Pada bulan September lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti konferensi wakaf yang diberi nama Global Waqf Conference (GWC) ke-12 yang berlangsung di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
GWC yang merupakan salah satu konferensi bergengsi bagi para pegiat dan pengkaji wakaf telah diadakan di beberapa negara seperti Malaysia, Turkiye, United Kingdom, Rusia, Thailand, dan Pakistan. Indonesia pada tahun ini kembali dipercayakan menjadi tuan rumah untuk kedua kalinya setelah sebelumnya pada tahun 2017, Pekanbaru mendapatkan kehormatan untuk itu.
Bagi saya pribadi, GWC ini memiliki tempat yang khusus di hati karena dua hal. Pertama, konferensi ini merupakan tempat para pegiat dan pengkaji wakaf bertemu setiap tahun untuk bertukar pikiran dan gagasan baru tentang bagaimana mengembangkan wakaf dan menjadikan sektor wakaf selalu relevan dengan berbagai perkembangan teknologi yang pesat dewasa ini. Kedua, salah seorang pengasas konferensi ini adalah almarhum Prof. Dr. Syed Khalid Rashid yang berasal dari India, pembimbing yang banyak berjasa selama saya menekuni studi wakaf selama ini.
Prof. SKR, demikian kami para murid-muridnya di Fakultas Hukum Ahmad Ibrahim, Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM) memanggilnya, merupakan seorang yang dianggap sebagai otoritas wakaf. Ia termasuk salah seorang yang pertama sekali melakukan studi tata kelola wakaf secara komprehensif ketika dia menyelesaikan studi S3 di Aligarh Muslim University, India tahun 1978.
Karya-karyanya baik berupa buku ataupun tulisan dalam berbagai jurnal menjadi rujukan bagi para pengkaji bidang studi wakaf. Untuk sektor wakaf Indonesia sendiri, jasa Prof. SKR ini sangatlah besar karena ia adalah orang pertama yang memperkenalkan kajian-kajian wakaf di Indonesia ke dunia luar. Hal ini dilakukannya ketika dia menyusun bibliografi wakaf di lima negara, Malaysia, India, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia untuk jangka waktu 30 tahun, yaitu 1977-2007.
Sebelumnya ada dua bibliografi wakaf yang masing-masing disusun oleh Miriam Hoexter (1998) dan Abdul Azim Islahi (2003). Sayangnya pada kedua bibliografi itu, tidak ada satupun kajian-kajian wakaf Indonesia yang masuk ke dalamnya.
Karya Prof. SKR yang berjudul ‘Bibliography and Review of Waqf Literature Produced in India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia & Indonesia during 1977-2007’ merupakan usaha yang pertama sekali memasukkan kajian-kajian wakaf di Indonesia dalam studi mereka. Alhamdulillah saya mendapat kehormatan dari Prof. SKR untuk berkontribusi pada literatur wakaf Indonesia ketika beliau mempercayakan saya mengerjakan bagian yang berhubungan dengan Indonesia.
Prof. SKR bahkan memberikan catatan yang positif mengenai studi wakaf di Indonesia, di mana dia mengatakan bahwa kajian-kajian wakaf di Indonesia memiliki pandangan yang progresif dalam membahas isu-isu seputar wakaf baik dalam tataran tata kelola dan pengembangan wakaf ataupun ketika membahas wakaf dalam konteks filantropi Islam secara keseluruhan.
Finterra & Waqf Chain
Selaku salah seorang pengasas GWC, Prof. SKR hampir setiap tahun menghadiri konferensi ini di mana pun ia berlangsung. Sejak tahun 2017, Prof. SKR semakin antusias mengikuti GWC karena kehadiran satu mitra strategis baru, Finterra, sebuah perusahaan tekfin yang memberikan fokus pada pengembangan wakaf. Pendiri Finterra ini tidak lain dan tidak bukan adalah anak sulungnya sendiri yang bernama Hamid Rashid.
Lahirnya Finterra sendiri merupakan solusi yang diberikan Hamid ketika Prof. SKR menanyakan kepada anaknya yang pakar IT itu apakah mungkin sektor wakaf dikembangkan dengan pendekatan berbasis teknologi untuk memecahkan kebuntuan pengembangan aset wakaf.
