SAGOETV | BANDA ACEH – Dosen Sosiologi Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, Dr. Muna Yastuti Madrah, membagikan pengalaman berharga saat menjadi relawan kemanusiaan di Aceh pada masa konflik dan pascatsunami. Kisah inspiratif ini disampaikan dalam sebuah diskusi istimewa yang ditayangkan oleh Sagoe TV, Selasa (20/5/2025).
Podcast ini dipandu langsung oleh CEO Bandar Publishing, Dr. Mukhlisuddin Ilyas, yang menggali lebih dalam peran, tantangan, dan pembelajaran dari keterlibatan kemanusiaan Muna Yastuti Madrah di Aceh, khususnya dalam konteks trauma sosial dan rekonstruksi pascabencana.
Muna Madrah pertama kali datang ke Aceh pada tahun 2002, di tengah puncak konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Ia datang sebagai bagian dari lembaga NGO internasional, International Catholic Migration Commission (ICMC), untuk menjalankan program bantuan bagi perempuan korban konflik. “Aceh saat itu sangat indah secara alam, tapi suasananya mencekam. Banyak sekali pos pemeriksaan, baik dari TNI maupun GAM,” ungkapnya.
Salah satu pengalaman menegangkannya adalah saat mengawal truk bantuan ke Langsa. Tiba-tiba, sekelompok orang bersenjata menghadang. “Astagfirullahaladzim, sempat terpikir ‘matilah kita di sini’. Tapi setelah tahu kami membawa bantuan, mereka membiarkan kami lewat,” kenangnya.
Meski berada di tengah konflik, Muna mengaku tidak pernah merasakan adanya kebencian dari masyarakat Aceh terhadap dirinya yang berasal dari Jawa. “Secara personal, saya merasa aman-aman saja. Masyarakat menerima dengan baik. Tidak ada rasa dibenci,” katanya.
Setelah konflik, datanglah bencana besar, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Tujuh hari pascatsunami, Muna kembali ke Aceh sebagai bagian dari tim tanggap darurat Save the Children. Ia terlibat dalam program Family Tracing and Reunification (FTR), yang bertujuan menemukan anak-anak yang terpisah dari keluarganya akibat bencana. Salah satu yang sempat ia tangani adalah Martunis, bocah yang kemudian menjadi simbol kekuatan pascatsunami.
“Saat itu kekacauan luar biasa. Banyak anak-anak terpisah, banyak keluarga tercerai-berai. Tugas kami adalah mendata, mencari, dan menghubungkan kembali mereka dengan keluarganya,” tuturnya.
Ia juga mengenang suasana setelah tsunami yang berbeda dari masa konflik. “Setelah tsunami, suasana lebih terbuka. Banyak relawan dari seluruh dunia datang. Rasanya, secara tidak langsung, masyarakat mulai merasakan ketenangan, dan mungkin dari situlah bibit-bibit damai mulai tumbuh,” katanya.
Muna menyimpulkan bahwa pengalaman kemanusiaannya di Aceh, baik saat konflik maupun pascatsunami, telah memberikan pelajaran hidup yang luar biasa. “Aceh tidak membenci orang Jawa. Masyarakatnya sangat terbuka dan menghargai kehadiran siapa pun yang datang dengan niat baik,” ujarnya. []
Simak lebih lengkap bincang-bincang bersama Dr Muna Yastuti Madrah di video berikut: