Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Kerusakan lingkungan yang kita rasakan selama ini, terjadi lewat serangkaian perilaku. Tidak terjadi dengan sendirinya. Ada sesuatu yang dilakukan dan tidak sesuai dengan peruntukan suatu makhluk. Ketika hal ini dilawan atau diperlakukan secara semena-mena, maka implikasinya adalah bagi manusia itu sendiri. Semua yang dilakukan dengan serampangan, baik secara legal atau tidak, semua akan berdampak bagi kehidupan manusia.
Apalagi, secara berturut-turut sudah saya tuliskan bahwa kerusakan itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari pertambahan penduduk yang berlangsung demikian tinggi akhir-akhir ini. Namun demikian, bukan berarti dengan pertambahan penduduk yang cepat tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan manusia. Pertambahan penduduk, idealnya tidak bisa menjadi alasan bagi bolehnya perilaku semena-mena manusia terhadap alam.
Dalam al-Quran, Allah jelas menyebutkan bahwa segala kerusakan di bumi disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia.
Sekarang ini seperti mendapat momentum untuk merenungi kembali ayat tersebut. Terutama ketika kita melihat kerusakan parah terjadi di berbagai daerah tambang. Tak terkecuali di Aceh.
Penolakan tambang oleh masyarakat dilakukan di banyak tempat. Masyarakat semakin sadar, bahwa antara pendapatan dari sektor tambang dengan biaya rehabilitasi dari kerusakan fisik yang ditimbulkan, sangatlah tidak sebanding. Belum lagi kerusakan sosial-budaya.
Dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa pengelolaan pertambangan merupakan salah satu kewenangan Aceh dan kabupaten kota. Pasal ini sesungguhnya menekankan konsep yang tidak kalah penting, yakni pengelolaan pertambangan harus dilaksanakan dengan prinsip berkelanjutan.
Dari pasal tersebut, jelas memperlihatkan bahwa antara eksploitasi dan penekanan berkelanjutan sama-sama mendapat penekanan. Secara logika, sesungguhnya pertambangan bisa dilakukan dengan hati-hati, terutama pada sumber tambang yang bisa dijadikan sebagai sumber energi.
Namun demikian pada kenyataannya, hampir tidak ada daerah yang berhasil melakukannya dengan penuh kehati-hatian. Sebaliknya, justru daerah tambang umumnya bermasalah, dengan kerusakan lingkungan yang luar biasa.
Dalam kenyataan, nafsu manusia untuk melakukan eksploitasi jauh lebih hebat ketimbang kemampuan manusia untuk mengontrol keseimbangannya.
Kerusakan lingkungan semakin tidak terkontrol ketika wewenang pengelolaan ada di semua level. Pada era otonomi daerah, kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana. Kewenangan pengelolaan sumberdaya banyak yang sudah beralih ke daerah.
Kerusakan alam akibat eksploitasi yang semakin mudah, adalah sisi negatif dari kewenangan yang menyebar. Hal tersebut logis terjadi mengingat dengan otonomi, anggaran pembangunan sebagian besar juga harus ditentukan oleh pendapatan daerah sendiri. Atas dasar kepentingan tersebut, banyak daerah yang menggadai daerahnya dengan harga murah, dengan harapan mempertinggi pendapatan.
Corak seperti ini, bisa disebut sebagai teknokratis, dimana alam dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan. Satu dekade yang lalu, pakar lingkungan Indonesia Soemarwoto menyebutkan manusia mulai cenderung memilih pandangan antroposentrisme dimana lingkungan menempatkan kepentingan manusia di pusatnya. Pandangan tersebut menolak nilai intrinsik alam yang menyebabkan lahirnya sikap dan perilaku eksploitasi dari manusia.
Dalam berbagai level kebijakan, corak seperti ini yang paling terasa. Corak yang memandang bahwa dengan alam, kita hanya memiliki satu pilihan: mengeksploitasinya untuk menghasilkan uang. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan, mungkinkah kita tidak bisa menjaga keberlanjutan lingkungan? Apakah kita hanya punya pilihan untuk kerusakan lingkungan yang berkelanjutan?
