Oleh: Affan Ramli.
Praktisi Pendidikan Politik (DIKPOL) di Masyarakat Adat.
Sumber daya alam (SDA) pada dasarnya istilah yang bias kapitalisme. Di dalamnya inheren pandangan dunia (world view) menyederhanakan eksistensi alam di sekitar kita sebagai sumber daya ekonomi belaka. Nilai alam karenanya diukur dari kegunaanya secara ekonomi. Terminologi SDA menghambat bashirah (pandangan tajam batiniah) seperti diajarkan Ibnu Arabi dan kaum spiritualis lainnya. Alam menyimpan unsur-unsur ruh ilahiah yang menyumbangkan kehidupan pada manusia jauh melampau kalkulasi ekonomi.
Jika pun alam kita reduksi semata sebagai sumber daya ekonomi, setidaknya terdapat dua pertanyaan paling mendasar saat ini. Pertama, bagaimana tata kuasa SDA Aceh, dan kedua, bagaimana tata kelolanya. Pertanyaan pertama sering dilupakan. Nampaknya, negara ingin isu ‘tata kuasa’ dianggap selesai. Orang-orang digiring membatasi diskusi pada ‘tata kelola.’ Doktrin lama ‘tanah, air, dan segala isinya dikuasai oleh negara’ masih menguasai alam pikiran kita. Menggiring akademisi, politisi, birokrat, dan bahkan organisasi-organisasi masyarakat sipil terburu-buru lari pada isu kedua, bagaimana seharusnya SDA Aceh dikelola agar menguntungkan semua pihak. Organisasi perlawanan terkuat sekelas GAM pun hanya mampu merundingkan tata kelola SDA kita. Tata kuasa tidak berubah, sepenuhnya masih di tangan pemerintah pusat.
Taqwaddin Husin (2015), membedakan makna tata kuasa dan tata kelola SDA. Tata kuasa mengenai ihwal alas hak, kewenangan, otorita, kewajiban, dan tanggung jawab. Sedang tata kuasa merupakan aspek manajerialnya. Pada aspek ini SDA dikaji dalam bentuk bagaimana perencanaan, koordinasi, pengurusan, pemanfaatan, dan pengawasan.
Buruknya sistem pengelolaan SDA Aceh akibat langsung dari kekacauan pada tata kuasanya. Workshop pakar yang diselenggarakan Perkumpulan Prodeelat pada akhir 2014 mencatat setidaknya 10 isu penting terkait hal ini, yaitu kekacauan aspek koordinasi SKPA Sektor SDA, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan SDA, angka kemiskinan dan pengangguran di sekitar gampong-gampong pemilik SDA yang sedang dikeruk, konflik penguasaan komunitas-negara dalam pengelolaan SDA, konflik manusia dan satwa (gajah, babi, dan lainnya), meningginya risiko bencana ekologi, kerusakan hutan, pencemaran lingkungan, pengakuan dan perlindungan hak masyarakat, dan penegakan hukum dalam sengketa SDA memihak pemilik modal.
Bagaimana pun, belakangan ada sedikit progress menggembirakan. Negara mulai mengakui sebagian SDA dikuasai masyarakat adat setempat. Mahkamah Konstitusi memisahkan hutan adat dari hutan negara. Wilayah-wilayah kuasa dan kelola adat juga mulai diterima negara, selama didaftarkan pada pemerintah nasional (pemerintahan partai politik). Di Aceh, proses pendaftaran ini mulai dilakukan segelintir masyarakat adat mukim. Hingga akhir 2020 capaiannya belum satu persen.
Tapi kenapa rakyat perlu segera menguasai SDA komunal di sekitar mereka? Jawabannya sederhana. Selama SDA dikuasai negara, pengelolaan dan pemanfaatannya diatur hukum buatan partai-partai politik. Partai-partai politik membela kepentingan korporasi-korporasi industri keruk dan perkebunan skala besar. Rakyat bukan saja tidak diuntungkan, bahkan seringkali tereksploitasi dalam berbagai bentuk. Masyarakat semakin terpapar risiko bencana, dampak aktivitas bisnis korporasi rakus lahan dan rakus pengerukan isi perut bumi.
