Oleh: Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL
Staf Khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Bidang Adat.
Sosok Biografi kali ini, SAGOE ID mengangkat tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Putra Bangsa yang memiliki jiwa patriotisme dan berkontribusi besar dalam sejarah pra dan paska kemarderkaan Bangsa Indonesia. Dari Aceh untuk Indoesia. Simak tulisan Dr M Adli Abdullah yang saat ini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Bidang Adat. Sebelumnya menggeluti kajian sejarah dan hukum adat di Indonesia.
Di samping Syarikat Islam di Aceh juga telah lahir PARINDRA (Partai Indonesia Raya), kemudian PUSA (Pusat Ulama Seluruh Aceh) Kegiatan Parindra di Aceh untuk menuntut Indinesia Merdeka, telah cukup memusingkan PID (Politiek Inlichtinge Dienst) Polisi Rahasia Belanda.
Salah Seorang pendiri Parindra di daerah Aceh adalah pemuda Hamid Azwar yang dimasa remajanya banyak memberi andil dan partisipasinya dalam mengembangkan pergerakan kebangasaan menurut Indonesia Merdeka.
Parindra adalah hasil peleburan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) dan Budi Utomo di bawah pimpinan pusat Dr. Sutomo dan M.H Thamrin.
DIPERINGATKAN ASISTEN RESIDEN BELANDA
Di zaman Belanda, seorang Asisten Residen Belanda pernah memperingkatkan Teuku Hamid Azwar melalui Teuku Chik Muhammad Bachrumsyah di Samalanga. Asisten Residen Belanda itu mendapat laporan bahwa adiknya yang bungsu, Teuku Hamid Azwar, sedang mengembangkan pergerakan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda di Samalanga dan sekitarnya.
Dengan tuntunan dari Titalay, Inspektur Aceh Trem, pada usia 24 tahun pemuda Teuku Hamid Azwar adalah salah seorang pendiri Parindra di Aceh. Kemudian Teuku Hamid Azwar diangkat oleh Dr. Sutomo, Ketua Umum Parindra di Surabaya, sebagai Ketua Parindra di Samalanga. Sementara itu, Titalay diangkat sebagai Ketua Parindra di Kutaraja dan membawahi daerah Aceh. Hanya ada dua cabang Parindra di Aceh, yakni di Kutaraja dan Samalanga.
Dalam buku ATJEH EN DE OORLOG MET JAPAN oleh Dr. A.J. Piekaar disebutkan bahwa “In Samalanga. Ultimo Februari werd door enige vooraanstaande personen in dit landschop een ‘Parindra’ groep opgericht, met als voornaamste doel het vormen van een cooperatief handel-slichaam. Tot de promotors behoorden o, a Teukoe Abdoel Hamid” yang berarti: di Samalanga….. pada hari terakhir bulan Februari, di daerah ini dibentuk sebuah partai “Parindra” oleh beberapa orang terkemuka dengan tujuan utama untuk membentuk sebuah badan usaha kerja sama. Salah seorang promotornya adah Teukoe Abdoel Hamid (nama Teuku Abdul Hamid Azwar pada saat itu belum memakai Azwar).
Sebagai remaja, Hamid Azwar sejak muda sudah tertarik dan mengikuti perkembangan pergerakan kebangsaan yang berpusat di Jawa. Menurut sepupunya Teuku Hamad Meuraxa ketika diwawancarai oleh Teungku A.K. Yakobi di Jakarta, Teuku Hamid Azwar pernah duduk di kelas satu MULO aman penjajahan Belanda, tetapi kemudian sebagai anak Uleebalang yang mendapat tunjangan belajar dari pemerintah Belanda sebesar 75 Gulden per bulan, mendapat hukuman dan dikeluarkan dari MULO. Sebabnya tidak lain karena gurunya melihat dari dalam bukunya terjatuh ke lantai gambar Bung Karno sewaktu sedang belajar di dalam kelas. Selain itu, Ketika digeledah oleh gurunya ditemukan juga dalam tasnya buku-buku tentang pergerakan kebangsaan. Keterangan serupa juga diberikan oleh Prof. T Syamsul Bahri .SH, Putra Teuku Nyak Arief Ketika diwawancarai oleh penulis Tgk. AK. Jakob di Medan.
Di Mulo ia sekelas dengan Prof. Dr. Usman Ralibi, Dr. T. Tajaluddin (Ginekolog), Letjen. (Purn) Teuku Aziz (mantan Wakapolri) dan BM. Diah (mantan Menteri Penerangan RI) yang dalam darah mereka juga bergeloran semangat pergerakan kebangsaan.
Karena dikeluarkan dari MULO, Hamid Azwar pindah ke Taman Dewasa di Kutaraja. Di situlah ia bertemu dengan Syamaun Gahara sebagai guru di Sekolah Taman Dewasa dan ia sebagai muridnya.
Pada awal proklamasi kemerdekaan RI di Aceh, Syamaun Gaharu bersama Teuku Hamid Azwar bersama-sama dengan eks Perwira Giyu Gun lainya mendirikan API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang menjadi cikal bakal TNI.
Darah pergerakan kebangsaan yang mengalir dalam tubuhnya menjadi semakin kental karena kini di Sekolah Taman Dewasa ia menemukan apa yang diinginkanya. Di sekolah itu ia memperoleh siraman semangat kebangsaan yang menggugah hati sanubarinya dalam menyongsong fajar kemerdekaan yang akan terbit segera di waktu mendatang.
Salah satu aktivitas anak-anak muda yang digembleng oleh Teuku Hamid Azwar adalah membentuk Pandu Suryawirawan bersama dengan kedua keponakanya Teuku M. Daud dan Teuku Hamzah, yang kemudian berkembang maju di Samalanga. Kegiatan kepanduan ini cukup menarik simpati anak-anak muda yang haus pengetahuan dan bimbingan. Semua kegiatan dan program pandu ini dapat dikembangkan, karena didukung oleh semangat dan dana yang disediakan olehnya.
Pada usia 20 tahun, Teuku Hamid Azwar telah menjadi wiraswastawan dengan berdagang hasil bumi, serta memiliki dan mengelola pabrik penggilingan padi Samalanga, Aceh. Pada awal kemerdekaan dari usaha penggilingan padi ini, membiayai pendirian API (Angkatan Pemuda Indonesia) kemudian menjadi cikal bakal TNI, yang didirikanya bersama Syamaun Gaharu.
Meskipun ada hambatan dari pemerintah kolonial Belanda dengan menahan perkembangan pergerakan kebangsaan dengan adanya Aceh Politik atau istilah yang lebih dikenal “Atjehsche Politiek”, namun Teuku Hamid Azwar bersama abangnya Teuku Ahmad Jeunib masih dapat membangun dan mengembangkan pendidikan nasional Taman Siswa, sekolah pergerakan kebangsaan di Jeunib, Aceh.
Salah satu kegemaran Teuku Hamid Azwar sejak dapat menulis dan membaca di masa kecil adalah membaca buku. Hal ini berlangsung sepanjang hidupnya. Ke kota mana saja, baik di dalam maupun di luar negeri kalau bepergian, ia selalu menyempatkan waktu untuk singgah ke toko buku. Sampai akhir hidupnya sewaktu meninggal dunia pada usia 80 tahun (7 Oktober 1996) karena serangan jantung di Singapura, beliau ditemukan sedang berada di dalam sebuah toko buku di Center Point, Singapura.
Sejak masa remajanya Teuku Hamid Azwar sudah berkenalan dan menjadi pelanggan banyak toko buku di Pulau Jawa. Yang menjadi prioritasnya adalah buku ekonomi, politik, militer dan sejarah. Perkenalannya dengan buku dan majalah sejak usia muda, membuatnya memiliki khasanan dan wawasan yang luas.
Masih sangat jarang sekali atau hampir tidak ada di Aceh orang seusia Teuku Hamid Azwar sudah mengadakan komunikasi atau hubungan sebagai pelanggan tetap toko buku dan majalah dari Pulau Jawa pada zaman Belanda.
Jiwa nasionalis pada dirinya ditanam sejak masa remaja oleh abang kandungnya Teuku Ahmad Jeunib dan pamannya Teuku Cut Hasan Meuraxa, Ketua Muhammadiyah di Aceh.
KESALAHPAHAMAN SUMBER PETAKA
Secara bersama-sama rakyat Aceh berhasil mengusir Jepang angkat kaki dari Aceh sambil merampas senjata mereka. Secara bersama-sama pula mereka berhasil menghadang dan menggagalkan rencana Belanda yang semua ingin masuk dan menduduki Aceh guna mematahkan pertahanan RI Aceh. Kerja sama bahu membahu dalam iklim persatuan yang harmonis, yang selama ini terjalin dalam pengusir penjajah itu, ternyata harus dinodai dengan perang saudara. Kebersamaan dalam perjuangan tanpa pamrih itu dicemari oleh Peristiwa Cumbok yang berlanjut dengan Revolusi Sosial.
Belum pernah Teuku Hamid Azwar tampak sangat bersedih. Ia sering termenung memikirkan perkembangan sesuatu yang tejadi di tanah tumpah darahnya. Aceh yang sangat terkenal dengan kegigihan berjuang melawan penjajah kemudian harus menghadapi peristiwa yang sangat mengerikan, yakni berperang melawan saudara sendiri.
Hati nuraninya seakan berteriak memberontak. Apakah yang dicari dari pertumpahan darah dengan saudara sendiri ini? Dalam perenunganya, Teuku Hamid Azwar merasakan kekecewaan yang sangat mendalam. Perbedaan pendapat yang menyebabkan terjadinya baku tembak antar saudara sering kali tidak didasari permasalahan yang prinsip, tetapi sekedar kesalah-pahaman yang mestinya bisa dijembatani dengan komunikasi yang baik.
Kesalah-pahaman terjadi di Sigli, ketika berlanguns proses peluncuruan senjata Jepang, yang disusul oleh Peristiwa Cumbok yang kemudian berlanjut dengan Revolusi Sosial. Bibit permasalahan yang disebar Belanda melalui politik pecah belah, devide et impera, tampaknya tertanam disebagian kelompok masyarakat Aceh.
Melawan pasukan Jepang dan Belanda komponen pejuan Aceh bisa bersatu dan memenangkan peperangan, akan tetapi dibalik kegagalan itu rakyat Aceh terlibat dalam peristiwa yang sangat tragis dan mengerikan akibat perang saudara.
Anggapan-anggapan yang keliru tentang satu kelompok dari kelompok yang lain dibiarkan tumbuh dan berkembang hingga sekali muncul dalam riak-riak perselisihan pendapat, bahkan Meletus menjadi peperangan yang memilukan. Apakah yang bisa dilakukan untuk mengeliminir, kalau tidak bisa sama sekali menghapuskan perbedaan pendapat tersebut? Itulah yang selalu menjadi pertanyaan Teuku Hamid Azwar.
Belanda atau negara kolonial di mana pun berada, tidak ingin negeri jajahannya hidup dalam suasana persatuan yang terpadu karena terciptanya persatuan dan perdamaian akan mengancam kedudukannya sebagai penjajah. Asumsi inilah yang mendasari Langkah Belanda untuk melakukan berbagai cara sehingga terjadi ketegangan antara Umara dan Ulama, antara Uleebalang dan Uleebalang, atau antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat yang lainya.
Dalam masyarakat Aceh pada masa itu terdapat tiga kelompok yang peranya diperhitungkan dalam. Kelompok masyarakat itu adalah Uleebalang, PUSA, dan Barisan Fujiwara Kikan yang sering disebut Barisan F.
ULEEBALANG
Uleebalang sudah dikenal pada masa Kerajaan Aceh. Mereka diangkat oleh Sultan untuk mengepalai “Nanggro” atau negeri. Istilah Uleebalang itu tidak mengacu pada pengertian Kepala Laskar, melainkan lebih berarti Kepala Pemerintahan Daerah Sendiri Otonom dan Pemangku Hukum Adat di daerahnya. Pengangkatan Uleebalang ditandai dengan surat berstempel kerajaan yang dikenal dengan nama Cap Sikureueng.
Istilah “Nanggro” dipakai untuk menyebut gabungan dari beberapa “Mukim” sedangkan “Mukim”sendiri berarti gabungan dari beberapa kampung.
Pada masa tersebut kekuasaan Uleebalang sangat besar dan memiliki otonomi yang luas. Uleebalang yang disebut juga kalangan bangsawan ini karena kekuasaanya yang sangat besar sering bertindak sebagai penguasa tunggal, sedangkan kekuatan Sultan tinggal formalitas belaka. Kedudukan Uleebalang diwariskan secara turun-temurun dan ditandai dengan pemeberian gelar kebangsawanan. Untuk pria gelar kebangsawanan disebut “Teuku” dan bagi Wanita sebutanya “Cut”, “Cut Nyak” atau “Pocut”. Uleebalang yang berkuasa di suatu daerah otonomi sendiri sering disebut “Teuku Chik” atau “Ampon Chik”.
Sebelum dikuasai Belanda, Aceh dikenal dengan sebutan “Aceh dan daerah taklukanya”. Nama inipun tetap bertahan semasa Belanda berkuasa dengan istilah Belanda “Atjeh en Orderhoorheden”.
Ada sejarahnya mengapa Aceh mendapat julukan demikian. Nama Aceh menunjuk pada Aceh Besar dipimpin oleh tiga orang panglima Sago atau Panglima Sagi XXV Mukin, dan Panglima Sagi XXVI Mukim. Oleh karena itu Aceh Besar juga mendapat sebutan Aceh Lhe Sago.
Daerah-daerah diluar Aceh Lhe Sago adalah daerah yang ditaklukan oleh Aceh. Daerah-daerah tersebut antara lain Pidie, Samalanga, Peureulak, Samudera Pasai dan sebagainya, sebelum ditaklukan oleh Sultan Al-Kahhar, daerah-daerah tersebut merupakan kerajaan tersendiri.
Raja-raja di daerah taklukan ini diberi Sarakata bercap Sikureueng, di mana dicantumkan batas-batas daerahnya. Mereka diberi kekuasaanya yang sangat luas, dan mereka inilah yang kemudian disebut “Uleebalang”.
Ketika Negeri Deli dikalahkan oleh Sultan Aceh, menurut keterangan Prof. Dr. T. Iskandar, Sultan Deli Juga disebut Uleebalang dari kerajaan Aceh, meskipun Sultan Deli tetap berdaulat dinegerinya sendiri. Demikian halnya Perak dan Malaya setelah dikalahkan Aceh, mendapat sebutan yang sama.
Sarakata dengan Cap Sikureueng bukanlah suatu surat pengankatan seperti yang dikenal sekarang dengan istilah bersluit atau surat pengangkatan, melainkan merupakan Oorkonde yaitu piagam atau Giftbrief (surat pemberian). Kalimat dalam Sarakata mempunyai model yang baku, dan Cap Sikureueng modelnya tetap, tetapi nama-nama Sultan yang tercantum dalam cap tersebut mendapat penyesuaian apabila ada penggantian Sultan.
Menurut catatan Dr. A.J Piekaar, Belanda mempertahankan tahanan pemerintahan ada di Aceh, dengan tetap menyebut Uleebalang sebagai Kepala Pemerintahan atau pemangku Adat di daerahnya. Para Uleebalang yang pada masa Sultan Aceh merupakan pemegang Sarakata, diberi kedaulatan oleh Belanda sebagai Zelfbestuurder atau kepala pemerintahan sendiri Otonom yang sering juga disebut Uleebalang. Dalam menjalankan pemerintahanya, Belanda menambah Uleebalang untuk menempati daerah-daerah yang masih kosong, tetapi tidak dalam kedudukan sebagai Zelfbestuurder atau Kepala Pemerintahan Sendiri Otonom.
Meskipun penjabat yang diangkat ini disebut Uleebalang, tetapi mereka tunduk langsung pada seorang Controleur. Beberapa Controleur dibawahi oleh seorang Asisten Residen, dan beberapa Asisten Residen dibawahi oleh seorang Residen.
PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH (PUSA)
Kelompok masyarakat Aceh yang kedua adalah golongan utama yang tergabung dalam organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh, yang lebih dikenal dengan sebutan PUSA. Prakarsa PUSA berasal dari Teungku Andurrahman Meunasah Meucap, seorang ulama besar Matang Geulumpang Dua, Peusangan, Aceh Utara. Ulama ini sangat dekat, bahkan mendapat perlindungan penuh dari Teuku Chik Peusangan Johan Alamsyah, atau yang dikenal dengan sebutan Uleebalang Peusangan.
