SAGOETV | BANDA ACEH – Aceh dikenal sebagai daerah dengan tradisi keislaman yang kuat, di mana ulama memiliki peran penting dalam membentuk budaya dan kepemimpinan masyarakat. Sejarah mencatat bahwa para ulama tidak hanya menjadi pendakwah dan pendidik, tetapi juga pemimpin perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Demikian salah satu cuplikan diskusi bersama Dr. Tgk. H. Nurkhalis Mukhtar, Lc, MA, yang dipandu oleh Dr. Mukhlisuddin Ilyas, Host Podcast SAGOETV, Jumat, 7 Februari 2025, dengan mengangkat tema tentang Ulama Aceh: Tradisi Turun Temurun, Belajar di Negara Asing Hingga Jadi Pemimpin Perang.
Dr Tgk H Nurkhalis menyebutkan, sejak era Syekh Abdurrauf As-Singkili pada abad ke-17, ulama Aceh telah berkelana ke Timur Tengah untuk menimba ilmu. Syekh Abdurrauf, misalnya, menghabiskan 19 tahun belajar di Makkah dan Madinah di bawah bimbingan Syekh Mulla Ibrahim Al-Kurani, salah satu ulama besar dunia Islam. “Kitab tafsirnya, Tarjuman al-Mustafid, menjadi salah satu karya monumental yang bahkan dicetak di Makkah dan Mesir,” ujar Tgk Nurkhalis yang juga Akademisi STAI Al-Washliyah Banda Aceh.
Selain Syekh Abdurra’uf, kata Tgk Nurkhalis, banyak ulama Aceh lainnya yang juga menuntut ilmu ke luar negeri, seperti Syekh Muhammad Saman bin Abdullah (Tengku Chik Ditiro), Syekh Ismail bin Ya’qub, dan Syekh Muhammad Pantai Kulu. Tengku Chik Ditiro, misalnya, sempat belajar di Timur Tengah sebelum kembali ke Aceh untuk memimpin perlawanan melawan Belanda.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, jelas penulis buku 55 Ulama Kharismatik ini mengungkapkan bahwa ulama Aceh juga mengambil peran sebagai pemimpin militer dan strategis. Beberapa tokoh seperti Tuanku Raja Kemala, Abu Krueng Kalee, dan Abu Daud dikenal sebagai ulama pejuang yang tidak hanya berdakwah, tetapi juga memimpin pasukan dalam menghadapi penjajah.
Akan tetapi, lanjut dia, memasuki abad ke-20, muncul nama-nama ulama besar seperti Tengku Hasan Krueng Kalee dan Abu Idris Tanjongan yang berkontribusi dalam pengembangan pendidikan Islam di Aceh. Tengku Hasan, yang pernah menimba ilmu di Malaysia, dikenal sebagai ulama berpengaruh pada zamannya. Sementara itu, Abu Idris Tanjongan menghabiskan 11 tahun di Arab dan melahirkan murid-murid hebat, seperti Prof. Dr. Tengku Hasbi Sidqi dan Abu Bakar Cotkuta.
Ia menjelaskan bahwa sistem pendidikan dayah di Aceh juga diwariskan secara turun-temurun, seperti yang terlihat di Dayah Mudi Mesra Samalanga. Dayah ini awalnya dipimpin oleh Syihabuddin Idris, kemudian diteruskan oleh menantunya, “Tengku Hanafiah Abbas, hingga akhirnya berada di bawah kepemimpinan Abu Mudi. Tradisi ini menunjukkan kesinambungan keilmuan Islam di Aceh yang tetap bertahan hingga kini,” paparnya dalam diskusi selama 30 menit tersebut.
Namun, kata dia lagi, dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran dalam pola pendidikan ulama. Jika sebelumnya para ulama Aceh lebih banyak menimba ilmu di Timur Tengah, kini mereka lebih memilih untuk belajar di dalam negeri. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat jaringan keilmuan internasional memiliki peran penting dalam membentuk intelektualitas dan wawasan ulama Aceh di masa lalu.
Sejarah mencatat bahwa para ulama bukan hanya penjaga nilai-nilai agama, tetapi juga pembangun peradaban. Dengan semangat keilmuan yang diwariskan dari generasi ke generasi, diharapkan Aceh tetap menjadi pusat keilmuan Islam yang berwibawa di Nusantara. [CEM]
Lebih lanjut simak video di link berikut ini: