Oleh: Tgk. Faisal Kuba, S.Pd.I
Akademisi STISNU Aceh dan Sekjend PB RTA Aceh
“Ketika diminta menjual seekor kambing secara diam-diam dengan dalih dapat berbohong kepada majikannya, sang anak menjawab, “Jika aku berbohong kepada majikanku, lalu di mana Allah?” Jawaban sederhana ini menyentak Umar dan menjadi bukti kuat bahwa iman yang tertanam sejak dini akan melahirkan kesadaran moral yang otentik”
Di era modern, pengawasan manusia telah mencapai tingkat presisi yang mengesankan. Kamera pengintai atau Closed-Circuit Television (CCTV) terpasang hampir di setiap sudut ruang publik: perkantoran, pusat perbelanjaan, lampu merah, hingga institusi pendidikan. Keberadaannya kerap dianggap sebagai alat efektif dalam mencegah pelanggaran hukum serta memastikan transparansi. Namun, fenomena yang lebih menarik muncul ketika kesadaran akan pengawasan ini dikaitkan dengan konsep teologis ihsan dan muraqabah dalam Islam.
Di kalangan generasi muda, muncul analogi bahwa pegawasan Allah merupakan CCTV Ilahi yang tidak pernah berhenti mengawasi makhluk-Nya, baik dalam keramaian maupun kesunyian. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak individu lebih takut kepada pengawasan kamera ketimbang pengawasan Tuhan. Sebagai contoh, seorang pengendara patuh pada rambu lalu lintas saat ada kamera, tetapi dengan santai melanggar ketika tidak ada pemantauan. Fenomena ini mirip dengan slogan iklan rokok yang sinis, taat cuma kalau ada yang lihat.
Konsep ini menggambarkan adanya celah besar dalam kesadaran moral masyarakat. Jika kamera mampu mengontrol perilaku manusia di ruang publik, seharusnya kesadaran akan pengawasan Allah dapat menata akhlak dan moral individu dari akar yang paling mendalam. Dalam Islam, konsep muraqabah menekankan bahwa seorang mukmin harus senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” (HR. Muslim).
Ketimpangan antara kesadaran akan pengawasan manusia dan pengawasan ilahi bukanlah fenomena baru. Sejarah mencatat bahwa kejujuran sejati hanya dapat lahir dari iman yang kokoh, bukan dari ancaman hukuman semata. Kisah Khalifah Umar bin Khattab yang menguji seorang anak penggembala di padang pasir adalah contoh nyata. Ketika diminta menjual seekor kambing secara diam-diam dengan dalih dapat berbohong kepada majikannya, sang anak menjawab, “Jika aku berbohong kepada majikanku, lalu di mana Allah?” Jawaban sederhana ini menyentak Umar dan menjadi bukti kuat bahwa iman yang tertanam sejak dini akan melahirkan kesadaran moral yang otentik.
Dalam konteks kekinian, pendekatan serupa perlu ditanamkan dalam sistem pendidikan dan dunia kerja. Konsep muraqabah seharusnya diajarkan sejak dini, bukan sekadar dalam kurikulum agama, tetapi sebagai filosofi kehidupan. Anak-anak dan siswa harus memahami bahwa berperilaku baik bukan hanya karena takut dihukum atau diawasi manusia, tetapi karena ada dimensi spiritual yang lebih tinggi.
Di ranah birokrasi dan pemerintahan, kesadaran ini juga menjadi krusial. Korupsi, nepotisme, dan berbagai penyimpangan administratif kerap terjadi karena lemahnya kontrol internal serta absennya kesadaran spiritual dalam bekerja. Jika setiap individu dalam pemerintahan menerapkan prinsip ihsan, mereka akan bekerja dengan integritas bukan karena takut tertangkap audit trail, tetapi karena memahami bahwa Allah Maha Mengetahui segala hal yang mereka lakukan.
Di sinilah letak urgensi membangun budaya spiritual yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan pengawasan Allah sebagai prinsip hidup akan melahirkan individu yang bertanggung jawab, jujur, dan bermoral tanpa perlu takut kepada CCTV atau aparat hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran moral suatu bangsa tidak selalu disebabkan oleh kurangnya teknologi pengawasan, melainkan oleh rapuhnya fondasi iman dan etika dalam diri individu.
Jika umat manusia lebih takut pada rekaman digital ketimbang pengawasan ilahi, maka ada yang keliru dalam sistem pendidikan, pola asuh, serta budaya sosial kita. Mengembalikan kesadaran akan keberadaan Allah dalam setiap aspek kehidupan bukan hanya perkara religius, tetapi juga kunci bagi terbentuknya masyarakat yang adil, bermartabat, dan berintegritas. CCTV hanya mampu merekam apa yang tampak, tetapi Allah menyaksikan hingga ke kedalaman niat manusia.
Kesadaran inilah yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam menata moralitas individu di era digital. Sebab tanpa itu, manusia akan terus berputar dalam siklus kepatuhan semu—taat ketika diawasi, tetapi bebas melanggar saat merasa aman dari pantauan. Sementara, moral sejati hanya lahir dari ketundukan kepada Allah yang Maha Melihat, tanpa perlu dipaksa atau ditakut-takuti oleh kamera buatan manusia. []