“Teungku” adalah sebutan untuk ulama besar di Aceh. Gelar yang diberikan ini tidak berlaku turun-menurun. Ulama Besar disuatu daerah sering juga mendapat sebutan “Teungku Chik”.
Menjelang Perang Dunia II Meletus. Diadakan musyawarah besar antara para ulama pada tanggal 15 Mei 1939 di Matang Geulumpang-Dua yang menjadi cikal bakal berdirinya Persatuan Ulama seluruh Aceh. Dalam musyawarah itu, Teungku Mohammad Daud Beureueh terpilih sebagai ketua.
Pada awalnya pendirian PUSA dimaksudkan untuk mengembangkan ajaran islam yang suci dan murni, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Disamping itu juga untuk menghilangkan khilafiah diantara pendapat-pendapat para Ulama. Selain itu PUSA juga ingin menyeragamkan system pendidikan dan mata pelajaran pada sekolah-sekolah islam yang banyak didirikan di Aceh pada masa itu.
Walaupun PUSA tidak dengan sendirinya berarti bahwa seluruh ulama di Aceh bergabung dalam organisasi itu. Sebaliknya tidak semua anggota PUSA adalah para ulama. Ada juga diantara anggota organisasi tersebut yang tidak menyandang predikat ulama . kehadiran PUSA tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari para ulama.
Kelompok yang tidak setuju dengan organisasi tersebut diwakili oleh Ulama Besar Teungku Hasan Krueng Kale dan Teungku Syekh Ibrahim Lam Nga, yang lebih dikenal dengan panggilan Ayahanda. Selain dua ama tersebut, masih terdapat ulama yang tidak sejalan dengan PUSA, yaitu Teungku Hasby Ash Siddieqy, Teungku H Makam, Teungku Abdul Salam Meuraxa, dan Teungku H, Muda Wali (dari Aceh Selatan) Teungku Abdul Jalil (dari Bayu, Aceh Utara), Teungku Amin Jumphoh (Pidie) dan lain-lain.
Berdirinya PUSA diikuti desas-desus yang menyebut pendirian organisasi itu sengaja untuk mengimbangi perkembangan pesat Muhammadiyah di daerah Aceh. Isu ini semakin kuat karena konsul pertama Muhammadiyah Aceh ialah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung. Setelah Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Uleebalang Geulumpang Payung, jabatan konsul Muhammadiyah dipegang oleh Teuku Cut Hasan Meuraxa (paman Teuku Hamid Azwar).
Umumnya anggota Muhammadiyah adalah orang-orang Aceh yang terpelajar, atau para pendatang dari luar Aceh yang bekerja dan tinggal di Aceh sebagai pegawai negeri, pedagang, buruh dan lain-lain.
Terbetik kabar angin bahwa pendirian PUSA itu dimaksudkan untuk menghidupkan Kembali Lembaga Kesultanan Aceh yang telah dihapus Belanda. PUSA akan berjuang mengangkat seorang Sultan. Isu ini membuat sebagian Uleebalang gusar yang ingin mempertahankan status quo-nya.
FUJIWARA KIKAN (BARISAN F)
Terbentuknya kelompok ketiga di Aceh diawali Ketika Jepang mulai menginjakkan kakinya di Tanah Rencong pada bulan Maret 1942. Sebelum memasuki Aceh, Jepang mengatur misi kerja sama dengan Aceh melalui beberapa putera Aceh yang berada di Malaya untuk mengadakan kontak dengan pimpinan rakyat aceh.
Salah seorang pemuda Aceh di Malaya yang dimanfaatkan untuk melicinkan invasi Jepang adalah Said Abu Bakar. Gerakan ini dipelopori oleh barisan yang menamakan diri Fujiwara Kikan, atau yang lebih mudah disebut Barisan F untuk menggerakkan pemberontakan terhadap Belanda.
Tokoh-tokoh pimpinan Aceh yang dikenal sangat membenci pemerintah Belanda mulai didekati oleh Said Abu Bakar. Salah satunya adalah sepupu Teuku Hamid Azwar, yaitu Teuku Nyak Arief, Tokoh yang dihubungi oleh Said Abu Bakar adalah Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, Panglima Sagi XXII Mukim dan abang kandung Teuku Hamid Azwar, yaitu Teuku Ahmad Jeunib.
Dari kalangan PUSA didekati tokoh masyarakat seperti Teungku Mohammad Daud Beureueh. Teungku A. Wahab Seulimeum, Teungku Syehk Abdul Hamid Samalanga, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Ayah Gani dan Teungku Amir Husin Al-Mujahid.
Munculnya Barisan F sangat mendukung moral rakyat Aceh yang memang sedang mempersiapkan pemberontakan melawan Belanda. Gerakan perlawanan terhadap Belanda ini Berhasil dilakukan di Ujung Batee dan di Kuala Bugak. Kekuasaan Belanda diruntuhkan oleh rakyat Aceh Ketika Jepang baru akan mendarat. Pembersihan ini dilakukan atas petunjuk anggota Barisan F.
Sebagai balas jasa, Jepang mengangkat anggota Barisan F menjadi Wedana (Gun Cho) atau Camat (Son-Cho) yang menggantikan kedudukan Uleebalang, dan pegawai-pegawai di kantor-kantor serta jawatan-jawatan pemerintah yang lain. Meskipun demikian tidak ada diantara mereka yang menduduki jabatan penting, karena kepala kantor tetap dipegang oleh orang Jepang sendiri. Saat itu kedudukan Uleebalang agak tergeser.
Dikemudian hari Jepang mengalami kesulitan karena anggota barisan F atau PUSA tidak berpengalaman di bidang pemerintahan, administrasi dan keuangan. Oleh karena itu Jepang meminta Golongan Uleebalang untuk membantu pemerintahan Jepang.
Perubahan sikap Jepang yang sebenarnya didasari oleh kebutuhan professional untuk mendukung pemerintah yang sedang dibentuknya ternyata menimbulkan kesalahpahaman yang memperuncing hubungan antara Uleebalang dan golongan PUSA. Golongan PUSA dan Barisan F yang menganggap diri mereka berjasa memasukan Jepang ke Aceh, merasa paling berhak mendapat prioritas dalam berbagai jabatan pemerintahan.
ULAMA DAN UMARA
Hubungan antara Ulama dan Umaru perlu mendapat pembahasan khusus karena berdasarkan latar belakang ini akan bisa dipahami berbagai perbedaan pendapat yang terjadi sehingga meletuslah Perang Saudara di Aceh.
Tercatat dalam sejarah terutama pada masa pemerintahan Sultan Musaffar Syah yang mempersatukan kerajaan Mekuta Alam dengan Kerajaan Darul Qamar menjadi kerajaan Aceh Darul Salam di akhir abad ke 15 M. Hubungan antara kerajaan dan penguasa dengan kaum cerdik pandai, terutama para ulama, sangat harmonis.
Masing-masing bisa menempatkan diri, menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan baik, saling mengisi dan menghormati. Tidak hanya dikalangan atas sejak keserasian ini terjalin, tetapi berlaku diseluruh jajaran kerajaan sampai ke daerah-daerah taklukanya. Para cendikiawan dan para ulama mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat, baik sebagai penasehat terpercaya maupun sebagai pimpinan Lembaga Pendidikan dan peradilan.
Tradisi yang tumbuh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam ini sebenarnya merupakan kelanjutan masa Samudra Pasai, Kerajaan Islam pertama di Kepulauan Nusantara yang menjalankan system pemerintahan Islam terpadu. Pembagian kekuasaan ini berlanjut pada masa pemerintahan Sultan Iskandarmuda yang mengatur pembagian kekuasaan hukum, kanun dan resam, agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam pemerintahan dan masyarakat.
Keharmonisan pembagian kekuasaan ini tercermin dalam ungkapan yang tumbuh di masyarakat yaitu, Adat bak teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Meujelih kanun bak putro Phang, Resam bak Bentara. Ungakapan itu mengandung makna bahwa adat dalam wewenang Uleebalang, Hukum agama berada dalam wewenang ulama, sedangkan sopan santun dan tata tertib dalam perkawinan diserahkan kepada Wanita (Putro Phang). Mengenai adat istiadat yang berbeda-beda diserahkan kepada pimpinan kaum (Bentara) masing-masing.
