah Aceh memperlihatkan bagaimana berbagai negara di dunia berusaha menjangkau bahkan untuk kawasan yang tidak terjangkau. Kemauan orang-orang di negara maju untuk mengelilingi dunia pada abad-abad silam, adalah sebagian besar juga disebabkan oleh rangsangan ini.

Baca Juga:  Hukum Lingkungan Berkeindonesiaan

Nah, bukankah sebenarnya proses sejarah memang berulang-ulang sebagaimana pernah dipermaklumkan oleh Ibnu Khaldun –dengan bentuk dan warna yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman?

Tentang ini, diingatkan Khor (2001), dengan mengatakan bahwa tantangan dalam hal membuka diri terhadap proses globalisasi, adalah apakah negara-negara berkembang dapat mengambil keuntungan dari proses yang hakikatnya berlangsung liberalisasi yang sampai tahapan tertentu didorong oleh kekuatan-kekuatan eksternal, dan pada saat yang sama harus menghindari atau meminimalkan konsekuensi-konsekuensi buruk pada perekonomian dan masyarakat mereka.

Apa yang diingatkan Khor, memperjelas bahwa dominannya memang ekonomi. Akan tetapi globalisasi ternyata juga mengharuskan adanya perubahan di semua lini. Yang lebih penting adalah kebijakan nasional yang mendukung proses globalisasi tersebut.

Ketika melewati penjelasan ini, maka persoalan menjadi kompleks. Banyak tatanan yang ternyata harus berubah. Memang ini menyangkut dari kemampuan negara-negara dalam mengelola globalisasi dan liberalisasi melalui penyusunan kebijakan nasional di negara masing-masing.

Hal ini tentu berkaitan dengan paradigma pembangunan ekonomi, hukum, dan keadilan sosial. Pada kenyataannya, paradigma ekonomi semata –sebagaimana harapan keuntungan dari ikutserta dalam proses globalisasi—sama sekali tak menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Masalah akhir-akhir ini yang muncul, ketimpangan secara ekonomi secara global justru kian menjadi-jadi.

Di sinilah pentingnya kekuatan nasional –yang ikut atau tidak ikut dalam proses globalisasi—untuk memperjuangkan terwujudnya pengelolaan tingkat nasional dengan memadukan pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial (keadilan sosial) dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksudkan Khor. Tetapi selama ini, negara-negara sedang berkembang seperti tidak berdaya. Di banyak negara berkembang, persoalan lingkungan terjadi secara besar-besaran dengan permasalahan sosial yang juga berselimak. Masyarakat terus menjadi korban terus dalam memperoleh keuntungan ekonomi lewat berbagai kepungan pundi-pundi kekuatan pasar.

Baca Juga:  Strategi Ekonomi Aceh: Optimalisasi Potensi Lokal dan Ekspansi ke Pasar Global (bagian 2)

Pada akhirnya kesenjangan tetap merupakan sebuah kenyataan, yang memberi kesangsian bahwa globalisasi dapat memperoleh keuntungan ekonomi akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan. Mari kita merenungi kawasan vital nasional di Aceh yang ternyata tidak menyelesaikan masalah kesejahteraan. Bahkan kemiskinan menganga justru muncul di pinggir perusahaan-perusahaan multinasional?

Ada keuntungan dari globalisasi, namun globalisasi bukan tak melahirkan implikasi negatif yang luar biasa. Seperti keharusan negara-negara sedang berkembang untuk terus mengkampanyekan bahwa suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, itu merupakan sebuah kenyataan. Masalahnya, bila prosea itu pun diikuti, bagaimana implikasi negatifnya akan dihindari?

Selain ketergantungan ekonomi, ada persoalan lain yang lebih besar. Samuel Huntington (2003) mengatakan sumber-sumber identitas dan sistem otoritas yang telah mapan menjadi “kacau” yang terpengaruh dengan munculnya kebangkitan global. Menurut Huntington, proses modernisasi sudah melanda dunia pada paro abad ke-20. Orang-orang dari pinggiran menuju kota, terpisah dari tradisi dan mendapatkan pekerjaan baru atau menjadi penganggur. Francis Fukuyama (2002) menyebutkan bahwa perubahan terpenting dalam masyarakat masa kini adalah menngkatnya individualisme.

Dalam hal-hal tertentu, proses ini bisa dikatakan terwakili lewat modernisasi. Dalam Jeane Patrick (2005), Samuel Huntington mengetahui bahwa modernisasi (yang lebih dekat dengan westernisasi) –jika dipahami secara luas—dan ia dapat mengakibatkan serangan balik dan permusuhan yang sengit. Ia juga mengetahui betapa kuat momentum moderen, cara kerja sains Barat, teknologi, demokrasi, dan pasar bebas. Tapi ada satu pertanyaan besar yang diketahui Huntington adalah apakah negara-negara yang non-Barat tu dapat menjadi moderen tanpa menjadi Barat?

Inilah persoalan besar. Proses globalisasi tak hanya berlangsung dalam aspek ekonomi, tapi juga tatanan lainnya. Sungguh kompleks. Negara-negara maju sepertinya sedang mempermaklumkan bahwa negara-negara yang sedang berkembang berada dalam genggaman mereka. Barangkali tidak secara teritorial. Sebuah negara yang menguasai negara lain, akan dikatakan sebagai penjajahan. Tetapi ketika negara berkembang disapih dengan cara lain, akan disebut sebagai kemurahan hati negara maju.

Baca Juga:  Konsep Bisnis Cina: Guanxi

Negara mana yang sudah berdiri tegap untuk menyampaikan bahwa sedang berlangsung pencaplokan negara-negara besar terhadap negara-negara kecil yang tidak berdaya? Lalu di tempat kita, siapa yang sudah berdiri tegap untuk menyampaikan bahwa ada beberapa penguasaan yang terjadi lewat penetrasi gelombang-gelombang modal besar dari perusahaan dunia, atas nama kesejahteraan dan pembangunan?

Negara-negara maju masih menjadi pemegang remote ekonomi sekaligus budaya. Kebanyakan akan boleh dimiliki oleh negara-negara berkembang, tapi remote penguasaan, sama sekali tidak. Negara pemilik kekayaan biasanya hanya mendapat sebagian kecil saja. Di luar itu, hampir tak ada negara di dunia yang berhasil mempertahankan tradisi dan identitasnya karena alasan modernisasi sebagai bagian dari globalisasi.[]

Tags: GlobalHukumSosialTantangan Dunia Ketiga
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
Sulaiman Tripa

Sulaiman Tripa

Sulaiman Tripa adalah analis sosial legal dan kebudayaan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Related Posts

Apakah AI Dapat Disebut sebagai Revolusi Industri 5.0?
Artikel

Apakah AI Dapat Disebut sebagai Revolusi Industri 5.0?

by SAGOE TV
July 19, 2025
Lonjakan Kasus DBD di Banda Aceh, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Artikel

Lonjakan Kasus DBD di Banda Aceh, Apa yang Harus Kita Lakukan?

by SAGOE TV
July 5, 2025
Misteri Lonjakan Kasus HIV di Banda Aceh Fakta yang Jarang Diketahui!
Artikel

Misteri Lonjakan Kasus HIV di Banda Aceh: Fakta yang Jarang Diketahui!

by SAGOE TV
July 3, 2025
Talenta Digital dari Dayah: Harapan Baru Ekonomi Aceh
Artikel

Talenta Digital dari Dayah: Harapan Baru Ekonomi Aceh

by SAGOE TV
July 1, 2025
Dua Dekade Damai Aceh
Artikel

Dua Dekade Damai Aceh

by SAGOE TV
June 27, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

TikTok, Streetwear, dan Musik Indie Ekspresi Budaya Baru Generasi Z

TikTok, Streetwear, dan Musik Indie: Ekspresi Budaya Baru Generasi Z

July 24, 2025
Teuku Hamid Azwar, Pahlawan Tanpa Mengharap Dikenal

Teuku Hamid Azwar, Pahlawan Tanpa Mengharap Dikenal

March 15, 2025
Mendidik untuk Tidak Lupa Hak Aceh Menentukan Arah Pendidikan dan Masa Depannya Sendiri

Mendidik untuk Tidak Lupa: Hak Aceh Menentukan Arah Pendidikan dan Masa Depannya Sendiri

July 22, 2025
Pendaftaran Jalur Seleksi Mandiri Cadangan USK 2025 Dibuka, Simak Jadwalnya!

Pendaftaran Jalur Seleksi Mandiri Cadangan USK 2025 Dibuka, Simak Jadwalnya!

July 22, 2025
40 Pengurus Masjid Dapat Kesempatan Studi Tiru Masjid Terbaik Nasional dari Kemenag Aceh

40 Pengurus Masjid Dapat Kesempatan Studi Tiru Masjid Terbaik Nasional dari Kemenag Aceh

July 22, 2025
Aceh Serukan Logo Kota Salem Dipertahankan, Mualem Kirim Surat ke Gubernur Massachusetts

Aceh Serukan Logo Kota Salem Dipertahankan, Mualem Kirim Surat ke Gubernur Massachusetts

July 19, 2025
Membangun Aceh Lewat Semangat Berprestasi Strategi McClelland untuk Tanah Rencong

Membangun Aceh Lewat Semangat Berprestasi: Strategi McClelland untuk Tanah Rencong

July 25, 2025
Hari Kebaya Nasional 2025, Ketua Staf Ahli TP PKK Aceh Kenang Nilai Luhur Perempuan Indonesia

Hari Kebaya Nasional 2025, Ketua Staf Ahli TP PKK Aceh Kenang Nilai Luhur Perempuan Indonesia

July 24, 2025
Wagub Aceh Temui Sekjen MUI Bahas Tanah Wakaf Blang Padang

Wagub Aceh Temui Sekjen MUI Bahas Tanah Wakaf Blang Padang

July 23, 2025

EDITOR'S PICK

Jelang Ramadhan, Wali Kota Banda Aceh Sidak Pasar Al-Mahirah

Jelang Ramadhan, Wali Kota Banda Aceh Sidak Pasar Al-Mahirah

February 17, 2025
Mahasiswa Internasional Ikut UNINET Summer Camp di USK

Mahasiswa Internasional Ikut UNINET Summer Camp di USK

September 23, 2024
Universitas Syiah Kuala Wisuda 2.576 Lulusan, Dua di Antaranya Asal Thailand

Universitas Syiah Kuala Wisuda 2.576 Lulusan, Dua di Antaranya Asal Thailand

November 20, 2024
World Cleanup Day di Aceh, Pj Gubernur Ikut Bersihkan Sampah Stadion Harapan Bangsa

World Cleanup Day di Aceh, Pj Gubernur Ikut Bersihkan Sampah Stadion Harapan Bangsa

September 22, 2024
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.