• Tentang Kami
Monday, June 30, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Diskursus Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan

Sulaiman Tripa by Sulaiman Tripa
March 24, 2025
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Diskursus Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.

Kerusakan lingkungan yang kita rasakan selama ini, terjadi lewat serangkaian perilaku. Tidak terjadi dengan sendirinya. Ada sesuatu yang dilakukan dan tidak sesuai dengan peruntukan suatu makhluk. Ketika hal ini dilawan atau diperlakukan secara semena-mena, maka implikasinya adalah bagi manusia itu sendiri. Semua yang dilakukan dengan serampangan, baik secara legal atau tidak, semua akan berdampak bagi kehidupan manusia.

Apalagi, secara berturut-turut sudah saya tuliskan bahwa kerusakan itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari pertambahan penduduk yang berlangsung demikian tinggi akhir-akhir ini. Namun demikian, bukan berarti dengan pertambahan penduduk yang cepat tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan manusia. Pertambahan penduduk, idealnya tidak bisa menjadi alasan bagi bolehnya perilaku semena-mena manusia terhadap alam.

BACA JUGA

Dua Dekade Damai Aceh

Meninjau Kembali Wewenang Pemerintahan Daerah dalam Bingkai Otonomi dan Efektivitas Pelayanan Publik

Dalam al-Quran, Allah jelas menyebutkan bahwa segala kerusakan di bumi disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia.

Sekarang ini seperti mendapat momentum untuk merenungi kembali ayat tersebut. Terutama ketika kita melihat kerusakan parah terjadi di berbagai daerah tambang. Tak terkecuali di Aceh.

Penolakan tambang oleh masyarakat dilakukan di banyak tempat. Masyarakat semakin sadar, bahwa antara pendapatan dari sektor tambang dengan biaya rehabilitasi dari kerusakan fisik yang ditimbulkan, sangatlah tidak sebanding. Belum lagi kerusakan sosial-budaya.

Dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa pengelolaan pertambangan merupakan salah satu kewenangan Aceh dan kabupaten kota. Pasal ini sesungguhnya menekankan konsep yang tidak kalah penting, yakni pengelolaan pertambangan harus dilaksanakan dengan prinsip berkelanjutan.

Dari pasal tersebut, jelas memperlihatkan bahwa antara eksploitasi dan penekanan berkelanjutan sama-sama mendapat penekanan. Secara logika, sesungguhnya pertambangan bisa dilakukan dengan hati-hati, terutama pada sumber tambang yang bisa dijadikan sebagai sumber energi.

Baca Juga:  Demo Habib Rizieq Berselimut Jaket

Namun demikian pada kenyataannya, hampir tidak ada daerah yang berhasil melakukannya dengan penuh kehati-hatian. Sebaliknya, justru daerah tambang umumnya bermasalah, dengan kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Dalam kenyataan, nafsu manusia untuk melakukan eksploitasi jauh lebih hebat ketimbang kemampuan manusia untuk mengontrol keseimbangannya.

Kerusakan lingkungan semakin tidak terkontrol ketika wewenang pengelolaan ada di semua level. Pada era otonomi daerah, kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana. Kewenangan pengelolaan sumberdaya banyak yang sudah beralih ke daerah.

Kerusakan alam akibat eksploitasi yang semakin mudah, adalah sisi negatif dari kewenangan yang menyebar. Hal tersebut logis terjadi mengingat dengan otonomi, anggaran pembangunan sebagian besar juga harus ditentukan oleh pendapatan daerah sendiri. Atas dasar kepentingan tersebut, banyak daerah yang menggadai daerahnya dengan harga murah, dengan harapan mempertinggi pendapatan.

Corak seperti ini, bisa disebut sebagai teknokratis, dimana alam dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan. Satu dekade yang lalu, pakar lingkungan Indonesia Soemarwoto menyebutkan manusia mulai cenderung memilih pandangan antroposentrisme dimana lingkungan menempatkan kepentingan manusia di pusatnya. Pandangan tersebut menolak nilai intrinsik alam yang menyebabkan lahirnya sikap dan perilaku eksploitasi dari manusia.

Dalam berbagai level kebijakan, corak seperti ini yang paling terasa. Corak yang memandang bahwa dengan alam, kita hanya memiliki satu pilihan: mengeksploitasinya untuk menghasilkan uang. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan, mungkinkah kita tidak bisa menjaga keberlanjutan lingkungan? Apakah kita hanya punya pilihan untuk kerusakan lingkungan yang berkelanjutan?