Masuknya imperialis Belanda ke Aceh mengacaukan kehidupan dan struktur masyarakat yang sudah sangat ideal tersebut. Untuk mengukuhkan kekuasaanya, Belanda sengaja mengacaukan keharmonisan hubungan antara Umara dan Ulama, maupun Uleebalang yang satu dengan Uleebalang yang lain.
Kekuasaan Uleebalang yang lebih besar dan menentukan dalam struktur pemerintahan sering membuat pihak ulama merasa dirugikan bila muncul perbedaan pendapat. Bahkan pernah terjadi ada ulama yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan ke daerah Uleebalang lain, terutama bila timbul pertentangan diantara mereka yang tidak dapat didamaikan lagi.
Belanda berhasil menerapkan politik pecah belahnya di bumi Tanah Rencong, Aceh. Pembagian tugas dan kekuasaan yang semula berjalan sangat indah, lambat laun luntur oleh polah Belanda yang memang menginginkan terjadinya perpecahan. Benih perpecahan yang disebar Belanda semakin tumbuh subur pada masa pendudukan Jepang, dan masalah rivalitas ini meledak justru ketika kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan.
Jepang yang hanya 3,5 tahun menguasai Indonesia sengaja merahasiakan kekalahannya melawan sekutu sehingga suasana masyarakat Aceh pada saat itu tidak menentu, iklim curiga mencurigai yang memang sudah ada sebelumnya semakin menemukan wujudnya yang nyata karena suasana yang tidak menentu tersebut.
Jepang sendiri tidak mau peduli lagi dengan keadaan Aceh karena yang lebih penting bagi jepang adalah bagaimana bisa menyelamatkan pasukannya sendiri. Masyarakat Aceh yang sudah terkotak-kotak semakin meruncing dan memperkuat kedudukan masing-masing.
MAYOR TEUKU HAMID AZWAR AMANKAN KOTA SIGLI
Pada saat surat perjanjian siap akan ditandatangani tentang penyerahan senjata Jepang, antar pihak Uleebalang dengan pihak PUSA tiba-tiba terdengan letusan di luar tempat pertemuan. Mereka yang sedang berunding terkejut dan segera berlindung dalam lubang perlindungan di rumah Teuku Pakeh Sulaiman.
Teuku Muhammad Ali Panglima Polim bersama juru bicara bahasa Jepang, Muramoto sambil melambaikan bendera putih keluar dari lubang perlindungan. Ia menginstruksikan agar tembak menembak segera dihentikan dan masing-masing pihak meninggalkan tempat.
Letusan tersebut diketahui berawal dari Uleebalang yang mempertahankan kota di pangkal jembatan. Tidak lama kemudian tembakan disambut oleh pihak PUSA dan Pante Teungoh.
Meskipun baku tembak antara Uleebalang bersama pengikutnya dengan pihak PUSA bisa dihentikan, suhu politik saat itu terasa makin memanas. Untuk mengantisipasi keadaan, di bawah pimpinan Kepala Staf Mayor Teuku Hamid Azwar, API/TKR menguasai Sigli. Teuku Hamid Azwar khusus datang dari Kutaraja bersama dua kompi pasukan Istimewa untuk mengamankan kota Sigli. Ia juga membebas Syamaun Gaharu yang ditawan oleh rakyat di Garot, karena kesalah-pahaman yang terjadi ketika terjadi bentrokan senjata antara Uleebalang dan PUSA.
Setelah Sigli di kuasai oleh API/TKR, Mayor Teuku Hamid Azwar memberi ultimatum. Ia minta agar semua senjata yang diperoleh di Uleebalang di Sigli dari tentara Jepang diserahkan kepada API/TKR, yang menjadi pasukan resmi Pemerintah Indonesia. Ia meminta kedua belah pihak yang bertikai kembali ke tempat mereka masing-masing. Teuku Hamid Azwar bertindak sebagai militer yang bersikap netral dan mengambil tindakan tegas untuk kepentingan Republik sesuai dengan instruksi residen Teuku Nyak Arief, meskipun ia harus berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Sebagai akibat meletusnya tembak menembak antara kedua kelompok tersebut, Jepang tidak mau menepati janji untuk menyerahkan senjatanya kepada Pemerintah Indonesia. Di kabupaten Pidie sendiri terjadi perpecahan masa rakyat menjadi dua kelompok besar. Sebagian memihak golongan Uleebalan yang didukung oleh Tentara Cap Sauh dan Tentara Cap Tumbak. Sedangkan sebagian lagi bergabung dengan para pemimpin dan Ulama di PUSA. Dari Pidie, perpecahan ini menjalar ke selruh Aceh, dan memuncak menjadi Revolusi Sosial.
JEPANG MEMANFAATKAN PERPECAHAN
Jepang bermain di belakang layar, memanfaatkan perpecahan yang terjadi dengan memberi senjata pada Uleebalang. Senjata yang disimpan di gudang Leupeum dan Titeue diserahkan kepada pihak Cumbok.
Sementara itu, Abu Daud Tanse dari PUSA berhasil merampas senjata di gudang liongkok. Dengan hasil rampasan senjata itu PUSA mengimbangi lawan ketika pecah perang Cumbok. Abu Ibrahim Panglima Agung di Idi Cut yang bekerja sama dengan Teungku Amir Husin Al-Mujahid.
Pada saat-saat terakhir keberadaanya di Aceh, Jepang berhasil memecah belah masyarakat Aceh. Banyaknya senjata Jepang yang diperoleh Cumbok membuat mereka memamerkan kekuatan. Peluru dihamburkan kemana-mana tak tentu arah, Teror pun dilancarkan kepada rakyat, terutama yang dianggap berpihak kepada PUSA yang dilancarkan kepada pihak Uleebalang.
Banyak korban meninggal sia-sia. Bahkan kampung penduduk pun tidak sedikit yang dibakar sehingga rasa marah, benci dan dendam terhadap Uleebalang Cumbok tumbuh subur dan menunggu waktu untuk membalas.
Berbagai langkah untuk menyelesaikan sengketa Cumbok tidak pernah membuahkan hasil, Bupati Pidie, Teuku Chik Muhammad Said pun menjadi korban ketika berusaha mencari jalan damai dengan mendatangi Lam Meulo. Ia gugur oleh barisan rakyat karena dianggap golongan virus.
Utusan-utusan Residen serta KNI Aceh juga tidak di gubris. Mr. Teuku Mohammad Hassan, Gubernur Sumatera, yang khusus datang ke Sigli sangat kecewa. Ia kembali ke medan dengan tangan hampa karena perselisihan itu tidak dapat diselesaikan lagi.
Kendati demikian, sebenarnya para Uleebalang Pidie di wilayah Sigli, Lam Meulo dan Meureudoe antara lain telah menyatakan bahwa mereka akan melakukan serah terima semua senjata Jepang yang berada di Sigli kepada Pemerintah, dan akan menyokong serta bekerja untuk keperluan Republik Indonesia. Pernyataan ini terdapat dalam dokumen tanggal 5 Desember 1945, yang ditanda-tangani oleh suami Cut Nyak Cut Alawiyah, Kakak kandung Teuku Hamid Azwar. Teuku Laksamana Umar.
PASUKAN API/TKR MENUJU LAM MEULO
Teuku Nyak Arief banyak mendiskusikan meletusnya peristiwa Cumbok dengan Teuku Hamid Azwar. Ketika markas umum daerah memutuskan untuk menumpas gerakan Cumbok, kedua tokoh ini sedang mempersiapkan strategi menghadapi dua batalyon tentara Jepang yang kembali masuk menyerbu Aceh timur.
Berita tentang meletusnya peristiwa Cumbok yang bersumber dari kesalah-pahaman akibat politik adu domba yang diwariskan oleh Belanda kepada pemerintah Jepang untuk mematahkan kekuatan Aceh, membuat kedua tokoh ini sangat geram. Setelah Indonesia merdeka, Komunis mengambil kesempatan dalam persitiwa tersebut.
Di sepanjang perjalanan dengan menggunakan kereta api dari Kutaraja ke Langsa, Teuku Nyak Arief dan Teuku Hamid Azwar merasa sangat prihatin. Malawan pasukan Jepang dan Belanda, seluruh komponen pejuang Aceh bisa bersatu dan memenangkan peperangan. Akan tetapi, dibalik kegagahanya itu rakyat Aceh terlibat dalam peristiwa yang sangat tragis dan mengerikan akibat perang saudara.
