Oleh: Satia Zen, PhD
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Alumnus Fakultas Pendidikan dan Budaya, Universitas Tampere, Finlandia.
Pagi itu, salju tipis yang turun malam sebelumnya terlihat rapuh dan lembut meliputi jalan dan halaman. Langit kelabu menjadi latar dari bendera setengah tiang yang tergantung di depan Gedung apartemen kami.
Penaikan bendera setengah tiang dilakukan diseluruh Finlandia pada tanggal 10 November kemarin memperingati hari pemakaman Presiden ke-10, Martti Ahtisaari yang wafat pada tanggal 16 Oktober lalu.
Rangkaian upacara kenegaraan di Helsinki yang dimulai pada pagi hingga sore hari itu, dihadiri oleh kurang lebih 800 orang dari berbagai negara. Dari Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud datang ke Helsinki untuk menghadiri pemakaman tersebut. Selain itu, Presiden Kosovo, Vjosa Osmani dan Presiden Namibia, Hage Geingob serta Presiden Tanzania tahun 2005-2015, Jakaya Kikwete, juga ikut menghadiri. Mereka mewakili negara-negara dimana Martti Ahtisaari memainkan peran penting sebagai mediator perdamaian.
Perjalanan seorang guru menjadi mediator ulung
Tangan dingin Martti Ahtisaari dalam memediasi perdamaian mungkin juga merupakan refleksi dari perjalanan hidup beliau. Martti kecil mengalami langsung dampak dari konflik yang menyebabkan keluarganya harus berpindah-pindah dan memulai hidup di tempat yang baru. Martti lahir di Viipuri (atau Vyborg) pada tanggal 23 Juni 1937, sebuah daerah di perbatasan Finlandia dan Rusia saat ini, yang di aneksasi oleh Uni Sovyet setelah Perang Dunia ke-2 pada tahun 1940.
Masa kecil Martti Ahtisaari dihabiskan di Kuopio, sebuah kota di bagian timur Finlandia yang dekat dengan perbatasan Rusia. Kemudian ketika ia berusia 15 tahun, keluarganya pindah ke kota Oulu di bagian utara Finlandia. Disinilah dia mulai bergabung dengan klub basket di cabang lokal YMCA. Disinilah menurut sahabatnya merupakan awal dari ketrampilan Martti melakukan mediasi. Dalam salah satu wawancara, Martti mengakui bahwa meskipun ia bukan pemain basket yang bagus, dia selalu mampu memediasi konflik yang terjadi di ruang ganti pemain dengan baik.
Pada tahun 1959, beliau lulus dari Oulu Teacher Training Institute dan bekerja sebagai guru SD selama satu tahun di Oulu. Namun, ketertarikannya untuk melihat dunia luar membawanya ke Pakistan. Di negara inilah Martti muda bekerja sebagai pengajar untuk calon guru dan mengelola asrama mahasiswa di Physical Education College di Pakistan sebagai bagian dari Sweden Development Programme hingga 1963. Sekembalinya dari Pakistan, Martti melanjutkan studi di Helsinki dan terlibat dalam organisasi mahasiswa internasional. Dalam keterlibatan inilah beliau melebarkan pertemanan dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia termasuk benua Afrika, dimana beliau kemudian memulai awal karirnya sebagai diplomat.
Namun perpindahan di masa kecil dan remaja ini membekas dalam ingatan Martti Ahtisaari dan memberikan kesan mendalam yang mempengaruhi pandangan hidupnya. Martti sering menyebut dirinya sebagai ’internally displaced person’, seseorang yang harus mengungsi karena perang. Karena itulah, Martti memiliki pandangan yang jernih akan dampak konflik terhadap orang kebanyakan.
Beliau juga sangat peka terhadap kesenjangan dan diskriminasi yang banyak dialami oleh pengungsi. Martti percaya bahwa kesetaraan merupakan kunci untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera. Beliau juga berpandangan bahwa, selain dari kerja politik, perdamaian juga harus diwujudkan melalui kerja orang kebanyakan.
Dalam banyak pidato setelah proses mediasi selesai dan komitmen perdamaian dicapai, beliau selalu mengatakan bahwa saat ini kerja keras untuk mewujudkan perdamaian yang nyata dalam kehidupan sehari-hari justru dimulai. Dan semua pihak harus menyingsingkan lengan bajunya untuk bekerja mewujudkan hal itu tanpa kecuali, dimanapun mereka berada dan sekecil apapun usaha tersebut.
Kepergian sang guru bangsa
Dalam sebuah acara yang saya hadiri di universitas Jyväskylä sehari sebelum pemakaman, seorang profesor dari fakultas pendidikan menyebut Martti Ahtisaari sebagai seorang Guru Bangsa yang mengajarkan nilai-nilai perdamaian, kesetaraan dan hidup berdampingan dengan keragaman.
Nilai-nilai yang dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya, cerminan dari proses pendidikan dan karir Martti yang unik mulai dari guru, diplomat, presiden dan mediator ulung. Hadiah nobel yang diterima pada tahun 2008 merupakan pengakuan dunia akan usaha-usaha perdamaian yang telah dirintisnya sejak dulu dalam berbagai peran tersebut.
Pada saat ini, berita konflik yang memanas di berbagai belahan dunia terus kita dengar. Kepercayaan Martti Ahtisaari bahwa ‘peace is a question of will’, membuat saya tercenung. Kehendak akan perdamaian memang perlu terus menerus diserukan dan diwujudkan. Namun, apakah memang sesederhana itu?
Seolah-olah, saya mendengar sayup-sayup bisikan beliau ‘all conflicts can be resolved, every day’.
Pendekatan perdamaian melalui jalur informal, membangun komunikasi antar faksi, memberi ruang bagi semua pihak yang terdampak untuk menyuarakan kepentingan mereka adalah hal-hal mendasar agar kehendak akan perdamaian dapat ditumbuhkan dalam proses negosiasi. Namun hal-hal ini juga perlu menjadi bagian dari keseharian orang-orang kebanyakan yang hidup berdampingan dengan keragaman.
Saat ini, prinsip-prinsip resolusi konflik dan mediasi perdamaian Martti Ahtisaari dilanjutkan oleh Crisis Management Inititative (CMI). Sebuah organisasi yang terus berkomitmen melanjutkan upaya mewujudkan perdamaian hakiki di berbagai belahan dunia. Namun, perwujudan perdamaian bagi orang kebanyakan juga terus dilakukan. Di Finlandia, Ahtisaari Days yang mulai dilakukan pada tahun 2010 merupakan salah satu upaya tersebut.
Ahtisaari Days adalah kegiatan yang dikelola bersama oleh CMI dan Kementrian Luar Negeri Finlandia untuk menyediakan berbagai media dan sumber belajar mengenai resolusi konflik serta kesempatan untuk mempelajarinya di sekolah-sekolah. Pada hari tersebut, ahli dan praktisi resolusi konflik diundang ke sekolah untuk memberikan kuliah dan pelajaran mengenai resolusi konflik. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar resolusi konflik sebagai sebuah ketrampilan dasar bagi masyarakat sipil. Dan hal ini merupakan bagian dari usaha nyata dalam menumbuhkan dan memelihara kehendak akan perdamaian untuk generasi muda dalam kompleksitas perubahan dunia yang semakin cepat.
Saat ini di Aceh, sebuah daerah dimana konflik telah diselesaikan dan damai telah dicapai dengan mediasi Martti Ahtisaari, masih menyisakan pertanyaan. Apakah perdamaian telah mewujud dalam kehidupan orang kebanyakan? Apakah perdamaian telah mulai membawa kesetaraan dan kesejahteraan pada kehidupan orang banyak?
Jangan-jangan kehendak akan perdamaian telah terhenti ketika konflik berhenti. Jangan-jangan kehendak akan perdamaian tidak lagi menjadi bagian dari semangat pembangunan di Aceh. Jangan-jangan kehendak akan perdamaian telah redup seiring dengan besarnya kesenjangan. Wallahu a’lam bishawab.[]