Faktanya, elite partai politik, pemilik perusahaan raksasa, penguasa institusi keamanan meraup keuntungan penguasaan SDA untuk diri mereka sendiri, tetapi atas nama negara dan kepentingan nasional. Seluruh tata kelola SDA mereka berpijak pada keyakinan kapitalisme. Mengejar doktrin pertumbuhan tanpa batas, mempercayai dogma ekonomi sistem menetes, dan meningkatkan kerentanan rakyat di semua lokasi industri bisnis ekstraktif mereka bekerja.
Bagaimana dengan penguasaan dan pengelolaan SDA oleh masyarakat adat? Penerima Nobel Ekonomi tahun 2009, Elinor Ostrom percaya model-model penguasaan dan pengelolaan oleh komunitas seperti itu merupakan model terbaik dan telah terbukti sepanjang sejarah manusia. Ostrom menjelaskan realitas ini melalui teorinya common pool resource (sumber daya kepemilikan bersama) (Ostrom, 1999). SDA yang dikuasai dan dikelola secara komunal oleh masyarakat adat secara rasional lebih terurus dan terawat secara berkesinambungan mengingat masyarakat setempat menggantungkan kelanjutan hidup mereka pada sumber daya tersebut. Prinsip dasarnya bukan mengejar pertumbuhan. Terpenting dari segalanya menghitung “sustainabelitas”-nya dan pola distribusi kemanfaatnya yang meluas bagi warga adat sekitarnya. Prinsip-prinsip utama ini berpijak atas keyakinan akhlak kehidupan, dalam kajian etika disebut bioetik. Negara dan partai politik tidak memiliki kepantasan mengelola SDA sejak institusi-institusi ini membuang politik bioetik dari aturan main mereka.
Apa Itu Bioetik?
Istilah bioetik di sini merujuk pada makna yang diajukan Ali Shomali (2011) dalam bukunya Relatifisme Etika: Analisis Prinsip-prinisp Moralitas (Buku ini diadaptasikan dari disertasi doktoralnya di Universitas Manchester, Inggris). Bioetik (etika kehidupan) sederhananya adalah etika sosial yang dibedakan dari etika individual. Dalam tradisi Islam, studi moral individual (ilmu akhlak) lebih menitikberatkan pada kajian kondisi batin seseorang yang mempengaruhi tindakan-tindakannya. Sementara bioetik adalah ranah kajian moral pada tindakan-tindakan bersama sebuah masyarakat dan pelembagaan tindakan-tindakan itu melalui institusi politik, ekonomi, dan pendidikan.
Baik etika sosial maupun etika individual keduanya selalu menghadapi pertanyaan dasar filsafat praktis (hikmah amali), apakah nilai moral (baik-buruk) memiliki realitas faktual atau opinian belaka? Diskursus ini telah membelah filsafat etika kedalam dua mazhab: relatifisme dan absolutisme (universalisme). Relatifisme moral didefinisikan sebagai sebuah pandangan yang meyakini tidak adanya moralitas yang benar atau paling masuk akal. Nilai baik dan buruk ketika dilekatkan pada tindakan tertentu- baik tindakan individual maupun sosial- sepenuhnya opinian dan berbasis kesepakatan (konvensi) semata. Baik-buruk keduanya konsep opinian (iktibari) yang tidak berwujud dalam realitas independen.
Shomali memetakan relatifisme moral kedalam aliran deskriptif, meta-etika, dan normatif, lalu ia mengajukan kritikan terhadap masing-masing aliran ini. Sebagai penganut universalisme moral, Shomali telah berusaha merumuskan ukuran universal pada gagasan ‘baik’ dan ‘buruk’. Baginya, apapun yang bermanfaat dan membuat kualitas kehidupan kita lebih tinggi adalah baik. Apapun yang merugikan keberadaan kita dan menyebabkan kualitas kehidupan yang lebih rendah adalah buruk (Shomali, 2011: 304). Pandangan absolutisme etikanya ini dibangun dari beberapa konsep kunci, diantara yang terpenting adalah cita-cita moral, hakikat moral, dan asal-usul moral.
