Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Ratusan bangsa merusak satu bumi. Judul buku Profesor Emil Salim yang diterbitkan Kompas, 2010. Buku ini, antara lain mengulas bagaimana di satu sisi, manusia semakin didukung berbagai kemudahan. Sejak abad ke-18, berbagai temuan baru lahir dari manusia. Mesin sangat utama. Di sisi lain, ternyata temuan baru itu tidak selalu berdampak positif. Manusia seperti pelan-pelan sedang menunggu kehancuran.
Apa yang akan dilakukan untuk kondisi demikian? Tidak cukup hanya menggantungkan pada sektor tertentu. Jika diibaratkan tubuh, bumi ini saling terkait. Menyelamatkan bumi harus melibatkan semua sektor. Sejak lima dekade yang lalu, perilaku masif yang merusak menjadi realitas baru yang akan menghancurkan satu bumi untuk manusia ini.
Istilah manusia satu bumi, sudah sering diungkapkan para ahli. Salah satu buku Profesor Emil Salim, yang saya sebutkan di atas, terlebih dahulu menggambarkan betapa kita hidup dalam suasana yang tidak sedang baik-baik saja. Inti dari yang ingin disampaikan adalah bumi yang satu itu, dihuni oleh semua manusia. Orang-orang sudah mulai berpikir kemana akan bergeser. Ketika bumi sudah melarat, ada orang yang mungkin sudah berpikir untuk menyiapkan ruang angkasa sebagai tempat singgah. Namun, tentu saja, berbiaya mahal.
Keadaan bumi sedang bermasalah. Eksploitasi alam sudah demikian riskan. Pemanfaatan sumber daya, sudah melebihi dari apa yang dibutuhkan. Manusia dikendalikan oleh keinginan, bukan oleh kebutuhan.
Inti hal ini, juga pernah saya tulis dalam satu artikel saya. Beberapa hari sebelum artikel ini saya tulis, yang akhirnya dimuat Harian Aceh 16 Desember 2010, ada diskusi yang dilaksanakan Kelompok Pecinta Alam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Hal yang didiskusikan adalah sejauhmana sumber daya alam yang tersedia, akan memberi kesejahteraan terhadap masyarakat di sekitar lokasi sumber daya alam tersebut. Dan dalam ruang diskusi semacam ini, beda pendapat pun bukan sesuatu yang aneh. Ada yang menganggap sumber daya alam, secara langsung akan membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Tidak sedikit yang berpendapat, bahwa kesejahteraan itu baru akan diperoleh ketika pengelolaannya dilakukan dengan serius dan optimal. Ada juga yang menentang. Posisi yang terakhir ini, berpendapat bahwa tidak ada daerah yang kaya sumber daya alam, kesejahteraan masyarakatnya tinggi.
Pada peringatan hari bumi ke-50, saya membaca satu artikel Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang ditulis Gusti Ayu Ketut Surtian, seorang peneliti penduduk dan lingkungan. Keseimbangan menjadi kata kunci yang harus diingatkan terus-menerus. Berpikir tentang bumi, sebagai langkah reflektif untuk bagaimana memperlakukannya, sangat penting bagi manusia. Tetapi pencemaran terjadi di banyak tempat. Kesadaran manusia belum sepenuhnya –bahkan sebagian besar seperti komputer yang sedang loding.
Dari berbagai lini, kerusakan sedang terjadi terus-menerus. sekali lagi, keseimbangan yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi, sudah selayaknya diperkuat melalui batin dan raga. Namun bukan langkah yang mudah. Perlawanan terhadap keseimbangan alam digambarkan sebagai pahlawan dan dikaitkan langsung seolah seperti sumber pendapatan yang langsung bisa mendongkrak kesejahteraan.
Lantas bagaimana mereka yang menolak perusakan semena-mena? Tidak jarang mereka digambarkan melalui wajah yang antipembangunan. Mereka yang menentang tanpa pengecualian, biasanya akan hidup dalam kesepian. Ditolak kanan kiri, bahkan tak jarang, di hadapan para pemberi modal, diopinikan sebagai musuh pembangunan. Orang yang dalam posisi ini sangat kritis, dan melihat banyak daerah tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan dengan sumber daya alam. Kekayaan itu hanya akan membawa keuntungan bagi mereka yang menggarap dan kastel pemodal. Sejumlah pihak dalam kekuasaan yang turut menikmati proses ini, juga menjadi bagian penting dari mereka yang meningkat kesejahteraannya –walau kesejahteraan itu demikian selalu bisa dipertanyakan kehalalannya.
Periode yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai mencoba membuka tabir praktik rasuah yang sangat dahsyat dalam bidang ini. Akhir-akhir, entah seperti apa perkembangannya.
Dalam diskusi itu, muncul berbagai pendapat. Salah satunya adalah pemikiran yang menganggap sumberdaya alam sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan dengan tanpa reserve atas alasan kesejahteraan.
Sebagian ahli pembangunan beranggapan bahwa eksploitasi sumberdaya alam, baik yang bisa diperbaiki atau yang tidak, akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini didasari oleh keyakinan bahwa sumberdaya alam merupakan kekayaan potensial yang bisa secara langsung menyejahterakan.
Para ahli pembangunan yang seperti itu, berfikir dengan kerangka yang sangat materialistik. Semua potensi sumberdaya diukur dengan berapa jumlah yang akan didapat dan dapat dijadikan sumber pemasukan. Sangat jarang mereka berfikir, mengenai berapa besar jumlah potensi kerusakan yang juga harus selalu diperhitungkan.
Pola pikir seperti ini juga sudah lama merasuk dalam jiwa pelaku pembangunan. Ada anggapan bahwa semua yang ada di alam merupakan objek yang memang sudah seharusnya dieksploitasi tanpa batas.
Merunut ke belakang, konsep pembangunan berkelanjutan bukan sesuatu yang baru. Jika ada yang menyebutkan bahwa adaptasi pembangunan berkelanjutan sebagai langkah progresif, benar, namun sudah terlambat saat konsep ini sudah ditelurkan sejak setengah abad yang lalu. Tetapi seperti kata pepatah, biar lambat asal selamat.
Pembangunan berkelanjutan harus didukung oleh tata kelola yang baik. Pola pikir materil seolah eksploitasi sumberdaya alam yang langsung mendongkrak kesejahteraan, masih perlu kehati-hatian. Jangan-jangan kepentingan lain yang lebih besar di belakangnya. Mengatasnamakan kesejahteraan, padahal rombongan cukong yang tidak jarang, juga berbicara melalui jalur orang pandai.
Anggapan bahwa eksploitasi tanpa kehati-hatian sebagai sumber kesejahteraan, saya kira pola pikir seperti itu perlu dikoreksi. Pada kenyataannya, tidak ada satu pun negara yang kaya sumberdaya, juga memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang baik. Tidak satu pun negara yang kaya alam laut dan hutan yang rakyatnya makmur, dengan eksploitasi yang tidak hati-hati. Justru eksploitasi sumberdaya alam tanpa batas, telah turut menyebabkan tingkat ketidak-sejahteraan yang gila-gilaan.
Kita selalu menyaksikan angka-angka bahwa hasil laut kita berlimpah. Pemanfaatan laut kemudian dikondisikan untuk dimodernisasi, baik dengan alat tangkap maupun pola penangkapannya. Berbagai alat tangkap dan kapal yang bisa mengeruk hasil laut yang gila-gilaan didatangkan.
Pola-pola ketamakan manusia terus berlipat ganda. Gross tone (GT) kapal-kapal yang mengambil ikan di laut selalu bertambah dengan alasan menambah pemasukan. Pola tersebut dikaitkan dengan kesejahteraan. Padahal nelayan-nelayan kecil dengan 5 GT harus melawan gerombolan trawl-trawl besar yang dimiliki cukong-cukong.
Alasannya adalah pemasukan dan atas nama kesejahteraan. Pada kenyataannya, kekayaan itu bukan untuk menyejahterakan, tapi untuk memperkaya sebagian kecil orang saja, dengan mengabaikan tingkat kerusakan yang parah.
Lalu dimana sebenarnya kesejahteraan ketika nelayan kecil dengan prosentase terbesar di negeri ini, tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya.
Upaya memberi manfaat maksimal dari modernisasi alat eksploitasi telah terbukti gagal. Dengan demikian paradigma pikir yang seolah-olah menyejahterakan rakyat hanya lewat modernisasi, juga harus direvisi.
Bertahun-tahun hutan dibabat oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan hak karena membayar sejumlah pemasukan. Sementara untuk merehabilitasi ekses yang didapatkan, sangat tidak sebanding dengan jumlah pemasukan tersebut.
Penting memahami bahwa konsep pembangunan yang materil tidak boleh melupakan biaya sosial yang diakibatkan. Biaya sosial ini termasuk potensi kerusakan yang dihadapi masyarakat yang bertempat di sekeliling kawasan sumberdaya alam tersebut.
