Beberapa hari silam saya berkunjung ke salah satu Hutan Kota Banda Aceh yang terletak di Desa Tibang. Kunjungan ke sana dalam rangka menemani seorang kawan yang hendak melakukan olahraga joging.
Kawan saya ini baru tiba dari luar daerah. Selama menetap di luar daerah, ia suka melakukan olahraga joging, yaitu berlari pelan untuk kesehatan. Ia ingin melanjutkan olahraga itu selama menetap di Banda Aceh.
Baginya, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh di usianya yang tidak lagi muda sangat penting. ”Biar gak bebani APBD,” selorohnya.
Namun, ia bingung mencari lokasi yang aman dan nyaman. Beberapa teman menyarankan untuk pergi ke lapangan Blang Padang atau Stadion Harapan Bangsa. Akan tetapi dua tempat itu jauh dari lokasi ia tinggal.
Lalu saya mengajaknya ke Hutan Kota Tibang yang relatif dekat. Menurut saya, Hutan Kota Tibang memenuhi kriteria tempat yang ia cari. Dalam bayangan saya, berdasarkan kunjungan tahun 2016, Hutan Kota Tibang relatif aman dan nyaman. Fasilitasnya mendukung untuk olahraga ringan. Waktu itu Hutan Kota Tibang baru dibuka untuk umum. Meski fasilitas masih terbatas, tempatnya sangat cocok untuk joging.
Namun ternyata saya keliru. Kondisi Hutan Kota Tibang tidak seaman dan senyaman dulu. Sejumlah fasilitas tidak lagi terawat. Jalan yang dibangun di area mangrove telah rusak. Begitu pula jembatan yang lantainya dibuat dari papan telah banyak yang patah sehingga sulit dilewati.
”Jangankan orang berkebutuhan khusus, orang normal aja gak aman makainya nih,” gumam kawan saya setengah kecewa.
Selain jembatan, beberapa fasilitas lain juga sudah tidak berfungsi. Toilet, sarana paling penting untuk para pengunjung sudah tidak bisa dipakai. Pintunya terkunci rapat. Begitu pula musala, juga terkunci. Ketika kami mengintip dari balik pintu kaca, di dalamnya hanya ada tumpukan kayu dan debu. ”Kayaknya sudah lama gak dipakai,” simpul kawan saya.
Di samping musala, terdapat balai konstruksi kayu. Di sana tersedia beberapa helai sajadah yang digantung di dinding. Balai tersebut sepertinya jadi alternatif musala beton yang terkunci. Namun, ketika kawan saya membuka kran air di tempat wudhu yang berada tepat di depan balai, airnya ternyata tidak ada.
”Walah, gimana mau shalat kalau gak ada air,” katanya setengah putus asa.
Selain beberapa fasilitas yang tidak berfungsi, Hutan Kota Tibang juga dihadapkan pada pemandangan kurang elok, berupa sampah plastik, khususnya di area hutan mangrove. Area ini sering digunakan sebagai lokasi pengambilan foto dan tempat santai para pengunjung.
Para pengunjung umumnya membawa makanan dari rumah dan jajanan dari luar. Setelah selesai makan dan minum, kantong dan botol plastik ditinggalkan begitu saja, tidak ditaruh ke tong sampah.
“Sayang ya, fasilitas sudah ada tapi kurang terawat. Harusnya pejabat pemkot ngurusin yang begini ini, bukan cuma celana pendek laki-laki dan celana ketat perempuan,” protes kawan saya dengan nada kesal.
Menurut kawan saya, Kota Banda Aceh dari segi letak sebenarnya relatif tertata di banding kota-kota lain di Indonesia. Kawan saya pernah berkunjung ke beberapa kota lain, khususnya di wilayah Indonesia timur. Menurutnya, tata kota di sana membingungkan.
Sayangnya, menurut kawan saya, tata letak kota yang sudah baik tidak ditunjang oleh perawatan dan peremajaan. “Sebenarnya tinggal sentuhan perawatan dan peremajaan aja Kota Banda Aceh ini,” katanya.
Saya sepakat dengan kawan saya itu. Banda Aceh butuh perawatan dan peremajaan fasilitas publik. Tidak perlu bangun gedung beton baru. Bangunan yang ada sudah lebih dari cukup. Sudah cukup membuat panas Kota Banda Aceh. Apalagi saat ini pemerintah pusat sedang melakukan efisiensi anggaran, maka penambahan proyek gedung baru bertolak belakang dengan semangat efisiensi.
Fasilitas publik seperti Hutan Kota Tibang yang nyata-nyata memberi banyak manfaat bagi kebugaran dan kesehatan warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya harus mendapat perhatian dan menjadi program prioritas.
Jika perlu, biaya parkir yang selama ini dikutip 5.000 rupiah untuk satu unit mobil dan 2.000 rupiah untuk satu unit motor digratiskan saja, supaya warga semakin antusias datang ke sana. Jika pun biaya parkir kendaraan tetap dikutip dari para pengunjung, maka minimal fasilitas seperti toilet dan tempat wudhu disediakan airnya supaya para pengunjung dapat menjalankan Syariat Islam secara kaffah di sana. []
Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar Raniry




