Arus-utama filsafat etika yang tumbuh berkembang dalam masyarakat Aceh sejalan dengan pandangan Shomali. Bahwa baik-buruk memiliki fakta-fakta dalam realitas yang dapat dinilai dan dianalisis secara ilmiah. Hal ini dapat dimengerti karena pandangan dunia (world view) masyarakat Aceh umumnya dibentuk oleh filsafat Islam, terutama aliran ‘Irfani (tasawuf teoritik) Ibnu Arabi yang dipromosikan meluas sejak awal sejarah peradaban darussalam Aceh oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Assumatrani. Di atas mazhab absolutisme etika inilah sistem moral adat dan sistem hukum adat Aceh dibangun.
Adat di Aceh, dan demikian juga di dunia melayu Asia Tenggara, sebagaimana ditulis dalam desertasi Muhammad Hannan Hassan (2014) di MacGill University tidak selalu bermakna aturan atau hukum. Seringkali adat bermakna etika itu sendiri, yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota komunitas dan hubungan-hubungan transaksional, seperti perdagangan, kontrak-kontrak, dan memberi pedoman pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan bersama. Jauh hari sebelum Hassan menjelaskan adat sebagai hukum dan etika sosial, Hazairin telah menegaskan hal tersebut dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor hukum tahun 1952 (Hassan, 2014).
Adat sebagai etika dan hukum sebagaimana dinyatakan Hazairin agak membingungkan jika proposisi itu dibawa dalam konteks Aceh. Dalam tamadun Aceh, adat tidak pernah menjadi hukum, begitu juga sebaliknya. Masing-masing konsep ini (adat dan hukum) punya maknanya sendiri dan wujudnya sendiri yang terpisah. Adat adalah aturan negara seperti kanun (undang-undang), hukum adalah aturan agama (syariat). Dalam tata negara Aceh lama abad 17, ada undang-undang dasar dalam dokumen Kanun Asasi, ada aturan pemerintah dalam dokumen Kitab Adat Aceh, dan ada aturan syariat dalam kitab hukum syiah kuala: Mir’atu Thullab. Adapun di wilayah terkecil struktur pemerintahan, tingkat mukim dan gampong adat merupakan ‘aturan rakyat’ yang dihasilkan melalui musyawarah (duek pakat). Saat ini yang tersisa hanyalah adat di wilayah gampong dan mukim (federasi gampong-gampong).
Adat adalah pelembagaan akhlak dalam sistem kehidupan masyarakat Aceh. Aturan-aturan adat di Aceh harus dipahami sebagai pengkristalan nilai-nilai yang dibangun berbasis pengetahuan masyarakat Aceh terkait segala hirarki realitas yang secara ontologis dibuktikan wujudnya dan secara epistemologis dapat diketahui dengan pasti atau berkemungkinan besar benar pada masanya. Jika demikian maka aturan-aturan adat sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu seiring perubahan pengetahuan, sejauh berakar pada komponen asasinya. Akhlak itu sendiri, kata Taqi Misbah Yazdi (2006) juga memiliki bagian yang absolut dan relatif (diskusi lebih lanjut terkait relativisme dan absolutisme akhlak dapat dilihat dalam buku filsafat akhlaknya Misbah Yazdi [falsafah e akhlaq] yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ‘Meniru Tuhan’, Al-Huda, 2006). Pada bagian yang relatif akan terus berubah dari waktu ke waktu. Maka adat pun mengikuti pola tersebut. Dengan kata lain, adat selalu dapat diproduksi terus menerus dalam ruang-waktu masa kini dan masa depan. Adat bukan masa lalu. Apalagi masa lalu yang baru ditemukan.
Lalu apa yang membedakan sebuah aturan adat dari non-adat seperti hukum nasional bila diproduksi di masa depan? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengujian keadatannya secara isi dilihat apakah aturan-aturan tersebut merupakan manifestasi dari akhlak terpuji atau bukan. Ada cara lain yang lebih membantu. Dengan membangun rumusan nalar dasar apa sebenarnya yang tersembunyi di belakang aturan-aturan adat. Saya menemukan lima nalar dasar yang bekerja di belakang aturan adat, yaitu kolektifisme (komunalisme), persandingan (bukan kompetisi), perdamaian (keharmonisan), memastikan penghidupan berkelanjutan (mengurangi risiko bencana dalam arti luas), dan spiritualisme (melihat segala sesuatu di alam semesta memiliki jiwa-batin). Berhadap-hadapan dengan nalar yang melandasi aturan-aturan musuh adat, diantaranya individualisme, kompetisi (pertandingan), mengejar keuntungan sebesar-besarnya (tamak) meski merusak dan mengekploitasi alam dan manusia, dan materialisme (segala sesuatu hanya materi terinderawi dan bernilai ekonomi). Sebuah aturan yang dibangun oleh masyarakat mukim-gampong di masa depan dapat disebut adat apabila dibangun di atas penalaran-penalaran adat. Itu sebabnya Adat berkedudukan sebagai bioetik dan melembagakan bioetik itu dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik Aceh.
Politik Bioetik SDA
Bioetik adat menganut doktrin klasik: “apa yang baik maka hukum memerintahkannya dan apa yang buruk maka hukum melarangnya.” Doktrin ini membuat hukum adat, secara teoritis tidak dapat dipisahkan dari etika (moral sosial). Ini mensyaratkan pembuktian ontologis, ‘baik itu ada’ dan ‘buruk itu ada (faktual)’. Jadi, gugatan terhadap kebaradaan baik dan buruk dalam realitas bertentangan dengan doktrin dasar hukum adat. Sebagai contoh, menebang pohon kayu yang berada dekat sumber mata air dapat merusak sistem air di lokasi tertentu adalah buruk dan melindungi pohon dalam ukuran tertentu dari sumber mata air yang dapat menjamin keberlansungan jangka panjang fungsi mata air itu adalah baik. Memonopoli lahan untuk satu keluarga ribuan hektar yang menyebabkan anggota masyarakat di sana terpaksa menjadi buruh pemilik lahan adalah buruk dan membatasi penguasaan lahan untuk masing-masing keluarga agar distribusi lahan lebih meluas adalah baik. Tindakan yang dibuktikan baik inilah yang diperintahkan oleh hukum adat dan tindakan-tindakan buruk tersebut dilarang dalam hukum adat di Aceh.
Pelekatan nilai baik dan buruk pada satu tindakan dibangun atas kesimpulan akal praktis (practical reason), bukan berbasis teks apapun (termasuk wahyu) [Akal praktis (practical reason) dibedakan dengan akal teoritis. Dalam filsafat Islam biasa digunakan istilah aqal amali atau hikmah amali yang di Indonesia lebih sering digunakan dengan akal budi]. Jika baik dan buruk diputuskan melalui teks wahyu, maka hal itu disebut hukum agama (atau di Aceh pra-Indonesia disebut hukom). Mengikut filsafat etika Misbah Yazdi (2005) dan Ali Shomali (2011), sebuah tindakan dapat dilekatkan nilai baik dan buruk berdasarkan tiga hal, pertama, baik dan buruk itu melekat pada tindakan itu sendiri, kedua, baik dan buruk harus dilihat dari tujuan sebuah tindakan diambil, dan ketiga, nilai baik dan buruk ditentukan oleh konteks sebuah tindakan diambil. Ketiga hal ini mengukuhkan ontologi baik dan buruk dalam realitas independen, meski pelekatannya pada beberapa tindakan masih memerlukan analisis yang benar terhadap konteks dimana tindakan itu dilakukan. Sebagai contoh, dalam adat aceh berbohong itu baik jika untuk menyelematkan nyawa seseorang, meskipun nyawa seorang pencuri. Tindakan bohong dan jujur tidak dapat dilekatkan nilai baik dan buruk sebelum menganalisis konteks dimana dan kapan tindakan itu diambil.