Sulitnya mengembangkan aset wakaf ini tentu tidak terlepas dari tiga masalah klasik yang dihadapi institusi wakaf dalam pengembangan asetnya yaitu aset wakaf tidak boleh dijual, aset wakaf tidak bisa dijadikan agunan untuk kepentingan pembiayaan dan terakhir adalah tidak profesionalnya nadzir dalam hal tata kelola dan manajemen aset wakaf.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana aset wakaf baik dalam bentuk tanah atau properti yang lain bisa mendapatkan modal untuk pengembangannya jika aset wakaf itu tidak bisa dijual, dipindah kepemilikan atau digunakan sebagai agunan serta rendahnya kapasitas nadzir yang mengelola aset wakaf itu?
Pada masa yang sama, di era disrupsi ini, kita melihat bahwa operator taksi terbesar di dunia tidak memiliki satupun armada taksi. Begitu juga halnya dengan operator hotel terbesar di dunia yang bahkan tidak memiliki satu kamar hotel sekalipun. Bisakah formula yang sama digunakan untuk sektor wakaf?
Tantangan inilah yang coba dijawab oleh Hamid melalui Finterra, sebuah perusahaan ‘Islamic Fintech’ yang kemudian berkembang dengan pesat dan memiliki kantor di Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, India dan Abu Dhabi. Untuk memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh institusi wakaf, Finterra menyediakan platform berbasis teknologi blockchain untuk digunakan dalam pengembangan aset wakaf.
Finterra, sudah berhasil mengembangkan platform yang diberi nama ‘Waqf Chain’ sebagai solusi untuk optimalisasi potensi sektor wakaf di seluruh dunia. Singkat kata, bisa dikatakan bahwa Finterra itu adalah sistem operasi dan Waqf Chain adalah program aplikasi yang dijalankan pada sistem operasi itu.
Finterra sudah mengidentifikasikan bahwa dalam pengembangan aset wakaf itu perlu kolaborasi enam pemangku kepentingan. Mereka adakah badan/nadzir wakaf, auditor, pengelola aset wakaf, developer (pengembang aset wakaf), manajer investasi, dan asuransi. Waqf Chain membawa kesemua pihak ini dalam satu platform untuk setiap proyek pengembangan aset wakaf.
Badan/nadzir wakaf bertugas memastikan bahwa utilisasi aset wakaf harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan tujuan aslinya. Pihak auditor pula harus memastikan adanya tata kelola yang baik dan diterapkannya sistem pengawasan internal. Pengelola aset wakaf yang ditunjuk oleh badan wakaf bertugas untuk mengelola keseluruhan aspek proyek pengembangan wakaf mulai dari sisi administrasi, keuangan, operasional dan pemeliharaan aset.
Bagi developer pula, mereka harus dapat memenuhi jadwal pekerjaan yang sudah ditentukan mengingat kebanyakan proyek pembangunan ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan dana yang dikeluarkan secara bertahap pula oleh manajer investasi. Manajer investasi ini bertanggung jawab untuk mensupervisi selesainya proyek di setiap tahapan dan mendistribusikan pekerjaan dan anggaran sesuai dengan tahapan pembangunan yang dicapai. Adapun pihak asuransi pula diperlukan untuk memberikan jaminan dan memberikan perlindungan dalam menghadapi hal-hal yang di luar jangkaan seperti bencana yang merusak atau mengganggu kelancaran pembangunan aset wakaf itu.
Formula yang ditawarkan oleh Fintera ini bisa jadi sebagai ‘game-changer’ untuk menyelesaikan masalah pengembangan aset wakaf selama ini. Formula yang oleh pendiri Finterra, Hamid Rashid disebut sebagai ‘Uberisasi Wakaf’ hadir untuk menjawab tantangan bagaimana merealisasikan besarnya potensi wakaf menjadi kenyataan.
Dana Wakaf Syed Khalid Rashid
Untuk GWC tahun ini, tentu Prof. SKR tidak dapat menghadirinya karena beliau telah berpulang ke rahmatullah pada bulan Desember 2023. Meninggalnya Prof. SKR merupakan kehilangan besar bagi dunia wakaf, dan tentu saja bagi keluarga dan murid-muridnya.
Melihat dedikasi Prof. SKR dalam bidang wakaf, keluarganya pun mengambil inisiatif untuk mengenang dan mengabadikan namanya dalam sebuah dana wakaf yang dibentuk pada Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM).
Hamid mengatakan bahwa keluarganya untuk tahap awal mendedikasikan uang sebesar RM50,000.00 (Lima puluh ribu ringgit) untuk menubuhkan Dana Wakaf Syed Khalid Rashid (DWSKR). Pihak keluarga akan memberikan tambahan untuk dana ini setiap tahun, jika usaha bisnisnya lancar dan mendapatkan keuntungan. Pada waktu yang sama, Hamid berharap, murid-murid ayahnya itu juga dapat memberikan kontribusi finansial untuk dana wakaf ini sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki, agar dana wakaf ini semakin bertambah dan membesar.