Residen Teuku Nyak Arief bersama Kepala Staf Divisi V API/TKR Teuku Hamid Azwar memimpin langsung perlawanan terhadap dua batalyon tentara Jepang yang pada tanggal 25 Desember 1945 yang menyerbu Aceh Timur atas instruksi Sekutu di Medan. Kehadiran Mayor Jendral Teuku Nyak Arief di Langsa sebagai anggota staf umum TRI komandemen Sumatera, bersama Mayor Teuku Hamid Azwar, Kepala Staf Divisi V API/TKR telah menambah semangat bagi para pejuang dalam menghadapi 2 batalyon Jepang yang menyerbu Aceh Timur itu.
Kekalahan 2 batalyon tentara Jepang di Langsa mengakibatkan Belanda membatalkan niatnya masuk ke Aceh, Aceh merupakan satu-satunya daerah tidak di duduki Belanda pada masa Agresi Militer ke dua.
Sementara Teuku Nyak Arief dan Teuku Hamid Azwar sedang mengumpulkan kekuatan untuk menghalau pasukan Jepang yang akan kembali ke Aceh, terjadilah Peristiwa Cumbok.
PERISTIWA CUMBOK
DUA KEKUATAN BESAR
Suasana saling curiga antar kelompok sangat terasa ketika berita tentang kemerdekaan Indonesia sudah menyebar di Aceh. Jepang yang mengambil sikap diam dan tidak mengumumkan kemerdekaan Indonesia secara resmi membuat Uleebalang Pidie tidak percaya.
Mereka menganggap gerakan kemerdekaan yang saat itu santer dibicarakan tidak akan bertahan lama. Demikian pula halnya dengan adanya berita tentang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bekas Perwira Giyu Gun, Teuku Abdullah Titeue, yang juga adik ipar Teuku Daud Cumbok, Uleebalang Cumbok, tidak bersedia menerima tugas dan jabatan dari API/TKR sebagai wujud ketidakpercayaan pada berita proklamasi tersebut.
Pada tanggal 12 Oktober 1945, lahir Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian diubah namanya menjadi PESINDO, pimpinan Ali Hasyim dan Tuanku Hasyim. Tokoh ini adalah anak Tuanku Raja Keumala, yang merupakan keturunan Sultan Aceh. Bisa dikatakan beliau adalah keturunan bangsawan tertinggi di Aceh. PESINDO berkeinginan melawan Uleebalang yang dipandang hendak mempertahankan status keulebalangannya.
Sebelum PESINDO terlebih dahulu lahir API (Angkatan Pemuda Indonesia) pada tanggal 27 Agustus 1945 dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1945. Yang patut dicatat dalam barisan API adalah tokoh keturunan bangsawan Aceh , yaitu Teuku Hamid Azwar, sedangkan pimpinan tertinggi API yang kemudian berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) adalah Teuku Nyak Arief, Panglima Sagi XXVI Mukim, Aceh besar, keturunan bangsawan tinggi di Aceh.
Kedua barisan ini lahir dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain dua barisan ini, di daerah Pidie terdapat banyak barisan yang dilatih oleh mantan Giyu Gun dan dipimpin oleh Zelfbestuurder (Uleebalangya). Semua barisan itu dilengkapi dengan senjata.
Gerakan ini menamakan diri Barisan Penjaga Keamanan (BPK) yang berpusat di Lam Meulo, Ibu Kota Zelfbestuurder Cumbok, dan diketuai Teuku Daud Cumbok. Masa rakyat sendiri menbentuk barisan yang dinamakan Pemuda Republik Indonesia (PRI), dipimpin oleh Hasan Aly.
Barisan yang berafiliasi ke Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang dipimpin Ali Hasyim, menjadi satu kekuatan sendiri; antara lain adalah PRI, PUSA, dan Pemuda PUSA. Dikemudian hari Hasan Aly menjadi Perdana Mentri DI/TII, ketika terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Teuku Mohammad Daud Beureueh.
Dua kekuatan besar, yaitu API/TKR, yang menjadi pasukan resmi pemerintah Indonesia, dan kekuatan BPI yang didukung PRI, PUSA dan Pemuda PUSA memiliki keinginan yang sama: yaitu merampas dan menguasai senjata yang masih berada ditangan pasukan Jepang. Senjata-senjata tersebut sangat penting karena manjadi salah satu simbol kekuatan pasukan. Disekitar Pidie terdapat Yasisoko (gudang senjata) Jepang antara lain di Leupeum, Titeue dan Lingkok. Ketiga gudang ini juga menyimpan bom yang beratnya sampai 500kg.
PENDAPAT TEUKU DAUD BEUREUEH PADA WAKTU USIA LANJUT
Pada saat Cuk Nyak Jauhari, istri Teuku Nyak Arief, meninggal dunia pada tahun 1982 di Jakarta, Teungku Mohammad Daud Beureueh datang melayat ke rumah Teuku Umar Ali. Teungku Mohammad Daud Beureueh termasuk sahabat dekat rekan seperjuangan Teuku Nyak Arief semenjak zaman Hindia Belanda, walaupun pandagan politik mereka dulu berbeda pada saat itu,
Teungku Mohammad Daud Beureueh yang telah berusia lanjut juga sempat mengatakan kepada Teuku Umar Ali, (menantu Teuku Nyak Arief) dan Teuku Samsul Bahri (anak Teuku Nyak Arief) bahwa perang saudara pada “Peristiwa Cumbok” dan yang kemudian bekelanjutan menjadi “Revolusi Sosial” di Aceh yang telah menimbulkan korban banyak di kalangan Ulee Balang dan keluarga mereka pada masa lalu itu disebabkan oleh intrik-intrik Komunis.
MARKAS AGUNG
Dua tokoh komunis kaliber international, masing-masing Nathar Zainudin dan Xarim MS. Memiliki peran cukup besar ketika terjadi peristiwa sigli di Aceh, yang berkembang menjadi Peristiwa Cumbok dan “Revolusi Sosial”. Mereka berdua bersama beberapa pengikutnya tampak sibuk mondar-mandir mengadu domba golongan PUSA maupun Uleebalang.
Kepada golongan PUSA mereka berpesan untuk berhati-hati kepada Uleebalang, karena mereka merencanakan akan membunuh orang-orang PUSA. Hal ini sama juga disampaikan kepada golongan Uleebalang dengan mengatakan agar berhati-hati terhadap golongan PUSA karena mereka berencana akan membunuh Uleebalang dan keluarganya.
MENYERAHKAN TANDA PANGKAT DAN JABATAN DENGAN SUKARELA.
Teuku Nyak Arief, Syamaun Gaharu dan Teuku Hamid Azwar melepaskan dengan rela kepemimpinan dan tanda pangkat mereka demi keselamatan rakyat banyak. Selain itu, tindakan itu dilandasi pertimbangan untuk mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi di kalangan rakyat Aceh akibat perang saudara, yang tentu hanya akan menguntungkan Belanda yang ingin masuk ke Aceh untuk mematahkan pertahanan Pemerintah Republik Indonesia di Aceh.
Pada mulanya Kolonel Syamaun Gaharu yang tahu persi kekuatan pemukul dan potensi personel dan persenjataan Resimen I/Divisi V TRI pimpinan Mayor T. Muhammad Syah menyarankan dalam laporannya kepada Residen Aceh Teuku Nyak Arief untuk menumpas saja pasukan TPR. Semua sudah siap siaga, hanya menunggu perintah saja. Sebagai seorang militer, pendapat Syamaun Gaharu dirasa sangat tepat dan benar.
Kendati demikian, Residen Aceh berpendapat lain dan mempertimbangkan dampak politik dan psikologisnya kemudian. Beliau memerintahkan kepada panglima Divisi V TRI Aceh, Kolonel Syamaun Gaharu dan Kepala Staf Divisi V TRI Aceh, Mayor Teuku Hamid Azwar pada saat-saat seperti ini, supaya berjiwa besar dan sabar dengan suara yang mantap dan tegas, Teuku Nyak Arief memberi keputusan:
“Kalau pangkat dan kedudukan kita yang dikehendaki, serahkanlah. Jangan karena mempertahankan kedudukan dan pangkat itu, rakyat yang tidak tahu persoalan dijadikan korban. Kemerdekaan baru saja diperoleh. Banyak pikiran dan tenaga yang dibutuhkan oleh negara di masa yang akan datang. Kalau perjuangan kita selama ini hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan, tujuan kemerdekaan yang kita inginkan tidak akan tercapai. “Serahkan pangkat dan kedudukan itu kepada mereka yang menginginkannya””.