Keberadaan baik dan buruk akhirnya sangat bergantung pada keberadaan fitrah (komposisi primordial yang dikongsikan semua manusia dalam semua ruang-waktu). Dalam filsafat hukum adat Aceh, manusia memiliki fitrah yang dapat terjaga dan menyempurna, juga pada saat yang sama dapat terluka dan rusak. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan manusia lah yang menentukan dan mempengaruhi kondisi fitrahnya, berkembang atau terlukai. Pikiran dan tindakan yang dapat membantu perjalanan fitrah manusia menyempurna adalah pikiran dan tindakan yang baik. Sebaliknya, pikiran dan tindakan yang dapat melukai dan merusak fitrah merupakan pikiran dan tindakan yang buruk. Hukum ini berlaku pada tindakan individual dan tindakan sosial sekaligus. Intinya, jika pandangan filsafat etika menafikan keberadaan fitrah, maka pada saat yang sama argumentasi tentang keberadaan baik dan buruk tidak mungkin dapat dipertahankan.
Hukum nasional tidak dibangun di atas filsafat hukum seperti ini. Mengingat moral dianggap sesuatu yang abstrak dan tidak dapat diuji secara ilmiah positivisme. Doktrin dasar hukum nasional adalah ‘keteraturan’ dan ‘kepastian hukum. Baik-buruk hanyalah opini dan kesepakatan sebagaimana halnya keberadaan bahasa. Hukum nasional karena dibangun berdasarkan positivisme hukum maka hanya berpegang pada prinsip-prinsip Friedmann (1996)- sebagaimana dikutip Johni Najwan (2010)- adalah (1) hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being), (2) tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, (3) analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis, (3) keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas, (4) penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.
Posisi sentral konsep baik-buruk dalam filsafat hukum adat tergantikan dengan konsep baru yang biasa disebut ‘kepentingan’ (interest) dan ‘para pihak (stakeholders). Teks hukum nasional selalu mengacu pada tarik menarik kepentingan berbagai pihak (atau para pihak) yang dianggap ada dalam sebuah komunitas bangsa (nation). Prinsip dasarnya adalah hukum nasional harus menjamin kepentingan nasional yang tidak pernah dapat diketahui nilai baik-buruknya.
Seringkali kepentingan nasional itu adalah pembodohan publik, menyembunyikan sebuah realitas sesungguhnya bahwa kepentingan nasional selalu diwakili oleh kepentingan pemilik modal (kapitalis). Dari perspektif studi hukum kritis, teks hukum tidak pernah netral, selalu ada kepentingan pihak tertentu yang dimenangkan. Sebuah undang-undang kelautan atau kehutanan dalam hukum nasional pasti memenangkan kepentingan kekuatan pasar karena partai politik pembuat undang-undang itu bekerja melayani pemodal. Berbeda dengan sebuah aturan adat kelautan dan kehutanan [di Aceh, aturan adat kelautan disebut hukum adat laot dan aturan kehutanan disebut hukum adat uteun] disusun berdasarkan pembuktian ada tindakan di laut yang dipandang baik seperti membantu nelayan yang rusak mesin perahunya di tengah lautan, lalu dinyatakan sebagai kewajiban seluruh anggota nelayan di laut Aceh. Ada tindakan yang dipandang buruk seperti mengkapling (memonopoli) wilayah laut tertentu untuk perusahaan-perusahaan swasta, lalu dilarang oleh hukum adat laut.
Itu artinya, sebuah aturan tidak bisa disebut hukum adat meskipun dibuat oleh lembaga-lembaga adat dan disepakati melalui musyawarah komunitas adat jika tidak berangkat dari pengakuan pada keberadaan baik-buruk sebagai muatan dalam pikiran-pikiran tertentu dimana tindakan-tindakan yang lahir dari pikiran-pikiran itu juga bermuatan nilai baik-buruk pula. Sebab doktrin ini jika dihilangkan, maka akan digantikan dengan doktrin baru, hanya kepentinganlah yang ada. Proposisi-proposisi ini tidak menafikan sebagian dari isi hukum hanya mengatur tindakan-tindakan yang tidak bernilai moral, tidak baik juga tidak buruk. Beberapa aturan dibuat hanya untuk ketertiban dan keteratutan belaka. Misalnya, berkendaraan di jalur kiri atau kanan keduanya tidak bernilai moral, tidak baik dan juga tidak buruk. Aturan-aturan jenis ini di Aceh disebut reusam (prosedur tetap). Jika melanggar keteraturan dapat menyebabkan kecelakaan dan kerugian orang lain, pada saat itulah memilih jalur kiri dan kanan kemudian bernilai moral.
