Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Setelah kita kupas kisah awal perkenalan Isaiah Berlin dengan Hamann dan Herder, dalam esai ini disajikan bagaimana pandangan Berlin terhadap Giambattista Vico.
Ketika mengkritik Era Pencerahan, selalu menstudi Hamann dan Herder, Berlin juga melakukan studi yang amat mendalam terhadap Vico dalam beberapa karyanya. Bagi saya, nama Vico hanya saya tahu melalui karya Berlin semata. Namun, ketika menyandingkan Vico dengan Herder dan Hamann, tampaknya Berlin telah mengupayakan untuk menjelaskan Era Pencerahan melalui studi terhadap 3 filsuf ini. Adapun esai ini mencoba menelaah apa saja yang dipahami oleh Berlin terhadap berbagai konsep pemikiran yang dihasilkan oleh Vico. Secara garis besar, tema penting penjelasan Berlin tentang Vico mencakup tentang teori pengetahuan, Era Pencerahan yang ideal, dan budaya sejarah.
Giambattista Vico (23 Juni 1668- 23 Januari 1744) merupakan filsuf Neapolitan abad ke-18 M. Pertama kali Berlin menceburkan diri terhadap studi Vico dimulai pada tahun 1930-an, manakala R.G. Collingwood menjadi dosen Berlin di Oxford. Dalam hal ini, pengaruh Collingwood terhadap Berlin tidak dapat dikesampingkan. Sangat boleh jadi, pengaruh tersebut melalui arahan Collingwood pada Berlin untuk mempelajari karya Vico. Kajian sejarah ide-ide yang menjadi ciri khas pemikiran Berlin adalah berkat giringan dari Collingwood. Di Oxford, Collingwood adalah satu-satunya sarjana yang menggunakan pendekatan sejarah dalam persoalan kefilsafatan.
Adapun karya yang diminta oleh Collingwood untuk dibaca oleh Berlin adalah The Philosophy of Giambattista Vico yang ditulis oleh Benedetto Croce. Karya ini merupakan hasil terjemahan oleh Collingwood. Karya Vico yang dibaca oleh Berlin adalah Scienza nuova yang diterjemahkan oleh T.G. Bergin dan M.H. Fisch pada tahun 1948 dan Autobiography yang juga diterjemahkan oleh kedua sarjana Amerika tersebut. Karya terakhir ini menjadi pegangan Berlin untuk menggambarkan isolasi perjalanan intelektual Vico. Setelah membaca Scienza nuova, Berlin menulis kesannya sebagai berikut:
This opened my eyes to something new. Vico seemed to be concerned with the succession of human cultures – every society had, for him, its own vision of reality, of the world in which it lived, and of itself and of its relations to its own past, to nature, to what it strove for. This vision of a society is conveyed by everything that its member do and think and feel – expressed and embodied in the kinds of words, the forms of language that they use, the images, the metaphors, the forms of worship, the institution that they generate, which embody and convey their image of reality and of their place in it; by which they live. These visions differ with successive social whole – each has its own gifts, values, modes of creation, incomensurable with one another: each must be understood it its own terms – understood, not necessarily evaluated.
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Vico menjelaskan rangkaian budaya manusia. Di sini dipahami bahwa setiap masyarakat memiliki ciri khas tentang visi yang dijalankan di dalamnya. Visi inilah yang menggerakkan masyarakat dalam semua aspek kehidupan mereka. Dari visi ini kemudian memiliki ciri khas dari nilai dan aspek perbuatan masyarakat di dalam bahasa sendiri. Karena itu, semua aspek yang ditemukan dalam visi tersebut harus dipahami sebagaimana dipahami oleh masyarakat tersebut, tanpa harus dievaluasi. Dalam bahasa lain, Berlin tampaknya mengambil pikiran Vico untuk menetapkan bahwa setiap masyarakat memiliki visi atas realitas masing-masing yang harus dimengerti menurut cara masyarakat tersebut.
Ketika mengupas tentang pandangan Berlin mengenail kefilsafatan, dia menulis tentang Vico sebagai berikut: “I was also deeply impressed by the work of the Italian philosopher G.B. Vico, who, in my view, was the first thinker to understand what a culture is, what the relationship are between moral, religious, linguistic, artistic etc.values which compose a culture, in particular the importance of custom, language, law in understanding cultures.” Dalam tulisannya “The Counter-Enlightenment”, Berlin menuturkan bahwa menurut Vico, “Our lives and activities collectively and individually are expressions of our attempts to survive, satisfy our desires, understand each other and the past out of which we emerge.”
Di sini, secara singkat dapat dipahami tentang kepentingan suatu kebudayaan dalam masyarakat, untuk mengatakan tidak menyepelekannya. Dari Vico didapati pandangan bahwa ada nilai-nilai yang terbenam dalam suatu produksi kebudayaan masyarakat. Karena itu, budaya perlu dihormati dan tidak mesti diseragamkan dengan budaya yang menjadi alat kekuasaan. Era Pencerahan, tampaknya ingin menimbang semua kebudayaan dalam satu pintu pemahaman semata. Modernisasi ingin mengatakan bahwa satu budaya dengan budaya yang lain ada satu karakteristik yang mana dikatakan ‘maju’ atau ‘sebaliknya.’ Di sini, pandangan Vico menjadi semacam alat perlawanan terhadap dominasi budaya tertentu yang menghegomoni budaya lain.
Karena itu, perlu ada proses pemahaman antara satu sama lain dalam kebudayaan. Sebenarnya, pandangan Vico juga dikupas oleh Berlin dalam produksi ilmu pengetahuan. Dia memang mempelajari Descarte dan Grotius. Semua metode kefilsafatan mereka dipahami oleh Vico, tetapi setelah itu dia “menghantam” pemikiran tersebut. Berlin menulis tentang keberanian Vico ini sebagai berikut: “He began by accepting its method, but then rebelled against it, indeed, he was the most original figure in what may be called the Counter-Reformation in the history of early modern philosophy.” Inilah bentuk perlawanan Vico yang kemudian mengantarkannya sebagai seorang filsuf terkemuka di dalam menghadang Era Pencerahan. Berlin, pada prinsipnya, berusaha membuka selimut pemikiran Vico kepada publik dalam Three Critics of the Enlightenment.[]