Oleh: Rahmat Fahlevi
Penulis buku Mencari Tuhan-Tuhan Peradaban.
Dahulu kala saat masa kejayaan dinasti-dinasti Islam mulai dari Umayyah, Abbasiyah, Andalusia hingga Utsmani para khalifah disanjung dan dido’akan dalam setiap kali ritual shalat Jum’at digelar.
Do’a yang dipanjatkan para ulama dan qadhi untuk umara/khalifah pada masa itu bukanlah demi kepentingan elektoral ataupun official oriented melainkan untuk kemaslahatan ummat dan permohonan kepada Allah swt agar pemimpinnya diberikan kekuatan dalam memikul amanah yang dijalankan, dan beginilah siklus pemerintahan berdasarkan asas nomokrasi bekerja.
Do’a yang dipanjatkan kaum muslimin bukanlah bertengger pada lip service, melainkan datang dari lubuk hati terdalam, tafakur dan adanya relasi yang bersifat resiprokal, semangat kewarganegaraan yang inheren dan junjungan atas standar moral yang tinggi.
Memang, sangatlah benar dan tidak diragukan lagi bahwa moral dan civic virtue masyarakat tergantung pada zaman.
Sekarang, dunia telah mengalami berbagai proses yang silih berganti mulai dari pemerintahan hingga preferensi sistem ekonomi untuk menata konstelasi kehidupan manusia yang berorientasikan kepada nilai yang luhur dan junjungan atas dignitas manusia yaitu hak asasi dan pengakuan atas kesetaraan hak dan akses.
Demokrasi menjamin hal itu semua, hak mengutarakan pendapat, berkumpul dan berserikat, kepastian hukum, punya hak dipilih dan memilih, transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, kebebasan yang semua hal prinsipil tersebut di penetrasikan ke dalam konvensi internasional maupun hukum positif di setiap negara yang bersifat universal dan dianut oleh setiap masyarakat modern sekarang yang mengakui supremasi hak asasi manusia.
Apa yang terjadi sekarang bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Proses tersebut terjadi selama ribuan tahun, nilai dan sistem yang baru hadir menggantikan tatanan yang lama oleh karena adanya proses pembusukan dan penjungkirbalikan sistem yang dulunya telah di anut dan di kodifikasi dengan baik serta punya afirmasi dari rakyat dalam menjalankannya.
Era kekaisaran telah redup, kekhalifahan Islam telah tumbang, dinasti-dinasti dan kerajaan-kerajaan pun runtuh karena adanya dorongan pergantian dan peralihan kekuasaan yang diinginkan oleh rakyat. Yang mana pada awalnya kedaulatan terbesar di tangan raja sebagai wakil Tuhan di bumi, kemudian premis tersebut patah oleh slogan-slogan revolusi yang menuntut bahwa kewenangan dan kedaulatan berada penuh di tangan rakyat “Putting the power back into the people hand”.
Revolusi dan semangat transisi kedaulatan dari tangan raja bukanlah tanpa sebab, hal itu datang karena adanya perilaku korup (kleptokrasi), genealogi kekuasaan berdasarkan keturunan (patrimonial), keabsolutan kekuasaan raja yang mengekang setiap kebebasan dan kemerdakaan manusia untuk merefleksikan dirinya yang asali.
Dinasti atau kekaisaran absolut dipandang sebagai penghambat (obstacle) kemajuan, nepotisme dikalangan kolega raja, tidak pernah mengalami rotasi kekuasaan yang pada asumsi tersebut dipercaya menghambat perputaran ide baru untuk di demonstrasikan.
Zaman telah berubah drastis, jika di era kekaisaran membunuh secara brutal tidak akan ada pengusutan dan penyidikan karena nyawa manusia tidak memiliki supremasi seperti sekarang. Hak asasi manusia merupakan core idea kehidupan zaman modern yang dimana setiap orang harus dijamin oleh negara akan keamanannya, hadir negara ialah untuk menjamin hak asasi setiap orang terlindungi.
Kita harus akui semua itu, kebebasan, menguatarakan pendapat, kritik, pengawasan aktivitas rezim, transparansi dan inklusivitas.
Semua yang terjadi di era modern adalah antitesis total dari era kekaisaran. Yang dimana pemerintahan yang tradisional-patrimonial digantikan oleh pemerintahan yang meritokrasi legal-formal.
Arus balik demokrasi
Proses demokratisasi terjadi dimana-mana, setiap negara, unifikasi regional, media, jurnalis, akademisi dan seluruh elemen masyarakat menyuarakan demokrasi dan kesetaraan akses maupun hak. Secara literal hal itu sangatlah lazim dan lumrah karena manusia menuntut akan kebebasannya dalam berbicara.
Sejenak kita melihat arus balik sekarang di beberapa negara di dunia dan tindakan manusia modern yang bahwa demokrasi itu menggiring manusia untuk melampaui bahkan berlebih-lebihan dalam hal apapun. Pemimpin mulai kehilangan martabatnya atas dasar keyword “kebebasan” yang diserang secara brutal dengan makian berlandaskan kebebasan berbicara. “Loh, kan kami memilih Pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat.
Suara rakyat, suara Tuhan (Vox populi vox dei) dan kemudian pemimpin yang dipilih tidak kapabel dalam menjalankan tugasnya dan kontra-produktif akibat dari bius populisme keberpihakannya kepada rakyat. Hal ini banyak terjadi di setiap belahan negara bahkan di negara yang demokrasinya mapan sekalipun pernah melahirkan pemimpin yang demagog seperti Trump dan hanya berdasarkan coattail effect seperti Warren harding.
Sedikit kita recolecting the past pada paragraf awal opini ini yang mana penulis menggambarkan bagaimana kecintaan rakyat terhadap pemimpinya yang bahkan ia do’akan rakyat agar pemimpin berhasil menjalankan amanahnya.
Bagaimana dengan sekarang? Mari sama-sama kita memaki pemimpin kita. Yaa, karena beginilah esensi demokrasi yang telah terlepas dari nomokrasi.
Kebebasan sekarang telah mengalami perluasan definisi terlalu jauh (neologisme). Bahkan kebebasan sekarang sudah seperti jarum jam, yang mana pada awalnya ia menggugat kekuasaan yang absolut, dan sekarang para penggugat mengarahkan kebebasan tersebut ke dalam dimensi kebebasan yang absolut pula. Hipokrit? Silahkan jawabannya disimpan dibenak masing-masing.
Fukuyama mengkhawatirkan keruntuhan demokrasi di banyak negara dalam pustakanya yang bertajuk “Identity: the demand for dignity and the politics of resenment”. Ia menggambarkan bagaimana para yang menurutnya “pembangkang” demokrasi seperti gerakan #Meetoo, gerakan fundamentalis, etnonasionalisme, Make American great again. Ia juga menyebutkan beberapa pemimpin dunia yang memfasilitasi gerakan itu seperti Victor orban PM Hungaria, Donald trump Presiden US, Vladimir putin Presiden Rusia, Shinzo abe PM Jepang dan beberapa pemimpin yang menyuarakan etnonasionalisme lainnya.
Beberapa dari kasus tersebut adalah sebuah kewajaran karena setiap bangsa dan negara di dunia datang dengan nilai dan budaya yang berbeda (devergensi) oleh karenanya memaksakan universalisme nilai dan standar (konvergensi) adalah sebuah tindakan yang totaliter dan pseudo.
Lambat laun orang-orang akan mencari jati dirinya yang asali dan jauh-jauh hari hal ini telah di utarakan oleh Samuel P. Huntingkan dalam The clash of civilization.