SAGOETV | MEUREUDU – Jurnalis Ismail M. Adam alias Ismed, kontributor CNN Indonesia TV di Pidie Jaya, menjalani sidang pertamanya di Pengadilan Negeri Meureudu pada Rabu, 19 Maret 2025. Sidang tersebut berlangsung dengan agenda pembacaan dakwaan serta pemeriksaan saksi-saksi yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Kurniawan serta dua hakim anggota yaitu Ranmansyah Putra Simatupang dan Wahyudi Agung Pamungkas.
Selaku penuntut umum dalam perkara ini hadir M. Faza Adhiyaksa dan Suheri Wira Fernanda, sementara itu yang hadir sebagai penasihat hukum serta mewakili kepentingan terdakwa Iskandar selaku pelaku penganiayaan terhadap Ismed adalah Taufik Akbar dan Aiyub. Tim dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh juga ikut serta memantau jalannya persidangan yang berlangsung selama lebih kurang 2,5 jam.
KKJ Aceh dalam siaran persnya menjelaskan bahwa sidang ini tidak digelar dalam taraf Ismed sebagai jurnalis yang menjadi korban penganiayaan karena kerja-kerja jurnalistiknya. Dengan kata lain, Ismed dalam persidangan ini hanya ditempatkan sebagai korban penganiayaan yang pelakunya ditargetkan dengan pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sewaktu kasus ini masih pada level penyidikan di tingkat kepolisian hingga berkas perkara sampai ke meja kejaksaan, KKJ Aceh telah mewanti-wanti aparat penegak hukum bahwa penganiayaan ini erat kaitannya dengan pekerjaan korban sebagai jurnalis. Karena itu, yogianya, pelaku dijerat dengan pasal 351 ayat 1 KUHP juncto pasal 18 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 tersebut menjelaskan bahwa menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat 2 dalam UU yang sama dan dapat dipenjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Ketika juncto diberlakukan, berat dan ringan hukuman yang akan diterapkan atas pelaku nantinya mesti mengacu pada pasal 351 ayat 1 KUHP selaku pasal yang memiliki kadar hukuman yang jauh lebih berat ketimbang pasal 18 UU Pers. Tetapi hal ini tentu tidak jadi soal. Mengapa? Ini karena alasan utama mengapa pasal 18 UU Pers menjadi penting untuk diikutsertakan dalam berkas penuntutan tidak lain tidak bukan demi adanya “penghormatan” terhadap kemerdekaan pers sebagaimana yang diusung oleh Ismed selaku jurnalis yang menjadi korban penganiayaan.
Dalam kasus ini, KKJ Aceh menilai bahwa selain menganiaya, pelaku juga melanggar pasal 4 ayat 2 UU Pers yaitu tepatnya pada bagian “penyensoran”. Ketentuan umum UU Pers sendiri telah menjelaskan secara rinci bahwa penyensoran merupakan penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. Selama persidangan, berkali-kali para saksi mengaku mendengar pelaku menegaskan kepada korban bahwa apabila hendak meliput maka wajib meminta izin terlebih dahulu kepada dirinya selaku kepala desa.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ismed mengalami penganiaayaan usai meliput inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan kepala dinas kesehatan setempat ke sebuah polindes (pondok bersalin desa) yang dipenuhi semak belukar. Polindes tersebut kebetulan berada di desa di mana Iskandar menjabat sebagai kepala desa. Di muka persidangan, pelaku sendiri tidak pernah membantah bahwa ia memang pernah melontarkan kalimat yang menurut KKJ Aceh masuk ke dalam ranah penyensoran.
Perlu dicatat bahwa punca (akar) masalah yang membuat Iskandar berang, berdasarkan keterangan salah seorang saksi di dalam persidangan, adalah video yang diunggah oleh Ismed ke akun media sosial TikTok yang menayangkan hasil sidak bersama kepala dinas kesehatan. Video ini sendiri lebih dulu mengudara sebelum berita yang diliput oleh Ismed tayang di sebuah portal berita daring serta CNN Indonesia TV. Namun, kendati Iskandar menganiaya diakibatkan karena video yang viral di TikTok pribadi Ismed, yang notabene tidak ada kaitannya dengan produk jurnalistik sama sekali, unsur penyensoran tetap saja berlaku.
Itu karena musabab penganiayaan yang dilakukan oleh Iskandar harus ditarik dari kalimat yang ia lontarkan sewaktu melakukan tindakan penganiayaan terhadap Ismed. Yakni karena korban tidak pernah meminta izin terlebih dahulu kepada dirinya sewaktu melakukan peliputan. Belum lagi, setelah penganiayaan terjadi, CNN Indonesia TV menayangkan berita yang Ismed liput, yang secara tidak langsung telah melengkapi unsur penyensoran yang dimaksud. Namun, kendati kesempatan diikutsertakannya pasal dari UU Pers dalam kasus ini sudah tertutup rapat karena persidangan di pengadilan telah dimulai, KKJ Aceh tetap akan memantau persidangan guna memastikan agar pelaku menerima akibat dari perbuatannya.
