Oleh: Burhan El Anshari, MA.
Analis Timur Tengah, Pernah Bekerja di Kedubes RI di Iran.
Pada 7 oktober 2023 lalu, Israel membuat publik Barat bergoncang dengan mencuatnya berita serangan mematikan Hamas atas pemukim sipil Israel yang membunuh sedikitnya 1.400 orang yang sedang menonton festival musik Supernova di Kibbutz Re’im, dekat perbatasan Gaza. Israel mempublikasikan dengan sangat bombastis bahwa warga sipilnya telah diserang oleh Hamas habis-habisan.
Jumlah yang sangat fantastis itu walaupun belakangan diralat dan terus berkurang menjadi total 364 orang, namun publik Internasional sudah keburu percaya atas serangan tersebut dan Israel jadi memiliki legalitas untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk sipil Palestina di Gaza. Publik beranggapan reaksi tersebut adalah logis karena Hamas menyerang warga sipil Israel.
Berita yang terus ‘digoreng’ pada awal munculnya konflik tidak memberi ruang investigasi bersuara, belakangan baru diketahui bahwa Hamas ternyata awalnya hanya melakukan serangan terbatas ke barak militer Israel di kota Askelon dengan tujuan membebaskan para tahanan Palestina yang dipenjara di tempat itu (antaranews.com), Hamas hanya membuat kepanikan terbatas di beberapa tempat di Israel sebagai bentuk pengalihan atas operasi yang dilakukan di kota Ashkalon.
Akan tetapi diluar perkiraan, informasi telah diblow up secara internasional sedemikian rupa akhirnya telah memaksa Hamas harus terlibat perang total dengan Israel yang sejak awal memang menunggu momen pemantik yang tepat untuk menduduki Jalur Gaza. Dengan upaya ini, Israel jadi memiliki alibi yang kuat untuk mengusulkan pembentukan Koalisi Internasional di Gaza yang tidak lain sebenarnya adalah upaya Israel untuk menguasai Gaza.
Upaya tersebut belakangan gagal setelah Polisi Israel dan sejumlah media oposisi Netanyahu menerbitkan laporan bahwa ternyata serangan tersebut dilakukan sendiri oleh Israel dengan Helikopter serang, demikian juga dengan peristiwa di Be’eri, pasukan Israel membunuh sendiri warga sipilnya dengan tank.
Kedua, yang patut menjadi perhatian adalah saat Ansarullah di Yaman melakukan blokade Laut Merah terhadap kapal komersil dan militer yang berkaitan dengan Israel sebagai upaya mendesak Amerika dan koalisinya menghentikan perang atas rakyat sipil Gaza pada Desember 2023 lalu, Israel kembali menyerukan pembentukan Koalisi Internasional untuk menyerang Ansarullah di Yaman dengan alasan telah mengganggu jalur pelayaran internasional.
Koalisi Internasional saat itu terbentuk. Inggris, Perancis, Australia, Jerman, Jepang, termasuk Bahrain mendaftar untuk menjadi bagian dari armada gabungan 153 Amerika Serikat untuk melawan Ansarullah di Yaman.
Namun upaya ini pun gagal, opini publik internasional telah terbentuk dengan massifnya demontrasi termasuk di Barat (baca: Amerika dan Eropa) untuk menentang perang Gaza, terutama pasca serangan jet Israel atas rumah sakit Al-Shifa Palestina di Gaza yang menewaskan lebih dari 400 orang. Gema anti-Israel meningkat di seluruh dunia bahkan Afrika Selatan mengadukan Israel ke Pengadilan Internasional di Den Haag, Belanda.
Koalisi Internasional lagi-lagi gagal, dan anggota yang awalnya direncanakan mencapai 39 negara bubar dan hanya menyisakan beberapa negara saja yang benar-benar dekat dengan Israel. Koalisi ini dianggap publik bukanlah koalisi internasional untuk kebebasan pelayaran internasional, melainkan koalisi untuk menyelamatkan ekonomi Israel karena ternyata Ansarullah Yaman hanya menyerang kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan kepentingan Israel di Laut Merah.
Ketiga, Ketika Israel membuka konflik dengan Lebanon karena keberadaan Hizbullah yang melakukan serangan untuk membantu Hamas di Perbatasan Utara. Usaha memblow up kasus ini juga mengalami kegagalan karena Lebanon ternyata menyatakan akan membela tanah Lebanon jika Israel melakukan agresi ke wilayahnya pada Maret lalu.
