SAGOE | BANDA ACEH – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG), Prof Dwikorita Karnawati, tampil sebagai pembicara utama secara daring di acara 16th Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery (AIWEST-DR) 2024 yang diselenggarakan Universitas Syiah Kuala (USK), Jumat (8/11/2024). Dalam pidatonya, ia menyoroti pentingnya peringatan dini yang inklusif, adaptif, dan berbasis komunitas dalam menghadapi ancaman tsunami.
Dalam sesi bertajuk “Bridging History and Horizons Towards Sustainable Resilience, Adaptive, and Inclusive World: Commemorating 20 Years of the 2004 Aceh Tsunami,” Kepala BMKG Dwikorita memaparkan upaya strategis untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami.
“Kita harus belajar dari sejarah 20 tahun yang lalu ketika tsunami Samudra Hindia menewaskan lebih dari 200.000 jiwa. Pada saat itu, sistem peringatan dini tidak ada, dan akibatnya, korban jiwa meluas hingga ke pesisir Afrika Timur,” ujarnya.
Dwikorita menggarisbawahi peran penting Indonesia sebagai anggota eksekutif World Meteorological Organization (WMO) dan keterlibatan BMKG dalam mendukung program IOC Ocean Decade Tsunami dari UNESCO. Program ini bertujuan memastikan bahwa semua komunitas berisiko tsunami siap dan tangguh pada tahun 2030.
“Kita perlu memperkuat empat pilar utama: pengetahuan risiko bencana, deteksi dan pemantauan, penentuan dan komunikasi peringatan, serta kesiapsiagaan dan tanggapan cepat,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi internasional dan pertukaran data antar negara yang belum sepenuhnya optimal. “Masih ada tantangan dalam kerangka hukum dan mekanisme kelembagaan yang menghambat pertukaran data penting, sehingga kita perlu terus memperkuat kerjasama lintas negara,” ujarnya.
Kepala BMKG mengapresiasi inisiatif kolaborasi dengan lembaga internasional seperti Tohoku University, serta kerjasama dengan pusat peringatan tsunami di India, Australia, dan Jepang. Selain itu, Dwikorita menekankan bahwa pendekatan berbasis teknologi harus tetap mempertimbangkan kearifan lokal.
“Saat teknologi gagal, kearifan lokal bisa menjadi penyelamat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memadukan pengetahuan modern dengan kebijaksanaan lokal, terutama di daerah terpencil,” kata Dwikorita.
Sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan, BMKG juga telah meluncurkan panduan ISO untuk implementasi sistem peringatan dini berbasis komunitas. “Kami ingin memastikan bahwa sektor swasta turut terlibat aktif dalam upaya ini, seperti yang telah dilakukan di Bandara Internasional Yogyakarta, yang mampu mengevakuasi ribuan orang dengan efisien,” ujarnya.
Acara AIWEST-DR 2024 ini juga menjadi ajang untuk memperkuat kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana dan upaya berkelanjutan demi menciptakan dunia yang lebih tangguh dan siap menghadapi bencana di masa depan.
Prof Dwikorita menutup pidatonya dengan undangan untuk berpartisipasi dalam simposium internasional berikutnya yang akan digelar oleh BMKG dan IOC UNESCO.
“Kolaborasi dan keterlibatan semua pihak, mulai dari pemerintah hingga komunitas lokal, adalah kunci untuk membangun ketahanan yang inklusif dan adaptif di masa depan,” tutup Dwikorita.
Selain Kepala BMKG, kegiatan AIWEST-DR 2024 yang dibuka oleh Rektor USK Prof Marwan, turut dihadiri pakar mitigasi bencana dunia sebagai keynote speaker di acara ini.
Kegiatan yang dilaksanakan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) USK berkolaborasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) ini, mengangkat tema: Bridging History and Horizons Towards Sustainable Resilience, Adaptive, and Inclusive World: Commemorating 20 Years of the 2004 Aceh Tsunami”.
IWEST-DR telah menjadi agenda tahunan USK sejak tahun 2016 yang berfungsi sebagai wadah untuk mendiseminasikan hasil riset dalam penanggulangan risiko bencana. Tahun ini AIWEST-DR dilaksanakan bersamaan dengan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-8 Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI). []