Hukum adat dan hukum nasional karena itu bertolak dari doktrin yang berbeda. Hukum adat berangkat dari ontologi bioetic (etika kehidupan sosial) dan hukum nasional berangkat dari ontologi interest (kepentingan para pihak). Hukum nasional positivis menafikan keberadaan bioetic. Hukum adat mengakui adanya interest tetapi harus dikalahkan jika berlawanan dengan bioetic. Di sinilah letak supremasi bioetik dalam politik adat.
Dalam pengamatan saya, partai-partai politik di Indonesia bekerja membuat hukum nasional dengan bersetia penuh pada doktrin ini. Sejauh ketertiban, keteraturan, dan kepastian hukum dapat dicapai maka konsep nilai baik dan buruk pada tindakan sosial yang berelasi dengan ontologi fitrah manusia benar-benar tidak berguna. Seluruh pengetahuan yang menopang sistem hukum nasional Indonesia juga tidak membuktikan keberadaan nilai moral sosial Menariknya, hukum-hukum nasional yang dibuat oleh pemerintahan masyarakat hukum adat (selanjutnya disingkat pemerintahan adat) di tingkat mukim dan gampong berangkat dari premis-premis dasar filsafat hukum adat. Pemerintahan adat di Aceh selalu konsisten memenangkan supremasi bioetik dalam semua jenis hukum yang mereka bentuk, baik hukum adat maupun hukum nasional. Kesetiaan masyarakat hukum adat pada supremasi bioetik dalam membuat hukum nasional lebih mudah dipertahankan karena komunitas tidak memiliki ketergantungan ekonomi pada perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan jenis perusahaan lainnya yang eksploitatif.
Sementara itu masyarakat Mukim telah memiliki sistem pengetahuan dan praktik terkait tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam dalam berbagai ruang penghidupan seperti kawasan hutan (uteun/uten), kebun pinggiran hutan (seuneubok), padang pengembalaan (padang meurabe/pereweren), sungai (krueng/weh), hingga pantai dan laut (laot). Menurut Sanusi M. Syarif (2015), pola penguasaan dan pengelolan SDA berbasis adat di Aceh bertumpu pada beberapa aspek, yaitu: Pengaturan penguasaan dan tata kelola berbasis adat mukim atau persekutuan mukim, (2) Proses pengaturan pemanfaatan bersifat partisipatif, (3) Pengakuan dan Perlindungan hak-hak bersama (komunal) dan hak warga, (4) Pendistribusian hak berdasarkan keadilan dan kepatutan, (5) Pengambilan keputusan berbasis adat dan mufakat. Keputusan-keputusan, (6) Akomodatif terhadap kepentingan kelompok rentan, (7) Adaptif terhadap perubahan zaman, (8) Pengutamaan keberlanjutan sumber daya alam dan keberlanjutan pemanfaatan, (9) Penerapan Pengurangan risiko bencana, (10) Pengutamaan Pencegahan kerusakan lingkungan, (11) Pengawasan berbasis masyarakat, dan (12) Penindakan dan penegakan aturan berbasis adat.
Sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam berbasis adat mendapat legitimasi yang kuat setelah Putusan MK No. 35/2012 dibaca tanggal 16 Mei 2013, antara lain berisi: (a) Kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal tersebut “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, (b) Pasal 5 (1) dan (2) bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, (c) Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 41/1999 menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” (h.187).
