Oleh: Dr.iur. Chairul Fahmi, M.A
Alumnus Institute of International and European Law, University of Gottingen, dan Ketua Prodi HES Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: chairul.fahmi@ar-raniry.ac.id
Puluhan anak-anak muslim Rohigya yang terdampar di Pantai Ujong Pie Laweung Pidie, terlihat tak berdaya, terbaring lemas bersama dengan para orang tuanya. Mereka telah berbulan-bulan terombang ambing dilautan lepas, tanpa makanan dan minumum. Anak kecil yang tak berdosa itu, harus menjalani kehidupan yang kejam karena mereka lahir dari bangsa Rohigya muslim di wilayah Rakhine, Burma.
Akar Konflik di Rakhine
Bangsa Rohigya menjadi umat Islam yang paling lama terjajah dan menderita di Asia Tenggara. Penderitaan Muslim Rohigya sebenarnya telah terjadi sejak dibentuknya negara Burma setelah Inggris meninggalkan kawasan tersebut paska perang dunia kedua. Awalnya penjajah Inggris menjanjikan akan mengakui kemerdekaan bangsa Rohigya di wilayah Rakhine. Namun inggris mengingkari janjinya. Sehingga kawasan tersebut dianeksasi oleh negara Burma.
Akibatnya, mayoritas Budha telah menjadi moster pembunuh terhadap minoritas muslim Rohigya. Pada tahun 1970, bangsa Rohigya melakukan perlawanan perang gerilya (Harakah al-Yakin/Arakan Rohigya Salvation Army). Namun karena tidak cukup alat perang, dan operasi militer Nyanmar dikawasan tersebut secara massif, telah menyebabkan pembantaian terhadap muslim Rohigya, yang menyebabkan warga Rohingya harus meninggalkan negerinya. Mereka harus mencari perlindungan keluar dari wilayah Rakhine. Pada 2017, militer Burma melakukan pembersihan etnis Rohigya, membunuh para laki-laki, dan memperkosa yang perempuan, serta membakar seluruh perkampungan orang-orang Rohigya.
Laporan UN menyebutkan bahwa lebih dari satu juta pengunsi Rohigya kini tinggal wilayah Bangladesh. Mereka hidup ditenda-tenda yang kumuh, sanitasi yang buruk, tidak ada pendidikan, dan rentan dengan segala jenis penyakit serta ancaman perdagangan manusia.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh ASEAN Parliamentarian for Human Rights (APHR), lebih dari 43.000 Muslim Rohigya dibantai sejak operasi militer Burma yang dimulai tahun 2017, 18,000 Muslimah Rohigya diperkoras, dan laporan BBC pada tahun 2019, seluruh perkampungan Rohigya telah dibumi hanguskan.
Stateless Person
Muslim Rohigya tidak saja dibantai, namun juga tidak diakui sebagai warga negaranya. Meskipun Rohingya telah hidup diwilayah Rakhine sebelum kemerdekaan Burma dari penjajah Inggris. Namun, mereka tidak diakui sebagai warganya, dan kini Muslim Rohingya menjadi orang-orang yang tidak berwarga negara (stateless person).
PBB sebenarnya telah mensahkan konvensi tentang stateless person pada tahun 1954. Konvensi ini meminta agar orang-orang yang tidak diakui sebagai warga negara tertentu, tetap harus mendapatkan haknya sebagai manusia. Hak yang paling asasi, seperti hak untuk hidup. Selain itu, mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan rumah, termasuk hak identitas (ID), dokumen perjalanan dan bantuan administrasi lainnya.
Sama seperti orang-orang Aceh yang dulu lari dari konflik/peperangan. Muslim Rohigya juga sedang mencari negara ketiga (asylum seeker), agar mereka dapat hidup, agar dapat menyelamatkan aqidahnya, dan generasinya.
Pada tahun 1951, PBB juga telah mensahkan Konvensi tentang Pengungsi, dan dilanjutkan dengan pengesahan Protocol yang terkait dengan status pengungsi pada tahun 1967. Pasal 1 huruf A(2) menyebutkan bahwa „pengungsi adalah setiap orang yang telah berada diluar dari negara atau tempat tinggal dan tidak mampu atau tidak berkeinginan untuk kembali karena ketakutan akan dibunuh akibat adanya perbedaan ras, agama, nasionalitas, pandangan politik atau anggota kelompok sosial tertentu..“ maka sesuai dengan prinsip „non-refoulement“, sebagai prinsip dasar dari Konvensi tentang pengungsi, maka para pengungsi tersebut dilarang atau tidak dibolehkan untuk dipaksa agar mereka kembali kepada negera dimana mereka telah melarikan diri akibat ancaman pembunuhan dan atau didiskriminasi atau ancaman lainnya yang terkait dengan hak asasi mereka.