Setiap waktu kita diingatkan bahwa setiap kebijakan lingkungan harus selalu dilihat melalui kacamata ekologi terdalam, sebagaimana Capra mengingatkan kita sejak setengah abad yang lalu. Seyogianya kebijakan harus memperhatikan bahwa dalam kehidupan, semua entitas kehidupan saling terkait, mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan.
Oleh sebagian pihak menganggap bahwa konsep tersebut tercermin dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD sebelum amandemen). Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep setelah amandemen, memungkinkan pola pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.
Pada kenyataannya, terjadi paradoksal antara kepentingan desentralisasi dengan pencapaian kesejahteraan. Aspek hukum desentralisasi jelas memperlihatkan bahwa tujuan akhir adalah kesejahteraan. Namun realitasnya, pemahaman terhadap kesejahteraan semakin membingungkan. Seolah-olah kesejahteraan dari tujuan akhir desentralisasi selalu dimaksudkan dengan materil.
Aras tambang menjadi salah satu contoh bagaimana bingungnya kita memahami konsep kesejahteraan dari kebijakan. Kesejahteraan selalu dikaitkan dengan angka-angka.
Perkembangan kekinian harus menjadi cambuk bagi kita semua untuk mengingatkan pengambil kebijakan bahwa kesejahteraan tidak hanya berkaitan dengan angka-angka dan ekonomi semata. Sumber pendapatan dari tambang harus selalu diukur dengan kerusakan ekologis dan sosial-budaya.
Dalam melihat lingkungan ada tiga hal yang harus selalu dilihat, yakni ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Namun ketika berhadapan dengan kepentingan praktis dari pengambil kebijakan, target ekonomi yang selalu mengedepan. Jarang sekali memperhitungkan relasi antara ketiganya.
Bayangkan bila ada kabupaten yang bangga dengan pendapatan yang kurang dari satu miliar dalam beberapa tahun, sedangkan untuk merehabilitasi implikasi bencana menghabiskan anggaran hampir setengah triliun. Ini corak bagaimana ekonomi yang secuil seolah lebih penting ketimbang menyelamatkan kepentingan yang lebih besar.
Sesungguhnya secara sederhana, proses pengukuran kerusakan bisa dilakukan dengan mengoperasionalkan pola-pola kearifan. Pola ini terdapat di hampir semua tempat. Bahkan ia menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan.
Dalam masyarakat terdapat berbagai kekayaan tradisional, kearifan lokal, dan pengetahuan lokal yang mengatur proses pengelolaan sumberdaya dan ekosistemnya, termasuk yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui jendela kearifan, kita menjadi semakin sensitif memilah bahwa perusakan lingkungan hidup akan menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Masalahnya adalah operasional kearifan selalu kalah gengsi dengan kewenangan eksploitasi yang melahirkan iming-iming materi.
Dalam konsep keadilan lingkungan, peran hukum adalah mewujudkan ide keadilan ke dalam bentuk konkret agar dapat memberikan manfaat bagi hubungan antar manusia.
Ketika berhadapan dengan kekuatan politik yang lebih lebar, timbul banyak pertanyaan kemana hukum. Karena hukum memang menjadi alat bagi berbagai kepentingan.
Dalam dunia idealitas, hukum menjadi salah satu kekuatan penjaga keberlanjutan lingkungan. Dalam dunia realitas, hukum seringkali diputarbalikkan untuk kepentingan lain, yang bisa kita sebut dengan keberlanjutan kerusakan lingkungan.
Dengan keberadaan pemerintah, kita berharap bahwa tambang akan ditata. Bahwa keberlanjutan lingkungan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena lingkungan bukan hanya milik kita, tapi mereka yang akan lahir setelah kita. Jangan sampai apa yang menjadi hak generasi mendatang, justru diberikan izinnya secara legal oleh kita manusia yang sedang hidup dan berleha-leha sekarang ini.