Kata-kata terakhir dari Teuku Nyak Arief ini tetap terngiang-ngiang di telinga kedua pembantunya, meskipun mereka telah beranjak ke luar dari kediaman “orang tua” yang arif dan bijaksana itu. Demikian kisah Teuku Hamid Azwar kepada Prof H. Teuku Syamsul Bahri SH (Putra Teuku Nyak Arief) yang kemudian diceritakan lagi kepada Penulis Tgk. AK. Yakobi.
Untuk menghadapi peristiwa yang akan terjadi di depan mata. Mayor Teuku Hamid Azwar turut menenangkan hati yang risau dari rekanya itu, seraya berkata “ biar saya menyiapkan semua keperluan rapat. Yang penting panglima Divisi V. Kolonen Syamaun Gaharu harus menyiapkan kata perpisahan dengan anak buah dan pasukannya”.
Apa latar belakangnya, maka Residen Aceh, Teuku Nyak Arief tegas mematahkan argumentasi Kolonel Syamaun Gaharu untuk menumpas pasukan TPR yang datang ke Kutaraja? Ternyata kisahnya cukup menarik. Kisah ini diungkapkan kembali oleh Prof. T. Syamsul Bahri SH. Kepada Tgk. AK. Yakobi pada tanggal 1 April 1997 di Medan, sebagai berikut:
Suatu waktu di ujung bulan Februari 1945, Kepala Divisi V Mayor Teuku Hamid Azwar, seorang diri datang menemui Residen Aceh, Teuku Nyak Arief, dikediamannya di Kutaraja. Teuku Nyak Arief sudah maklum kalau Teuku Hamid Azwar datang, berarti adan berita penting dibawanya, seperti sudah sering dilakukanya selama ini . Dugaan Teuku Nyak Arief tepat, sehingga mereka langsung terlibat dalam pembicaraan yang serius. Dalam pertemuan itu telah terjadi diskusi yang sangat sengit dan serius untuk menyelamatkan Aceh dari perang saudara.
Teuku Hamid Azwar ketika itu berusia 29 tahun adalah pemimpin pemuda yang selama ini dibina oleh Teuku Nyak Arief dan sangat dipercaiyainya, karena inteligensinya tinggi dan pemikiranya cemerlang jauh menjangkau masa depan. Dalam kesempatan itu Teuku Hamid Azwar langsung menanyakan pendapat dan sikap Residen Aceh dalam menghadapi pasukan TPR yang sudah berkemah di Seulimeum, kurang lebih 30 km dair Kutaraja.
Teuku Nyak Arief juga pintar, ia tidak menjawab langsung. Bahkan balik bertanya kepada anak muda yang dekat dan akrab denganya itu. “Kamu sendiri, bagaimana pendapatmu,” ucan Residen Aceh.
“Gampang, Cut Bang” (panggilan abang di Aceh). Jawabnya pelan tapi pasti “Di sini nasib Aceh akan ditentukan dan kadar kepemimpinan Cut Bang sedang diuji. Saya usul tempuh jalan musyawarah saja. Kalau semua kita di sini kehilangan akal sehat, artinya sampai terjadi perang saudara, maka Belanda yang sudah siap-siap di Sabang, tidak mustahil akan merebut Aceh dan mendudukinya. Karena orang Aceh sudah terpecah-pecah dan saling menfitnah dan membunuh. Ini bahaya besar, bukan hanya untuk daerah Aceh saja, melainkan juga peringatan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Teuku Nyak Arief kagum mendengar ucapan anak muda yang polos, tetapi mengena dan berbobot. Anak muda yang berpikir dewasa dan imajinasinya jauh menjangkau ke masa depan, membuat Teuku Nyak Arief gembira sambil menepuk-nepuk bahu adik sepupunya yang disayanginya itu.
“Kamu benar Hamid,” ucap Teuku Nyak Arief. “Cut Bang setuju dengan caramu berpikir.”
Oleh sebab itu, sewaktu Said Ali datang padanya dan kemudian Panglima Divisi V TRI Kolonel Syamaun Gaharu serta Kepala Staf, Mayor Teuku Hamid Azwar, melapor kedatangan pasukan TPR ke Kutaraja, Residen Aceh nampaknya sudah menguasai informasi dan sudah memiliki sikap.
Andai kata Teuku Nyak Arief pada saat itu memutuskan lain. Bila kekerasan digunakan untuk menghadapi kekerasan, tentu saja akan timbul perang saudara di Aceh yang lebih dahsyat dari sebelumnya dan seluruh Kutaraja akan mandi darah. Tidak dapat dibayangkan betapa banyak korban yang akan jatuh dan berapa banyak peluru serta senjata yang akan digunakan untuk saling membunuh sesama saudara sendiri.
Bila hal ini terjadi, kekuatan pertahanan rakyat Aceh menjadi rapuh dan tidak mustahil Belanda dengan mudah dapat masuk dan menduduki Aceh. Dengan demikian akan berubah perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Padahal masa itu sedang gawat-gawatnya, di mana Perjuangan Kemerdekaan RI berada dalam ancaman penjajahan Belanda, to be or not to be (hidup atau mati).
Kalau Teuku Nyak Arief pada saat itu bersikap lain dan muncul pertumpahan darah yang lebih dahsyat, pada tanggal 16 Juni 1948, tak akan Bung Karno datang ke Aceh sebagai satu-satunya daerah yang masih utuh, tidak diduduki Belanda dan dengan demikian tak akan pernah Aceh mendapat julukan begitu terhomat: “Daerah Modal” RI.
DITAWAN OLEH BANGSA SENDIRI
Tiga Serangkai Teuku Nyak Arief, Syamaun Gaharu, dan Teuku Hamid Azwar tidak lagi memiliki kekuasaan militer setelah mereka menyerahkannya kepada Teungku Amir Husin Al-Mujahid yang mengaku bertindak atas nama rakyat banyak.
Seminggu setelah serah-terima tanggung jawab di asrama keraton, Syamaun Gaharu, Teuku Hamid Azwar dan sekitar 13 orang tokoh lainya diminta menghadap Teuku Muhammad Amin. Wakil Residen yang baru diangkat, di Pendopo. Teuku Muhammad Amin adalah seorang ningrat yang memihak dan menjadi tokoh PUSA. Tepat pukul 09.00 telah menunggu Wakil Residen, Kepala Polisi Nyak Umar dan mantan pimpinan Barisan F, Said Abu Bakar.
Selain Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu, tokoh-tokoh perjuangan Aceh yang juga dipanggil antara lain adalah Teungku M. Hashby Ash Shiddieqie, Teungku Syekh Ibrahim (Ayahanda), Teuku Husin Trumon, Teuku Lambait, Teuku Alibasyah Peukan Bada (mertua Teuku Hamid Azwar), Teuku Usman Krueng Raya, Teuku Yusuf (adik Teuku Nyak Arief), Teuku Teungoh Hanafiah, Teuku Sulaiman Aziz dan M Gousmia.
Tokoh-tokoh ini sengaja dikumpulkan untuk ditahan dalam Intermerings Camp. Menurut Teuku M. Amin, pengasingan terpaksa dilakukan karena tindakan rakyat yang tidak jelas dan mengancam keselamatan mereka. Sebagai langkah perlindungan, Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu beserta tokoh-tokoh lainya akan diamankan sampai batas waktu yang belum jelas.
Teuku Nyak Arief dan adiknya, Teuku Abdul Hamid, langsung dibawa ke pengasingan di Takengon. Tidak berapa lama seluruh keluarganya menyusul ke tempat pengasingan tersebut. Teuku Nyak Arief berpulang pada tanggal 4 Mei 1946 dalam status sebagai tawanan. Pada tahun 1974 oleh Pemerintah RI, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Apa pun alasan yang disampaikan oleh Teuku M. Amin, pernyataan bahwa mereka akan “diamankan” berarti secara resmi mereka menjadi tawanan. Syamaun Gaharu sempat menyampaikan pendapatnya. “Dalam negara merdeka yang berdasarkan hukum, apabila pemerintah tidak mampu memberi perlindungan dan menjaga keamanan kami, biarlah kami sendiri yang akan menjaga keamanan kami. Kami meminta supaya kami dibebaskan, kecuali jika kami memang bersalah”.