Biaya sosial ini kerap dilupakan. Dalam kasus laut. Over exploitation yang terjadi sepanjang Selat Malaka, sebenarnya adalah bentuk dari tidak dilakukannya pemetaan potensi kerusakan. Hal ini kemudian menjadi permasalahan sosial akibat keserakahan manusia yang memandang pembangunan hanya potensinya semata.
Sesungguhnya problematika seperti ini disadari. Diakui pula kesadaran bahwa lingkungan harus mendapat perhatian semua pihak. Namun konsep pembangunan yang sangat materialistik, masih sangat dominan berlaku secara global. Padahal pembangunan bukan hanya material dan fisik. Pembangunan juga termasuk non fisik dan pembangunan jiwa. Yang termasuk dalam pembangunan non fisik tersebut, adalah menghargai sumberdaya alam dengan bentuknya yang tidak berubah-ubah. Dalam hal ini, sumberdaya alam tidak semata-mata sebagai ”alat” untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya alam juga harus dilihat sebagai serangkaian sistem kehidupan yang saling terkait satu sama lain.
Al-Quran memperingatkan pentingnya kita tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Apa yang diingatkan dalam Kitab Suci juga diingatkan oleh para agamawan dan filosof. Salah satu pola pengrusakan adalah dengan mengeksploitasi sumberdaya alam dan memperlakukannya semata-mata sebagai objek. Pola demikian jamak dilakukan oleh manusia-manusia modern sekarang ini. Pola demikian pula yang menyebabkan manusia semakin angkuh dan tamak. Kebutuhan akan sumberdaya alam tidak pernah tercukupi. Dari hari ke hari selalu dipikirkan untuk mengeksploitasinya lebih banyak lagi.
Di sinilah konsep pembangunan yang berbasis kesejahteraan materil harus dikritisi. Pola pendekatan pembangunan berbasis kesejahteraan materil dekat dengan model pendekatan manusia modern terhadap alam. Model ini, alam hanya sebagai ”alat”, dan selalu dieksploitasi untuk memenuhi keserakahan manusia yang melingkupinya. Model ini tidak terkait dengan konsep kesejahteraan yang hakiki, yakni orang-orang nyaman dan mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya.
Fitjof Capra (2001) pernah mengingatkan manusia agar dalam membuat model, tidak pernah melupakan konsep yang saling utuh dan terkait. Pemetaan pembangunan masa depan tidak boleh melupakan berbagai permasalahan yang saling terkait. Pemanfaatan sumberdaya tidak hanya berimplikasi positif dengan sejumlah pemasukan, tapi juga implikasi negatif karena kerusakan yang nilainya bisa jadi lebih besar dari jumlah pemasukan.
Oleh karena itu, semua masalah seyogianya dilihat secara holistik –bahkan para agamawan mengingatkan, persoalan lingkungan sekalipun tidak melupakan keharusan kita untuk selalu mensyukurinya dengan memanfaatkan secara santun dan tidak membuat kerusakan. Ada ungkapan penting, ”makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Ungkapan tersebut sebenarnya memperingatkan kita, bahwa yang menyebabkan perilaku rusak, sebagian besar disebabkan oleh ketamakan kita sebagai manusia.
Konsep dan model yang holistik harus selalu menjadi jawaban atas segala problematika umat manusia. Di sini, cara pandang manusia tidak boleh melepaskan satu dengan yang lainnya. Cara pandang ini kemudian dipadukan dengan saling berhubungan antara proses pemahaman, permasalahan, hingga pemecahannya.
Menurut saya, konsep inilah bentuk hakiki dari konsep kesejahteraan pada satu bumi tempat kita berkehidupan.
Hukum harus dipikir dengan metode yang holistik demikian. Jangan sampai hukum justru dipersiapkan sebagai alat untuk memudahkan eksploitasi alam secara besar-besaran, atas dasar alasan ingin mendapat semakin besar pendapatan. Hukum hanya digunakan sebagai alat legitimasi, bahwa pendapatan dari mengerok sumber daya alam, sudah dilakukan dengan cara yang sah.
Apa yang diungkapkan Profesor Emil Salim, harus tercermin dari berbagai sektor yang merespons. Holistik adalah ketika semua hal dipikirkan sekaligus untuk satu hal yang dilaksanakan. Timbang-timbang dilakukan terlebih dahulu. Bukan buat dulu baru pikir kemudian.
Hukum menjadi ruang penting dalam mengendalikan perilaku manusia. Hukum di satu sisi dapat menjadi alat kendali yang efektif. Di sisi lain, hal yang sering diingatkan para ahli hukum kritis, melalui hukum juga sering bersembunyi para penumpang gelap untuk mendapatkan untung dengan menggunakan ruang-ruang legitimasi yang jitu.[]