Meskipun Indonesia secara formal tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Stateless person, bukan berarti Indonesia harus menolak kedatangan warga Muslim Rohingya tersebut ke wilayah territorial Indonesia. Karena Konvensi ini tidak mengaharuskan negara ketiga untuk memberikan warga-negaranya terhadap para stateless person ini, hanya saja meminta agar para stateless person atau asylum seeker ini difasilitasi, agar ada proses integrasi atau naturalisasi dan memberikan hak-hak yang mendasar atas dasar kemanusian.
ASEAN Impoten
Meskipun Indonesia sebagai pemimpin perkumpulan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), namun gagal mendorong agar negara-negara ASEAN melahirkan suatu komitmen bersama untuk mengutuk Burma. ASEAN juga gagal menegakkan demokrasi dan HAM, gagal membangun toleransi dan perlindungan terhadap Muslim Rohigya di wilayah Rakhine. Pemimpin ASEAN menganggap, krisis Rohigya adalah persoalan domestik, dan berlindung dibawah prinsip non-interference. Padahal Pasal 2 Ayat 2 point (i) ASEAN Charter, mewajibkan negara anggota untuk bertindak untuk menghormati, mempromosi hak asasi manusia, serta keadilan sosial. Selain itu Deklarasi HAM ASEAN, pada Pasal 10 secara jelas mengkonfirmasi bahwa “semua orang mempunyai hak kebebasan sipil dan hak politik, sesuai dengan deklarasi universal tentang HAM” dan juga hak terhadap kedamaian sebagaimana diatur pada Pasal 30.
Sepatutnya, pemerintah Indonesia dapat menginisiasi kembali pembahasan mengenai krisis Rohigya melalui ASEAN intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dengan merujuk kepada Pasal 1,7, 2, 2i dan 14, yang umumnya terkait dengan persoalan HAM – agar hak-hak mendasar, seperti hak hidup, hak untuk tidak didiskriminasi, hak berkumpul, dll terhadap bangsa Muslim Rohigya dapat dilindungi baik oleh Negara Burma khususnya, dan negara-negara ASEAN lainnya pada umumnya.
Sangat penting untuk mendapatkan suatu kesekapatan diantara negara ASEAN agar kritis Rohigya dapat segera diatasi. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negara, sepatutnya dapat mengajak Malaysia, Brunai, Thailand dan beberapa anggota lainnya melalui ASEAN Submit, agar Burma menghentikan segala operasi militer di wilayah Rakhine, memberikan hak otonomi khusus bagi Rohigya agar tercapai stabilitas dikawasan. Hak memberikan pendapat dan atau mencapai konsensus tersebut, dapat dilakukan atas dasar prinsip-prinsip kemanusian dan HAM.
Berharap Aceh seperti Negeri Habsyah
Apa yang dialami oleh Muslim Rohigya mempunyai kesamaan pengalaman dengan apa yang dialami oleh Muslim Mekkah pada awal masa dakwah Nabi Muhammad saw. Umat Islam yang sangat minoritas kala itu mendapat perlakukan yang sangat buruk. Mereka dibunuh, dianiaya dan diboikot selama bertahun-tahun, khususnya oleh Klan Banu Makhzum dan Klan Banu Abd-Shams.
Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan para pengikutnya untuk menyelamatkan diri ke Habasyah, sebuah negeri di Afrika yang kini dikenal dengan nama Ethopia. Kerajaan ini yang dipimpin oleh Raja Ashama bin Abjar yang beragama Nasrani, dimana orang Arab menamainya dengan raja an-Najasyi.
Orang-orang Muslim yang mengalami penganiayaan, dan terancam dibunuh harus melakukan perjalanan yang sangat berat dari Mekkah menuju semanjung Yaman, lalu mengarungi Laut Merah, dimana jauhnya Mecca ke Ethopia dengan jalan paling singkat untuk saat ini diperkirakan sekitar 2,939 miles atau 4730 km. Raja an-Najasyi menerima Muslimin dengan ramah, dan para asylum muslim mekkah tersebut memperoleh izin tinggal tak terbatas di kerajaan tersebut. Mereka tidak saja diberikan perlindungan, dan bahkan mereka hidup dengan aman di negeri Najasyi tersebut. Semoga akan ada raja “an-Najasyi“ di Aceh yang melindungi dan memberikan izin tinggal para pengungsi Rohigya, yang menyelamatkan hidup dan aqidahnya dari Junta militer Burma yang kejam. Wallahu‘alam