Dan yang terakhir, saat Israel melakukan pemboman ke Konsulat Iran di Suriah. Iran ternyata melakukan Serangan besar-besaran untuk menghukum Israel atas pelanggaran hukum internasional yang dilakukannya itu.
Yang tidak habis pikir adalah, Israel terus melakukan manuver-manuver yang berbahaya di kawasan dan terus cenderung berusaha untuk memperluas cakupan perang di Timur Tengah dengan mencari lawan yang lebih besar dan lebih berbahaya lagi. Hemat penulis, tujuan Israel hanya satu, yaitu supaya Koalisi Internasional dapat terbentuk sebagaimana yang pernah terbentuk di Afghanistan, Irak, Libya, dan Suriah untuk menghancurkan negara-negara muslim tersebut.
Apa tujuan Israel menyeret kawan dan lawannya untuk terlibat perang besar di kawasan? Banyak analis juga melihat hal yang sama, begitu banyaknya pejabat Amerika dan koalisinya memperingati Netanyahu, namun Netanyahu tetap bersikeras untuk membuka front baru dan baru lagi, bukankah ini sama dengan bunuh diri?
Satu hal Netanyahu lupa adalah bahwa Amerika yang dulu berbeda dengan sekarang, Amerika kini telah memiliki banyak rival, dan dia telah terlalu banyak kehilangan “tenaga” untuk membentuk koalisi internasional lagi.
Kenapa Israel memiliki kepentingan dengan perluasan konflik di Timur Tengah? Sejumlah analis berpendapat bahwa Netanyahu memiliki kepentingan membebaskan dirinya dari jeratan hukum, namun hemat penulis alasannya lebih besar daripada itu. Jeratan hukum dibuat hanya sebagai motivasi untuknya jika dia gagal maka dia akan digulingkan dari jabatannya dan penjara telah menantinya. Adalah hal yang tidak mungkin Netanyahu dibebaskan mempertaruhkan keberadaan Israel di Timur Tengah hanya karena alasan jeratan hukum tersebut.
Penulis menilai faktor teologis Zionisme adalah alasan paling mungkin menyebabkan bebasnya Netanyahu melakukan petualangan berbahaya itu.
Juru bicara Hamas, Abu Ubaidah dalam sebuah pidato pernah menyebut sepak terjang Zionis berasal dari keyakinan khurafat rabi Yahudi yang terdapat dalam Talmud. Talmud bukanlah kitab Taurat melainkan catatan lisan para Rabi Yahudi terkait sejarah, etika dan kebiasaan yang diyakini oleh Zionisme (Bukan Yahudi secara keseluruhan).
Rabi senior Zionis Menachem Mendel pernah berkata kepada Netanyahu bahwa dia harus melakukan sesuatu demi mempercepat kedatangan Mesiah (versi Zionis).
Pesan ini diterjemahkan Netanyahu dengan menciptakan huru hara yang besar untuk kemunculannya, huru hara itu tidak dapat dilakukan selain dengan menciptakan perang yang besar di kawasan yang melibatkan banyak pihak, Koalisi Israel di satu pihak, dan koalisi negara-negara poros perlawanan dipihak lainnya.
Maka tidak heran jika Israel terus melebarkan sayap peperangan di kawasan, masalah dengan Hamas belum selesai, Israel malah membuka front dengan Lebanon, di Lebanon belum selesai, front dengan Suriah tetap berjalan, dengan Suriah belum selesai, kini malah membuka front baru lagi dengan Iran, dengan Iran belum selesai, Irak pun menjadi sasaran rudal menurut laporan terakhir.
Israel menginginkan pola perang global terbentuk di Timur Tengah, tidak peduli sekutunya akan bangkrut dan kendali dunia dipegang Rusia atau China, kedatangan “Mahdi” versi Zionis harus segera muncul, banyak hal yang telah mereka persiapkan untuk mewujudkan itu, termasuk penyembelihan sapi merah sebagai ritual penyucian Zionis sebelum membangun Kuil Sulaiman diatas puing Mesjid Al-Aqsa, semoga hal itu tidak terjadi.[]