Penggunaan DWSKR ini, antara lain, akan diberikan kepada mahasiswa yang memerlukan bantuan finansial, atau untuk dana penelitian yang berkaitan dengan wakaf, hukum dan bidang-bidang kajian keislaman lainnya. Mengingat Prof. SKR adalah salah seorang pengasas GWC, maka Hamid dan keluarganya memutuskan untuk mengadakan peluncuran dana wakaf ini pada konferensi tersebut.
Hal inilah yang kemudian membuat Hamid meminta saya untuk bisa datang bersamanya ke GWC kali ini dan mendampinginya sewaktu acara peluncuran dana wakaf tersebut. Saya yang kebetulan termasuk di antara murid Prof. SKR yang mempunyai hubungan yang rapat dengan beliau dan keluarganya yang lain, segera mengamini permintaan Hamid tersebut.
Good News From Indonesia (GNFI)
Sewaktu kami sudah pasti akan berangkat ke Malang menghadiri konferensi GWC, di mana Hamid juga akan menjadi salah satu pembicara kunci dan saya juga akan melakukan presentasi dalam salah satu sesi, kami pun sepakat untuk berangkat bersama-sama dari Kuala Lumpur menuju Malang via Surabaya.
Kami memilih penerbangan ke Surabaya karena di kota terbesar kedua di Indonesia ini, saya ingin bertemu dengan seorang rekan baik saya yang sudah lama sekali tidak pernah bertemu secara langsung.
Saya juga ingin mempertemukan Hamid dengan rekan saya yang sekarang ini menjadi salah seorang influencer berpengaruh di negara kita. Saya yakin ada kolaborasi positif yang bisa mereka lakukan ke depan baik untuk memajukan sektor wakaf ataupun kolaborasi di bidang yang lain.
Saya telah mengenal anak muda yang bernama Akhyari Hananto ini sejak tahun 2006 pasca gempa bumi Yogyakarta, ketika dia dipercayakan oleh H. Fadlullah Wilmot, Country Director Muslim Aid Indonesia, menjadi Koordinator Muslim Aid Indonesia di Yogyakarta untuk memimpin kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh Muslim Aid Indonesia dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di sana.
Sejak saat itu, saya telah melihat potensi besar dan kemampuan yang dimiliki oleh anak muda energik ini. Tidak heran, dalam waktu singkat dia telah mampu membawa Muslim Aid Indonesia di Yogyakarta menjadi salah satu NGO yang banyak mendapatkan pendanaan dari berbagai pihak untuk implementasi berbagai program kemanusiaan dan pemberdayaan di sana.
Anak muda yang asli Yogyakarta ini memiliki dedikasi yang sangat tinggi dalam menjalankan tugasnya sehingga ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk ditugaskan oleh Muslim Aid Indonesia memimpin program kemanusiaan yang dijalankan oleh NGO yang memiliki kantor pusat di London itu ke berbagai daerah lain di Indonesia ataupun ke luar negeri.
Tahun 2007 ia bersama M. Karim Wirasaputra, ditugaskan oleh Muslim Aid Indonesia bekerjasama dengan Global Medic Canada untuk melakukan kerja-kerja tanggap darurat pasca gempa dan tsunami yang melanda Kepulauan Solomon.
Rute perjalanan yang ditempuhnya ketika itu adalah Yogyakarta – Jakarta – Singapura – Brisbane – Honiara (ibukota Kepulauan Solomon).
Interaksinya dengan banyak pihak mulai dari petugas di bandara Brisbane, anak muda warga Kepulauan Solomon seperti Jessie atau Michael, Bruce warga Australia yang sesama penumpang pesawat kecil ketika ia terbang dari Honiara ke Munda, sebuah daerah pedesaan terpencil di sana membuka matanya betapa terbatasnya informasi dan berita yang baik tentang Indonesia.
Pengalaman itulah yang membuatnya tergerak untuk melakukan sesuatu untuk negara yang sangat dicintainya itu. Mulailah ia menulis berbagai berita baik tentang Indonesia. Usahanya itu rupanya membuah hasil yang luar biasa. Good News From Indonesia (GNFI) yang mulanya menggunakan platform blog, kini sudah menjadi salah satu platform yang sangat berpengaruh dalam berbagi informasi baik dan positif tentang Indonesia.
