SAGOETV | ACEH BESAR – Benteng Gunung Biram, yang terletak di Kemukiman Lamtamot, Kecamatan Lembah Seulawah, Aceh Besar, merupakan salah satu situs bersejarah yang memiliki peran penting dalam perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. Selain berfungsi sebagai benteng pertahanan, tempat ini juga pernah dijadikan pusat pendidikan serta persinggahan bagi jamaah haji yang melintasi jalur Pidie dan Aceh Utara menuju Aceh Besar.
Sejarah panjang Benteng Gunung Biram menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan perjuangan Aceh. Salah satu tokoh yang turut mengulas sejarah benteng ini adalah Cucu Tanoh Abee, T. Abulis Samarkhan, yang menyoroti asal-usul penamaan Lembah Seulawah dan peran penting benteng dalam sejarah Aceh, sebagaimana ditayangkan dalam Podcast Sagoetv, Senin (24/3/2025)
Nama Gunung Biram diyakini berasal dari kata Biram Satani, yang merujuk pada seekor gajah yang pernah dikendarai oleh Sultan Sayid Mukamil, salah satu penguasa Kesultanan Aceh pada masa lampau. Setelah wafatnya sang sultan, gajah tersebut menghilang. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika beliau kembali dari pertempuran melawan Portugis di Semenanjung Melayu, gajah tersebut ditemukan kembali di sebuah benteng di atas bukit yang kemudian dikenal sebagai Gunung Biram.
Pada masa Perang Sabil, Benteng Gunung Biram menjadi saksi penobatan Tengku Syik di Tiro sebagai panglima tertinggi perjuangan Aceh. Benteng ini juga menjadi benteng pertahanan terakhir bagi para mujahidin dalam menghadapi serangan pasukan kolonial Belanda. Selain itu, tempat ini difungsikan sebagai pusat strategi perjuangan, tempat berkumpulnya para ulama, raja, dan uleebalang Aceh dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan.
Di kawasan benteng ini terdapat Masjid Tuha Gunung Biram, yang pada masanya menjadi pusat pendidikan Islam serta tempat persinggahan bagi jamaah haji. Tak jauh dari lokasi masjid, terdapat makam seorang ulama besar yang dikenal sebagai Tengku Syik di Biram atau Abu Ikue Gunung Biram, yang memiliki nama asli Syekh Musa Al-Kautsar. Berdasarkan cerita masyarakat, ulama ini diyakini berasal dari Timur Tengah atau Turki, meskipun asal-usulnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Nama Lembah Seulawah dipercaya berasal dari kebiasaan para musafir yang melintasi daerah ini. Para pelintas dari Pidie dan Aceh Utara yang menuju Aceh Besar sering melantunkan selawat dan zikir, terutama saat melakukan perjalanan pada malam hari. Suara selawat yang menggema di lembah ini kemudian menginspirasi masyarakat setempat untuk menamai daerah tersebut dengan sebutan Lembah Selawat, yang lama-kelamaan berubah menjadi Lembah Seulawah.
Saat ini, kondisi Benteng Gunung Biram semakin memprihatinkan akibat minimnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Jika tidak segera dilakukan upaya pemugaran dan konservasi, situs sejarah ini berisiko hilang akibat faktor alam dan waktu. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten, untuk melestarikan salah satu peninggalan berharga dalam sejarah perjuangan Aceh ini.
Pelestarian Benteng Gunung Biram tidak hanya bertujuan menjaga warisan sejarah, tetapi juga berpotensi menjadi destinasi wisata edukatif yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perjuangan bangsa. Dengan perhatian yang lebih serius dan upaya pemugaran yang tepat, diharapkan Benteng Gunung Biram dapat terus menjadi saksi bisu kegigihan rakyat Aceh dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan. []