Tanpa sepengetahuan 15 pejuang yang akan ditawan ini, Teuku M. Amin telah menugaskan anak buahnya ke rumah mereka untuk menggeledah dan menyita senjata pribadi mereka. Tiga hari tinggal di Istana Residen, seluruh tawanan dipindahkan ke Seulimeun dengan menggunakan kereta api.
Keputusan tersebut disampaikan oleh Kepala Polisi Nyak Umar. Tak seorang pun diizinkan menemui anggota keluarga mereka, namun segala keperluan yang dibutuhkan bisa diminta melalui surat yang akan disampaikan oleh petugas kepada keluarga mereka. Sampai di Seulimeum, para tawanan tidak diizinkan turun. Petugas dari Seulimeum mengatakan bahwa tawanan akan dibawa ke Lam Meulo. Di Lam Meulo, Teuku M. Amin yang telah sampai duluan mengecek apakah jumlah mereka tidak berkurang.
Di tangsi Lam Meulo, tawanan melihat beberapa anak Uleebalang yang ayahnya menjadi korban Revolusi Sosial. Di antaranya terdapat keponakan Teuku Hamid Azwar, anak-anak dari Teuku Laksamana Umar Leungputu, yaitu Teuku Abdullah, Teuku Ibrahim, Teuku A. Gani dan lain-lain. Sedangkan Teuku Yusuf, putra tertua Teuku Laksamana Umar, ditawan di tempat tahanan lain di Garut, kemudian hilang dibunuh.
Usai menerima ransum makan, mereka dibawa ke Tangse dengan motor gerobak. Di sanalah tempat mereka menjalani hidup sebagai tawanan yang baru datang tersebut adalah penghianat bangsa. Namun lama kelamaan masyarakat mengerti mengapa mereka ditawan.
Keberadaan Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu dan sejumlah tokoh terkemuka seperti Teungku Syekh Ibrahim (Ayahanda) dan Teungku Hashby Ash Shiddieqie, membuat rakyat mulai bertanya – tanya apa yang sebenarnya terjadi?
Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu dipisahkan dari tawanan lainya. Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu dibawa ke Rantau Panjang Peureulak dengan truk. Sedangkan tawanan lainya dibawa ke Tekengon.
Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu dari Rantau Panjang Peureulak, mereka berdua dipindahkan ke Sigli dan diserahkan kepada penjagaan Detasemen Polisi Tentara Sigli di bawah komando Letnan Ishak.
Masa penahanan di tempat ini berlangsung cukup lama. Menjelang bulan suci Ramadhan, Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu mulai berupaya mencari kejelasan status penahanannya.
Hubungan pertama kali dengan dunia luar dilakukan oleh Syamaun Gaharu melalui telepon kepada pimpinan tentara di Kutaraja atas bantuan Komandan Detasemen Polisi Tentara. Komandan Polisi Tentara Divisi, Kapten Abu Bakar Majid, yang dimintai keterangan tidak bisa membantu apa-apa. Ia hanya mengatakan bahwa selaku tentara ia hanya melaksanakan perintah dari atasanya.
Kontak telepon berikutnya dilakukan dengan Panglima Divisi, tetapi juga tidak membuahkan hasil karena setelah terjadinya peristiwa Ayah Daud Tangse, Staf Divisi dipindahkan ke Bireuen. Usaha tetap dilakukan tanpa mengenal lelah dengan mencoba menghubungi Residen Aceh, Teuku Chik Muhammad Daudsyah. Dari Residen Aceh diperoleh keterangan bahwa pemerintah tidak pernah menahan mereka, tetapi hanya memberi perlindungan untuk menjaga keselamatan dari pihak-pihak yang tidak diinginkan.
Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu minta kepada Komanda Detasemen Polisi Tentara yang juga bekas anak buahnya untuk dikembalikan ke Kutaraja agar dapat berkumpul kembali dengan keluarga, lebih-lebih dalam bulan puasa. Komandan Detasemen tidak berani mengambil resiko berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan atasanya.
Terakhir Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu meminta bantuan bekas anak buah mereka perwira Mayor Hasballah Haji, yang pada saat itu diangkat dari Komandan Batalyon Sigli menjadi Komandan Resimen I di Kutaraja. Ia menggantikan Mayor Teuku Muhammad Syah yang dicopot karena dicurigai ikut campur tangan dalam peristawa penculikan Teungku Amir Husin Al-Mujahid.
Pembicaraan dengan Mayor Hasballah Haji dilakukan dengan terbuka. Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu memaparkan maksud dan rencana mereka untuk melepaskan diri dari tahanan yang tidak jelas kapan berakhirnya dengan cara keluar dari Aceh untuk meneruskan perjuangan dan pengabdian kepada tanah air. Maksud tersebut disetujui oleh Mayor Hasballah Haji. Dengan kata lain, ia mendukung maksud kedua bekas atasanya tersebut dengan cara membantu keluar dari Aceh.
BERJUANG DI LUAR ACEH
MENINGGALKAN ACEH:
LARI DARI TAHANAN
Bismillahir Rahmanirrahim. Usai memanjatkan doa, Teuku Hamid Azwar bersama Syamaun Gaharu memasuki pick up Chevrolet yang telah disiapkan di depan rumah, tempat keduanya ditahan selama ini. Babak baru kehidupan Teuku Hamid Azwar akan dimulai diluar ditanah kelahirannya, Aceh, bersama Syamaun Gaharu. Saat itu bertepatan tanggal 27 Ramadhan, Atau tanggal 5 Spetember 1946.
Belum jelas benar kemana tempat yang akan dituju. Yang sudah pasti, semangat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak akan pernah padam. Sebagai pejuang, dimana pun berada tetap saja ada yang bisa dilakukan demi nusa, bangsa, dan agama. Dari pada terkurung dan tidak bisa berbuat apa-apa di tanah kelahiran sendiri, apa salahnya pergi ke tempat lain, kalau di tempat lain itu tenaga dan pikiran masih bisa diabadikan.
Keputusan unruk meninggalkan Aceh diambil lima hari setelah pembicaraan dengan Mayor Hasballah Haji. Mobil Chevrolet, yang saat itu dinilai sebagai mobil terbaik, dipersiapkan oleh Kapten Teuku Hamzah, yang memegang jabatan Kepala Genie Divisi V.
Sebelumnya, Teuku Hamid Azwar menyempatkan diri berpamitan pada istrinya, Cut Nyak Manyak. Dia berjanji bahwa setelah tiba di suatu tempat akan memberitahukan keberadaannya agar seluruh anggota keluarga bisa segera menyusul. Tak lupa juga Teuku Hamid Azwar mohon doa restu kepada ibunya, Cut Nyak Po Samalanga. Dari ibunya ia menerima beberapa genggam perhiasan emas, yang sebagian dipakainya dipergelangan tangan dan sebagian lagi dililitnya dipinggang untuk biaya kebutuhan perjalanan hijrah keluar Aceh.
Perjalanan meninggalkan Aceh itu mula-mula diawali dengan menuju ke arah Lam Nyong. Dua orang supir terbaik, Melati dan Rabu, berganti- gantian mengemudikan mobil yang membawa Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu. Untuk Mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusakan kendaraan di tengah jalan, telah pula dipersiapkan seorang montir terpandai di Kutaraja, yaitu Basiman.
Perbekalan yang diperlukan sepanjang perjalanan pun dapat dikatakan lebih dari cukup. Berbagai perlengkapan untuk mobil seperti kunci, suku cadang, satu drum bensin dan dua ban cadangan tersedia dibagasi. Tidak ketinggalan bahan makanan untuk lima penumpang yang akan mengadakan perjalanan jauh itu.
Dengan maksud menghilangkan jejak, sesampai di Simpang Jambo Tape, Chevrolet berbelok kekanan melewati Kuta Alam, berbelok lagi menyusuri jalan Peuniti, masuk jalan Keraton, Neusu, keliling komplek perwira dan keluar dekat Gunungan; Lalu membelok kekiri menuju Lhok Nga. “Selamat tinggal kota sejarah beserta semua isinya” itulah yang mereka ucapkan sesampai di Simpang Mata le. Tanpa menoleh lagi kebelakang perjalanan minggalkan Aceh terus dilanjutkan.