Putusan MK No. 35/2012 tersebutlah yang mendasari mukim-mukim menetapkan aturan adat tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam melalui qanun mukim masing-masing. Saya mengumpulkan Qanun Mukim Gandapura Timu (Kab. Bireuen), Qanun Mukim Balee Labang (Kab. Bireuen), Qanun Mukim Leutung (Kab. Pidie), Qanun Mukim Kunyet (Kab. Pidie), Qanun Mukim Lango (Kab. Aceh Barat). Qanun-qanun tersebut semua ditulis mengikuti format dan sistematika hukum nasional. Selain itu, beberapa mukim memilih mengatur penguasaan dan pengelolaan SDA mereka dengan hukum adat, seperti Mukim Simpang Tiga (Kab. Bener Meriah), Mukim Lampanah (Kab. Aceh Besar), dan Mukim Lamteuba (Kab. Aceh Besar).
Dalam Qanun Mukim Lango misalnya, konsepsi penguasaan (tata kuasa) dan konsepsi pengelolaan (tata kelola) dipisah pengaturannya. Terkait tata kelola diatur dalam beberapa pasal. Sedangkan terkait tata kuasa diatur dalam Pasal 3 dengan rincian sebagai berikut: (1) Seluruh wilayah hutan adat mukim dikuasai bersama oleh masyarakat adat mukim dan dilaksanakan oleh pemerintahan mukim; (2) Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ; kewenangan mengatur, kewenangan menetapkan hubungan hukum (memberi izin), kewenangan memberikan persetujuan, kewenangan mengelola, kewenangan mengawasi dan kewenangan menegakkan adat. (3) Imeum Mukim dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan musyawarah mukim; (4) Musyawarah Mukim sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dihadiri oleh sekurang-kurangnya unsur imeum mukim, tuha peut mukim, imeum chik, lembaga adat mukim, para keuchik dan imeum meunasah dalam wilayah mukim.
Demikian pula dalam qanun-qanun mukim lainnya, seperti Gandapura Timu, Leutung, dan Kunyet semua ditulis berbasis nalar komunalisme, penghidupan berkelanjutan, memastikan keharmonisan sosial, dan spiritualisme. Aturan-aturannya memastikan penjagaan, distribusi meluas, pemanfaatan bersama-sama, dan pembatasan penguasaan pribadi. Singkatnya, meskipun qanun-qanun ini merupakan hukum nasional tetapi ditulis berbasis doktrin supremasi bioetik. Sebuah doktrin yang tidak mungkin punya tempat dalam di gedung partai-partai politik, DPR semua tingkatan, dan kantor-kantor pemerintahan yang berada di luar wilayah adat. Terutama di luar wilayah adat Aceh. Saya kira ini kontribusi besar masyarakat hukum adat dalam pembentukan hukum nasional. Sebuah kontribusi yang perlu diteruskan ke wilayah lebih luas di luar wilayah adat. [Sumber: Buku “Aceh 2021”]
Daftar Rujukan
Hannan Hassan, Mohammad. (2014). Islamic Legal Thought and Practices of Seventeenth Century Aceh: Treating the Others. PhD Dessertation McGill University Montreal, Quebec, Canada.
Hurgronje, C. S. (1906). The Achehnese. London: E. J. Brill; Luzac & Co.
Husin, T. (2015). Penguasaan dan Pengelolaan Summberdaya Alam Berbasis Adat di Aceh. Makalah disampaikan dalam worskhop pakar mengembakan model penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis adat di aceh. Tanggal 23 April 2015 di Hotel Lading, Banda Aceh.
Ito, T. (1984). The World of the Adat Aceh, a Historical Study of the Sultanate of Aceh. PhD diss., Australian National University.
MAA. (2008). Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh.
Najwan, J. (2010). Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, 2(3). http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/199/176
Ostrom, E. (1999). Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge: Cambridge University Press.
Syarif, S. M. (2015). Pola Penguasaan dan Pengeloaan Sumberdaya Alam Berbasis Adat di Aceh. Makalah disampaikan dalam worskhop pakar mengembakan model penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis adat di aceh. Tanggal 23 April 2015 di Hotel Lading, Banda Aceh.
Shomali, M. A. (2001). Ethical Relatifism, An Analysis of the Foundation of Morality. London: ICAS.
Yazdi, T. M. (2006). Meniru Tuhan, Antara yang Terjadi dan yang Mesti Terjadi. Jakarta: Al-Huda.