GNFI terus berkembang pesat dan kini memiliki beberapa media dalam naungan mereka seperti seasia.co, Rekam Indonesia, Goodstats, dan GNFI Academy.
Keberhasilan yang diraih GNFI ini membuat Akhayari Hananto menjadi super sibuk. Ia sering diundang ke berbagai forum di seluruh tanah air untuk menjadi nara sumber utama, sehingga tidak heran ia sudah menjelajahi seluruh provinsi di negara kita.
Menyadari kesibukan lelaki yang mengawali karirnya sebagai bankir ini, saya jauh-jauh hari memberitahukan kepadanya rencana kami ke Malang dan meminta waktunya untuk kami menjumpainya di Surabaya.
Alhamdulillah lelaki yang juga dikenali sebagai Mr. GNFI ini mengabarkan bahwa waktu itu kebetulan ia ada di Kota Pahlawan. Lalu ia mengusulkan supaya kami berjumpa di salah satu outlet lokal yang sedang naik daun di negara kita.
Pada 23 September 2024, sewaktu kami mendarat di Bandara Juanda Surabaya, setelah selesai semua urusan dengan imigrasi dan mengambil barang bawaan, saya dan Hamid kemudian menggunakan jasa transportasi online untuk membawa kami ke lokasi outlet yang berada di Jalan Ahmad Yani.
Sebaik saja kami sampai di sana, Akhyari Hananto sudah pun menunggu kami di outlet yang memiliki desain interior yang khas dan sangat nyaman untuk dijadikan tempat bertemu itu.
Saya kemudian terus menyalami, Bang Ari, demikian saya memanggilnya sejak dulu. Saya kemudian memperkenalkan Hamid kepada Bang Ari yang kemudian terus menyalami Hamid dengan hangatnya.
Setelah memesan minuman dan sedikit makanan, kami terus larut dalam bertukar cerita tentang kegiatan kami selama ini, tentang keluarga, tentang kawan-kawan dan tidak ketinggalan tentang tujuan kedatangan kami ke Malang.
Saya sangat bangga ketika Bang Ari bercerita tentang perkembangan GNFI yang selama ini saya ikuti dari jauh. GNFI, kata Bang Ari, kini memiliki 98 staf. Tentu ini sebuah prestasi tersendiri karena saya tahu betul ia memulai GNFI ini seorang diri, pasca kepulangannya dari Kepulauan Solomon.
Setelah selesai Bang Ari bercerita tentang GNFI, lalu Hamid pun bercerita tentang bagaimana ia mendirikan Finterra dan beberapa proyek yang telah mereka lakukan baik di Malaysia, Kenya dan Oman.
Sesekali saya juga ikut bercerita karena mengetahui bagaimana kerja keras yang mereka berdua lakukan untuk masing-masing mengembangkan GNFI dan Finterra. Ke depan GNFI dan Finterra tentu punya banyak kesempatan untuk bekerjasama terutama dalam mengembangkan berbagai proyek wakaf yang menjadi kepakaran Finterra.
Mendengar kisah kedua sahabat ini, saya pun terinspirasi untuk dapat mengikuti jejak gemilang mereka berdua, tentunya dalam bidang wakaf yang ingin saya kembangkan baik di Aceh ataupun di daerah lain di negara kita, jika ada peluang untuk itu kelak. Tentu saja saya meminta kedua sahabat ini juga mau melakukan berkolaborasi.
Tak terasa, sudah dua jam lebih kami saling bertukar cerita. Waktu untuk saya dan Hamid meneruskan perjalanan ke kota Malang sudah sampai. Bang Ari sendiri pun harus bergegas ke tempat lain untuk pertemuan yang lain lagi.
Sebelum berpisah, kami kemudian mengabadikan pertemuan itu dengan foto bersama. Tidak lupa pula saya menghadiahkan buku saya yang berjudul ‘Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia’ kepada Bang Ari. Saya katakan kepadanya ia menjadi salah seorang yang mendapatkan kehormatan paling awal mendapatkan buku yang baru saja diterbitkan oleh Bandar Publishing, penerbit papan atas di Banda Aceh.
Kami kemudian berjanji untuk dapat berjumpa kembali di masa yang akan datang ketika saya dan Hamid kembali ke sana, tepatnya ke beberapa kota di Pulau Jawa, dalam rangka menjajaki peluang untuk berkolaborasi dalam proyek pengembangan wakaf.[]