SAGOETV | BANDA ACEH – Dini hari masih pekat saat Marlina Usman, istri Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), melangkah keluar dari Meuligoe Gubernur. Angin malam menyapa lembut, sementara langit masih berselimut gelap. Jarum jam baru menunjukkan pukul tiga pagi, Ahad (16/3/2025) atau bertepatan jelang waktu sahur 16 Ramadhan 1446 Hijriah. Di saat kebanyakan orang masih terlelap dalam kehangatan mimpi, istri Mualem itu memilih menembus sunyi, membawa misi yang bukan sekadar membagikan makanan, tetapi juga menghadirkan kepedulian.
Di belakangnya, satu mobil boks penuh nasi kotak dan sebuah pikap bermuatan paket kebutuhan dapur telah siap mengarungi sepi. Ditemani ajudan perempuannya dan sejumlah petugas keamanan, Marlina mengawali gerilya sahurnya menuju tujuan pertama: Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.
Langkahnya ringan, tapi hatinya sarat dengan empati. Dengan kedua tangannya, Marlina menenteng susunan nasi kotak, membagikannya satu per satu kepada keluarga pasien yang berjaga di lorong rumah sakit. Senyum mereka yang awalnya letih perlahan merekah, seiring dengan suapan nasi sahur yang hadir tanpa diduga.
Para tenaga kesehatan yang masih berjaga malam itu pun ikut menerima. Tidak ada seremoni, tidak ada pejabat rumah sakit yang menyambut. Marlina tidak ingin mengganggu waktu istirahat siapa pun—ia hanya ingin memberi.
Para pengawalnya, yang biasanya menjaga dari jauh, kini ikut turun tangan, menurunkan tumpukan nasi kotak dengan cekatan.
Setelah semua orang yang ditemuinya di lorong-lorong RSUDZA mendapat bagian, Marlina kembali ke dalam mobilnya. Kota Banda Aceh masih lengang, lampu jalan remang-remang menerangi aspal yang dingin. Namun, perjalanan masih panjang.

Mobil yang ditumpanginya meluncur ke Jalan Pocut Baren, tempat tukang becak menepi, menunggu rezeki esok pagi. Marlina turun, membawa kembali nasi kotak dan paket sembako.
“Pat tinggai, Bapak? Nyoe na kamoe ba bu sahur,” ujar istri Gubernur Aceh itu sembari menanyakan tempat tinggal para tukang becak sebelum menyerahkan makanan.
Para penerima tampak terkejut. Dalam dinginnya pagi, tak ada yang menyangka sosok yang mereka kenal hanya lewat layar media kini berdiri di hadapan mereka, menawarkan sebungkus nasi berisi sepotong ayam goreng, daging rendang, dua ekor udang, sayur kuah, jeruk manis, serta air mineral.
Tak hanya itu, dua kilogram minyak goreng, dua kilogram gula, satu kotak kurma, dan tiga botol sirup turut diberikan, cukup untuk meringankan kebutuhan dapur di pagi itu.
“Alhamdulillah, makasih banyak, ibu. Pas sekali waktunya makan sahur,” ujar Tgk Irwadi, seorang tukang becak yang terlihat terkesima. Ia mengaku setiap malamnya bekerja mengumpulkan barang bekas untuk dimuat ke dalam becaknya sebelum dijual ke penampung.
Perjalanan berlanjut ke Pasar Peunayong, tempat pedagang kecil dan tukang becak lain masih berjibaku dengan waktu. Marlina kembali turun, menyapa, bertanya, mendengar cerita mereka, lalu memberikan makanan. Di bawah lampu jalan yang redup, wajah-wajah lelah itu menyiratkan rasa syukur yang tulus.
Jam semakin mendekati pukul lima pagi. Marlina kini telah melewati Bundaran Simpang Lima, Jembatan Pante Pirak, hingga ke kawasan Pasar Aceh. Ia menyusuri pusat pertokoan, menemui pedagang kios yang sedang menutup lapaknya, lalu membagikan sisa paket makanan yang masih ada. Sesekali, ia bahkan menyetop becak dan pengendara roda dua yang kebetulan lewat, memberikan mereka satu porsi sahur.
Langkahnya akhirnya terhenti di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Cahaya lampu masjid yang megah memantulkan siluet kelelahan yang tak indah. Di bawah menara utama, Marlina duduk, membuka kotak nasi terakhir yang tersisa. Semua telah terbagi.
“Alhamdulillah, semua sudah terbagi,” ucapnya, sebelum perlahan mulai menyantap sahurnya sendiri dan mempersilakan orang-orang yang menemaninya ikut menyantap sahur bersama.
Dalam remang dini hari, 230 kotak nasi dan 200 paket sembako telah tersampaikan. Bukan sekadar makanan, tetapi juga penghangat hati bagi mereka yang menerimanya. Dan di sepertiga malam itu, di antara doa-doa yang mengudara, Marlina kembali menegaskan bahwa berbagi tak selalu harus megah—cukup dengan ketulusan, di waktu yang tepat, untuk orang-orang yang membutuhkan. [R]