Sementara itu, perlu dicatat bahwa sebelum sampai ke pengadilan, pihak Kejari Pidie Jaya sempat memfasilitasi upaya perdamaian antara Ismed dengan pelaku melalui mekanisme Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Upaya ini berlangsung di kantor kejari setempat yang ikut menghadirkan istri dan anak pelaku pada 10 Maret 2025. Namun, Ismed tentu saja lebih memilih membawa kasus ini ke pengadilan agar pelaku dapat dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga upaya Restorative Justice tersebut tidak pernah menemukan titik temu. Dalam persidangan, Hakim Ketua Arif Kurniawan juga sempat menawarkan kembali upaya yang sama secara persuasif, yang lagi-lagi ditolak oleh Ismed.
Seperti yang diketahui, kemerdekaan pers sebagaimana UU No. 40/1999 tentang Pers itu merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Restorative Justice yang difasilitasi oleh kejari ini sedari awal yogianya mesti melihat syarat yang diajukan oleh aturan internal kejaksaan sebagaimana dapat dilihat pada pasal 4 ayat 1 Perja No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Bahwa, penghentian penuntutan berdasarkan Restoratove Justice dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi yang dalam hal ini tidak lain tidak bukan ialah UU No. 40/1999 tentang Pers itu sendiri.
Seandainya mekanisme Restorative Justice dalam kasus Ismed ini berhasil, maka ditakutkan akan menjadi semacam yurispudensi dan mulai diterapkan terhadap banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis pada masa yang akan datang. Tentu saja apabila hal ini terjadi, UU Pers yang selama ini menjadi tumpuan perlindungan kebebasan pers dan jurnalis akan kehilangan martabatnya. Lagi-lagi perlu ditegaskan di sini bahwa Indonesia telah secara khusus memberikan perlindungan yang mendasar, menyeluruh, dan profesional terhadap jurnalis melalui pasal 8 UU Pers tadi. Oleh karena itu, pendekatan dengan UU Pers terhadap kasus penganiayaan jurnalis menjadi penting sebagai bagian dari kewajiban aparat penegak hukum selaku alat negara dalam melindungi pers sebagai pilar keempat demokrasi di negara ini.
Restorative Justice sendiri dalam konteks peradilan pidana merupakan hal yang lumrah bahkan mekanisme ini dapat diterapkan pada semua tahapan, baik itu pra-ajudikasi, dalam hal ini penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun juga pada tahapan ajudikasi atau persidangan. Bahkan jika memungkinkan dapat juga diterapkan pada tahap purna ajudikasi atau pemasyarakatan. Namun, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis, yang dampaknya bahkan melampaui korban itu sendiri karena dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis koheren dengan hal lain terutama hak asasi manusia yang di dalamnya berkelindan banyak hal seperti hak publik untuk tahu, maka ada UU Pers yang bisa dijadikan sebagai rujukan selaku lex speacialis.
Di sini, KKJ Aceh menaruh sejumlah poin demi merespons kembali kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis Ismail M. Adam alias Ismed:
1. Meminta hakim menjatuhkan vonis seberat-beratnya atas pelaku kekerasan terhadap Kontributor CNN Indonesia TV Ismail M. Adam alias Ismed;
2. Meminta aparat penegak hukum baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan untuk mengedepankan perspektif perlindungan terhadap jurnalis dan penegakan kemerdekaan pers dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis;
3. Meminta aparat penegak hukum baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan untuk tidak menggunakan mekanisme Restorative Justice dalam menangani kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis;
4. Sejatinya pers itu bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat dalam memperoleh informasi terjamin, karena itu seluruh elemen masyarakat termasuk aparatur pemerintahan serta aparat penegak hukum yogianya menghormati setiap kerja jurnalistik yang dilaksanakan berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap kemerdekaan pers;
5. Apabila terdapat pihak yang keberatan dengan sebuah produk jurnalistik atau pemberitaan, maka terdapat mekanisme seperti yang telah diatur UU Pers dalam hal ini dengan menggunakan hak jawab/koreksi atau melakukan pengaduan ke Dewan Pers;
6. Mengimbau para jurnalis untuk senantiasa mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme;
7. Mengimbau para jurnalis yang menjadi korban kekerasan untuk melaporkan setiap bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan
8. Mengutuk segala bentuk tindakan yang mengarah kepada penghalang-halangan kerja jurnalistik.
Sepintas tentang Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh
KKJ Aceh merupakan bagian dari KKJ Indonesia. KKJ Aceh dideklarasikan pada 14 September 2024, yang saat ini beranggotakan empat organisasi profesi jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Selanjutnya, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). []