Setiap waktu kita diingatkan bahwa setiap kebijakan lingkungan harus selalu dilihat melalui kacamata ekologi terdalam, sebagaimana Capra mengingatkan kita sejak setengah abad yang lalu. Seyogianya kebijakan harus memperhatikan bahwa dalam kehidupan, semua entitas kehidupan saling terkait, mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan.

Baca Juga:  Hantu

Oleh sebagian pihak menganggap bahwa konsep tersebut tercermin dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD sebelum amandemen). Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep setelah amandemen, memungkinkan pola pengelolaan sumberdaya semakin terbuka.

Pada kenyataannya, terjadi paradoksal antara kepentingan desentralisasi dengan pencapaian kesejahteraan. Aspek hukum desentralisasi jelas memperlihatkan bahwa tujuan akhir adalah kesejahteraan. Namun realitasnya, pemahaman terhadap kesejahteraan semakin membingungkan. Seolah-olah kesejahteraan dari tujuan akhir desentralisasi selalu dimaksudkan dengan materil.

Aras tambang menjadi salah satu contoh bagaimana bingungnya kita memahami konsep kesejahteraan dari kebijakan. Kesejahteraan selalu dikaitkan dengan angka-angka.

Perkembangan kekinian harus menjadi cambuk bagi kita semua untuk mengingatkan pengambil kebijakan bahwa kesejahteraan tidak hanya berkaitan dengan angka-angka dan ekonomi semata. Sumber pendapatan dari tambang harus selalu diukur dengan kerusakan ekologis dan sosial-budaya.

Dalam melihat lingkungan ada tiga hal yang harus selalu dilihat, yakni ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Namun ketika berhadapan dengan kepentingan praktis dari pengambil kebijakan, target ekonomi yang selalu mengedepan. Jarang sekali memperhitungkan relasi antara ketiganya.

Bayangkan bila ada kabupaten yang bangga dengan pendapatan yang kurang dari satu miliar dalam beberapa tahun, sedangkan untuk merehabilitasi implikasi bencana menghabiskan anggaran hampir setengah triliun. Ini corak bagaimana ekonomi yang secuil seolah lebih penting ketimbang menyelamatkan kepentingan yang lebih besar.

Sesungguhnya secara sederhana, proses pengukuran kerusakan bisa dilakukan dengan mengoperasionalkan pola-pola kearifan. Pola ini terdapat di hampir semua tempat. Bahkan ia menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan.

Dalam masyarakat terdapat berbagai kekayaan tradisional, kearifan lokal, dan pengetahuan lokal yang mengatur proses pengelolaan sumberdaya dan ekosistemnya, termasuk yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui jendela kearifan, kita menjadi semakin sensitif memilah bahwa perusakan lingkungan hidup akan menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.

Baca Juga:  Antara Finterra dan GNFI: Inspirasi dari Dua Sahabat Beda Negara

Masalahnya adalah operasional kearifan selalu kalah gengsi dengan kewenangan eksploitasi yang melahirkan iming-iming materi.

Dalam konsep keadilan lingkungan, peran hukum adalah mewujudkan ide keadilan ke dalam bentuk konkret agar dapat memberikan manfaat bagi hubungan antar manusia.

Ketika berhadapan dengan kekuatan politik yang lebih lebar, timbul banyak pertanyaan kemana hukum. Karena hukum memang menjadi alat bagi berbagai kepentingan.

Dalam dunia idealitas, hukum menjadi salah satu kekuatan penjaga keberlanjutan lingkungan. Dalam dunia realitas, hukum seringkali diputarbalikkan untuk kepentingan lain, yang bisa kita sebut dengan keberlanjutan kerusakan lingkungan.

Dengan keberadaan pemerintah, kita berharap bahwa tambang akan ditata. Bahwa keberlanjutan lingkungan adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena lingkungan bukan hanya milik kita, tapi mereka yang akan lahir setelah kita. Jangan sampai apa yang menjadi hak generasi mendatang, justru diberikan izinnya secara legal oleh kita manusia yang sedang hidup dan berleha-leha sekarang ini.

 

Tags: diskursuskerusakan lingkungan
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
Sulaiman Tripa

Sulaiman Tripa

Sulaiman Tripa adalah analis sosial legal dan kebudayaan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Related Posts

Dua Dekade Damai Aceh
Artikel

Dua Dekade Damai Aceh

by SAGOE TV
June 27, 2025
Meninjau Kembali Wewenang Pemerintahan Daerah dalam Bingkai Otonomi dan Efektivitas Pelayanan Publik
Artikel

Meninjau Kembali Wewenang Pemerintahan Daerah dalam Bingkai Otonomi dan Efektivitas Pelayanan Publik

by SAGOE TV
June 3, 2025
Rukok Linto Hari Tanpa Tembakau Sedunia
Artikel

Rukok Linto

by SAGOE TV
May 31, 2025
Sepi dan Terisolasi, Tantangan Psikososial Mendesak Bagi Lansia
Artikel

Sepi dan Terisolasi, Tantangan Psikososial Mendesak bagi Lansia

by SAGOE TV
May 30, 2025
Orang Tua Membaca Nyaring Bersama Anak, Untuk Apa
Artikel

Orang Tua Membaca Nyaring Bersama Anak, Untuk Apa?

by SAGOE TV
May 26, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

Reuni Alumni Jeumala 2003 di Pantai Riting: Semangat Kekompakan Tak Pernah Luntur

Reuni Alumni Jeumala 2003 di Pantai Riting: Semangat Kekompakan Tak Pernah Luntur

June 28, 2025
Harga Mobil Terancam Naik, Pengusaha Otomotif Aceh Harap Pergub Opsen Pajak Kendaraan Diperpanjang

Harga Mobil Terancam Naik, Pengusaha Otomotif Aceh Harap Pergub Opsen Pajak Kendaraan Diperpanjang

June 25, 2025
Eks Panglima GAM Sabang Harap Tengku Jamaica Wakili Aceh di Kementerian

Eks Panglima GAM Sabang Harap Tengku Jamaica Wakili Aceh di Kementerian

June 27, 2025
Guru Besar UIN Ar-Raniry Dikukuhkan sebagai Ketua BWI Aceh, Ini Susunan Pengurusnya

Guru Besar UIN Ar-Raniry Dikukuhkan sebagai Ketua BWI Aceh, Ini Susunan Pengurusnya

June 26, 2025
Rubrik Seni Sagoe TV

Rubrik Seni Sagoe TV

June 26, 2025
5 Anggota Komisi Informasi Aceh Resmi Dilantik, Ini Nama-namanya

5 Anggota Komisi Informasi Aceh Resmi Dilantik, Ini Nama-namanya

June 24, 2025
Saat Aceh Bernyanyi: Musik, Luka, dan Harapan yang Menggema

Saat Aceh Bernyanyi: Musik, Luka, dan Harapan yang Menggema

June 26, 2025
Prof KBA Tekankan Pentingnya Rekayasa Sosial Islami Hadapi Tantangan Pendidikan di Era Digital

Prof KBA Tekankan Pentingnya Rekayasa Sosial Islami Hadapi Tantangan Pendidikan di Era Digital

June 23, 2025
Ngopi Bareng Tokoh GAM dan Intel, Kisah di Tengah Konflik Aceh

Ngopi Bareng Tokoh GAM dan Intel, Kisah di Tengah Konflik Aceh

June 29, 2025

EDITOR'S PICK

Gubernur Muzakir Manaf Tiba Kembali di Aceh

Gubernur Muzakir Manaf Tiba Kembali di Aceh

May 14, 2025
Menkomdigi Meutya Hafid Dukung USK Aceh Lahirkan Talenta Digital

Menkomdigi Meutya Hafid Dukung USK Aceh Lahirkan Talenta Digital

March 22, 2025
KUR Bank Aceh Tahun Ini Rp1,5 Triliun, Diharapkan Bermanfaat bagi UMKM

KUR Bank Aceh Tahun Ini Rp1,5 Triliun, Diharapkan Bermanfaat bagi UMKM

February 6, 2025
Presiden Prabowo Cerita Rekonsiliasi dengan Mualem Eks Panglima GAM di SPIEF 2025 Rusia

Presiden Prabowo Cerita Rekonsiliasi dengan Mualem Eks Panglima GAM di SPIEF 2025 Rusia

June 22, 2025
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.