Dr. Sulaiman Tripa
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala.
Ada proses penanganan korban hendaknya dapat menjadi pembelajaran bagi kehidupan kita selanjutnya. Isu diplomasi bencana menjadi penting mengingat tsunami akan berdampak pada banyak hal lainnya di sekitar kita.
Empati dan simpati yang muncul karena bencana, telah menyebabkan semangat tinggi negara lain untuk mengirimkan relawannya ke Aceh –termasuk dalam hal ini militer asing yang ditugaskan negaranya ke wilayah bencana di negara lain.
Salah satu isu yang mencuat berhadapan dengan kondisi di atas adalah ketakutan pada internasionalisasi masalah Aceh. Hal ini sebenarnya normal bisa dialami banyak negara lain, pasalnya Aceh sedang berada dalam situasi konflik. Mencurigai berbagai kekuatan luar, bukannya tanpa masalah. Kemampuan sumber daya kita yang kurang, menyebabkan kita harus membuka mata pada bantuan orang lain. Bahkan, waktu itu, hingga setelah tiga bulan pun, masih banyak persoalan yang belum selesai.
Pemerintah menetapkan tanggal 26 Maret 2005, bahwa seluruh militer asing yang terlibat dalam proses tanggap darurat, harus meninggalkan Aceh. Realitasnya, Pemerintah kemudian meralat bahwa yang dimaksudkan bukan tenggat, melainkan pada jadwal yang sangat penting dalam mencapai progres yang direncanakan. Untuk kondisi ini, Andreas Harsono menuliskan satu opini yang menarik di Harian Kompas. Soal asing dengan berbagai posisi asing itu di kawasan bencana sekaligus masih konflik.
Tulisan Harsono mengaitkan dengan sisi lain Aceh yang tidak semua orang terpikirkan, yakni pada kata “Aceh” atau “Acheh”? (Harsono, 2005). Bagi orang tertentu baik di Aceh maupun luar Aceh, momentum 26 Maret sangat penting karena teringat catatan sejarah tentang kegemilangan pasukan Kerajaan Aceh dalam melawan kolonial pada tanggal tersebut. Tanggal 26 Maret dikenal dengan satu momentum di mana kolonial Belanda mengumandangkan deklarasi perang terhadap Aceh pada tahun 1873. Dan pernyataan perang ini, harus dipertaruhkan dengan serius mengingat perang Aceh sebagai perang yang lama dalam perlawanan terhadap kolonial.
Apa yang berbeda dengan kata “Acheh” yang dimaksudkan Harsono? Ternyata kata ini digunakan oleh kelompok-kelompok perlawanan sebelum Aceh damai, secara khusus disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).
Hal yang diungkapkan di atas, pada dasarnya terkait bagaimana Pemerintah menekan agar internasionalisasi Aceh dalam konteks konflik, sama sekali tidak terjadi. Maka bagi sejumlah pihak, ketika Pemerintah menetapkan 26 Maret untuk tenggat keberadaan asing di tanah Aceh, yang terbayang dibenak tentu saja ketakutan internasionalisasi Aceh yang diuraikan sebelumnya.
Publikasi artikel ini kerjasama SAGOE.ID dengan SulaimanTripa.com