Oleh: Muhajirul Fadhli
Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh 2025
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Musim haji tahun 2025 M/ 1446 H ini menjadi pengalaman yang bersejarah bagi kami, bukan hanya karena mendapat amanah sebagai Petugas Haji Daerah (PHD), tetapi karena saya menyaksikan langsung bagaimana nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan hidup begitu hangat di antara para jemaah haji Aceh. Daerah yang terkenal dengan kekompakan warganya ini, ketika berpindah dari Tanah Air ke Tanah Suci, membawa serta karakter khas itu dan menjelmanya dalam bentuk solidaritas yang patut diteladani.
Sejak pertama tiba di Mekkah 26 Mei yang lalu, suasana hotel penginapan kami di kawasan Misfalah-Mekkah sudah dipenuhi dengan semangat saling melayani. Di setiap lantai, tampak para jemaah saling berbagi, mulai dari lauk khas Nanggroe seperti keumamah, rendang, hingga sambal kareng kacang yang menambah selera makan. Jemaah muda pun tak segan membantu para lansia yang tidak memiliki pendamping. Setiap kamar menjadi tempat berbagi cerita, tawa, dan rezeki. Tak ada yang makan sendiri; semua merasa bahwa apa yang mereka miliki adalah milik bersama.
Yang paling menyentuh adalah semangat tolong-menolong terhadap jemaah lanjut usia. Di Kloter 8 tempat saya bertugas, sekitar 60% dari 392 jemaah merupakan lansia, termasuk jemaah tertua berusia 95 tahun dari Padang Tiji. Jemaah muda seakan berlomba-lomba membantu dan melayani mereka seperti melayani orang tua sendiri. “Nyo takalon Abu dan Ummi di sinô, sang-sang teuingat u gampông teuh,” ujar seorang jemaah muda sambil mendorong kursi roda dengan penuh kasih sayang. Ketika ada seorang jemaah dari Kembang Tanjong wafat beberapa hari lalu, suasana duka terasa begitu kolektif, para petugas bersigap mendampingi mulai dari proses memandikan jenazah di tempat tahjiz khusus jenazah, kemudian mengantarkannya dishalatkan di Masjidil Haram sampai dimakamkan di tempat pemakaman Sharaya- Mekkah. Kami semua ikut melaksanakan doa bersama dan shamadiyah usai shalat Magrib berjamaah di hotel. Tak hanya itu bila ada keluarga yang meninggal dunia di Aceh kami juga melaksanakan shalat ghaib berjamaah, sebuah pelukan spiritual untuk mereka yang berduka dari keluarga besarnya di Tanah Suci.
Kebersamaan ini makin kuat dengan adanya peran para petugas haji yang mendampingi kloter sejumlah tujuh orang yang saling bersinergi menjaga kekompakan Jemaah kloter. Ketua Kloter dengan bijaksana menjadi komando utama dalam setiap agenda besar. Pembimbing ibadah selalu hadir dengan bimbingan yang menyejukkan hati. Tenaga kesehatan tanpa mengenal lelah selalu siap siaga melayani Jemaah yang membutuhkan penanganan medis. Lebih dari itu, peran Ketua Rombongan (Karom) dan Ketua Regu (Karu) yang membawahi kelompok 40 dan 10 orang menjadi jantung solidaritas. Mereka tidak hanya mengorganisasi teknis, tapi menjadi sahabat, pengingat, dan penyejuk suasana. Dari mendistribusikan makanan tiga kali sehari, hingga menjadi pelipur lara ketika jemaah merasa rindu rumah, mereka hadir penuh cinta. Struktur ini bukan hanya sistem manajemen, melainkan sistem kasih sayang yang bekerja nyata.
Silaturrahmi juga mengalir di lorong-lorong dan lobi hotel. Saat sore hari, kamar-kamar jemaah berubah menjadi ruang berbagi cerita. Lansia yang lebih sering di kamar merasa tersentuh oleh kunjungan-kunjungan itu yang membawakan kabar baik dan senyum hangat.
Ketika menghadapi waktu-waktu padat seperti menuju Masjidil Haram, kekompakan makin terasa. Jemaah saling menggandeng agar tak terpisah, mereka yang kuat rela mengalah demi yang lemah. Di dalam bus shalawat menuju terminal Ajyad yang tidak jauh dari Masjidil Haram, selalu ada yang berdiri untuk memberi tempat duduk kepada yang lanjut usia. Hampir tidak ada yang berjalan sendiri; semuanya saling menjaga, saling menyemangati.
Semua ini adalah potret bahwa ibadah haji bukan hanya ritual spiritual, tapi juga ibadah sosial dalam bingkai ukhuwah Islamiyah yang nyata. Di Tanah Suci, sekat usia, profesi, atau latar belakang menghilang. Yang ada hanyalah hati-hati yang bersatu karena Allah, tangan-tangan yang saling menggenggam menuju rida-Nya.
Sebagai petugas, saya tidak merasa sekadar melayani, melainkan menjadi bagian dari keluarga besar yang saling menguatkan. Setiap jemaah adalah bagian dari mozaik cinta yang disatukan oleh panggilan ilahi. Di Mekkah ini, kami bukan hanya jemaah, kami adalah satu tubuh, satu doa, satu cinta, semua untuk satu tujuan yaitu meraih haji yang mabrur.