Perjalanan ke luar Aceh diatur sedemikian rupa untuk menghindari hal-hal yang tidak diingikan. Sebelumnya, Teuku Hamid Azwar sudah mendengar bahwa terdapat beberapa pejuang yang mengalami nasib yang sama di Lhok Nga. Mereka ditahan di bawah penjagaan pasukan PESINDO. Karena sudah diatur agar perjalanan melewati Lhok Nga bertepatan dengan waktu Shalat Isya, maka tidak terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.
Menjelang subuh, rombongan meninggalkan Lam No setelah belumnya melalui rute Leupung, Lhok Seudu dan Lhong Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju Aceh Barat.
MASUK KE MEULABOH
Keesokan harinya, sesudah menjelang ashar, rombongan Teuku Hamid Azwar meluncur ke rumah Komandan Resimen TRI, Mayor A. Wahab Makmur untuk meminta bantuan. Seluruh rangkaian peristiwa yang dialami oleh Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu diceritakan di depan beberapa perwira yang ada, teramsuk Daud Dariyah tokoh pemuda setempat.
Nasib yang dialami oleh mantan Komandan dan Staf Divisi V TRI membangkitkan rasa keprihatinan di antara semua yang hadir. Mereka mengetahui betul bagaimana jasa dua orang tokoh yang saat ini berstatus sebagai tahanan tersebut pada masa awal perjuangan kemerdekaan di Aceh dengan menghalau kemungkinan kembalinya Belanda ke Tanah Rencong.
Keselamatan Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu harus terjamin selama berada dan dalam perjalanan meninggalkan Meulaboh menuju Tapak Tuan. Setelah beristirahat dua jam, para sahabat ini pun mengambil prakarsa untuk mengamankan perjalanan. Komandan Resimen mengambil inisiatif pencegahan dengan mengadakan latihan perang- perangan untuk merebut Kota Meulaboh. Dalam sekenario dibuat Meulaboh berada ditangan musuh. Sentral telepon diputus sehingga tidak bisa digunakan untuk menghubungi Kutaraja, demikian juga sebaliknya. Sebagai akibatnya, kalaupun ada perintah dari Kutaraja untuk menangkap mereka tentu tidak akan sampai di Markas Resimen. Latihan perang-perangan dilakukan selama tiga hari dengan asumsi selama masa waktu tersebut rombongan Teuku Hamid Azwar telah melewati batas daerah Aceh.
Tidak ada peristiwa yang luar biasa di sepanjang perjalanan dari Meulaboh ke Tapak Tuan. Kesulitan dilakukan karena keadaan jalan dan jembatan yang memang sulit dilalui, apalagi perjalanan dilakukan pada tengah malam yang gelap gulita.
Hari raya Idul Fitri 1365 H. Alhamdulillah rombongan telah tiba di Tapak Tuan dengan selamat dan diterima oleh Komandan Batalyon, Kapten Habib Muhammad Syarief (terakhir pensiun dengan pangkat Brigjen, Purn.). Komandan Batalyon ini kemudian meminta mereka supaya beristirahat dan menginap. Tawaran tersebut terpaksa ditolak demi keselamatan rombongan maupun komandan Batalyon sendiri. Hanya tiga jam beristirahat, perjalanan pun dilanjutkan agar bisa sejauh mungkin meninggalkan Kutaraja.
Perjalanan mendapatkan hambatan yang cukup berarti sekitar 30 kilometer sebelum sampai di Bakongan. Chevrolet yang setia mengantar tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan karena jembatannya yang membentang di atas sungai rusak berat tidak mungkin dapat dilalui. Air sungai pun sangat dalam sehingga kendaraan tidak bisa menyeberang, apa lagi tebing sungainya sangat curam.
Dengan sangat terpaksa Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu membiarkan Chevrolet dan tiga awak yang telah menyertainya kembali ke Kutaraja. Setelah sekian lama bersama-sama menyusuri rute yang tidak mudah dan setiap saat dihadang bahaya, mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan. Pick Up Chevrolet kembali ke Kutaraja, minggalkan Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu yang akan melanjutkan langkah.
MENUJU BAKONGAN
Jarak 30 kilometer menuju Bakongan biasanya menelan waktu 8 sampai 10 jam berjalan kaki. Kali ini Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu memilih berjalan lambat dengan perkiraan 16 jam sampai di Bakongan pada keesokan harinya.
Berjalan lambat lebih menguntungkan karena disamping lebih aman berjalan malam hari sekaligus juga untuk menghemat tenaga karena perjalanan ke depan tanpa kendaraan tentu lebih sulit dan melelahkan.
Dengan menunjukan surat dari komandan Batalyon TRI Tapak Tuan, Komadan Pos TRI, maka Kepala Kampung Bakongan pun membantu mengupayakan sebuah perahu yang dapat disewa untuk menuju ke arah Singkil. Setelah naik mobil dan berjalan kaki, tiba saatnya melanjutkan pengembaraan melalui laut. Pelayaran hari pertama bisa dikatakan tidak mengalami kesulitan meskipun biasanya pada bulan Desember ombak di Lautan Hindia sangat membahayakan.
Setelah sampai di Singkil mereka bertemu Wakil Komandan Batalyon, Lettu Nyak Adam Kamil (pernah menjabat Gubernur D.I. Aceh, pangkat terakhir Mayjen, Purn) yang sedang melakukan inspeksi rutin ke perbatasan. Semalaman itu mereka beristirahat di Kota Singkil dan keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan laut ke Sibolga.
PERJALANAN KE SIBOLGA
Menyeberang laut menuju ke Sibolga merupakan pengalaman yang cukup mencekam bagi Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu. Meskipun sehari sebelumnya perjalanan melalui lautan telah ditempuh, kali ini sangat berlainan. Malam itu perahu yang ditumpangi Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu diombang-ambingkan oleh ombak besar Lautan Hindia. Setiap kali mereka harus menguras air yang masuk kedalam perahu. Salah satu yang menguatkan adalah bahwa juragan perahunya merupakan seorang pelaut yang berpengalaman. Juru mudi sangat lihai mengendalikan kemudi dan tali tembereng, yaitu tali layar yang berfungsi untuk menampung dan membuang angin.
Sepanjang malam semua berjuang mempertahankan perahu agar tidak tergulung ombak. Ombak besar di Lautan Hindia sudah membuat kecil hati seluruh penumpang. Ditambah lagi badai yang datang mempermainkan perahu di tengah kegelapan samudera yang amat luas itu. Layar perahu terkoyak. Setiap saat bisa saja perahu terbalik, atau tiang layar patah dihantam badai. Apapun bisa terjadi. Hanya dengan berserah kepada Tuhan dengan menyadari keterbatasan sebagai manusia semua bisa diatasi.
Tiba – tiba papan bagian tengah perahu terlepas. Air mulai memenuhi perahu. Sementara itu sudah semakin besar saja layar terkoyak. Sesekali tiang layar pun menunjukan tanda-tanda akan patah.
“Kita sudah sampai pantai” teriak juragan perahu.
Teriakan itu dijawab oleh teriakan yang mempertanyakan pantai mana yang sudah dituju.
“Tidak Tahu.” Itulah jawabannya. Serba tidak tahu didalam kegelapan. Tetapi itu jauh lebih baik daripada terombang-ambing dan ditelan ombak.
“Terima kasih Tuhan” seru seorang dalam nada suara bercampur tangis. Seluruh penumpang turun, masih dalam kegelapan menjelang subuh. Tiada bulan, tiada bintang. Kegelapan semakin sempurna dengan turunnya hujan lebat disertai angin kencang yang membawa udara dingin.
Toh tetap saja semua bersyukur setelah mereka berhasil menapakkan kaki mereka di pasri pantai. Tubuh yang menggigil kedinginan diabaikan karena tidak seorangpun mengehtahui dimana mereka berada. Sambil menunggu pagi menjelang mereka membaringkan badan dipasir pantai.
Subuh, 12 September 1946, di Pulau Poncan Ketek. Hujan badai mereda berganti dengan sinar matahari yang lembut dipagi hari. Nama Pulau Poncak Ketek diketahui dari juragan perahu.
Karena perahunya rusak, mereka tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan dengannya. Menunggu perbaikan tentu memakan waktu berhari- hari lamanya. Tetapi, tidak jauh dari tempat itu sebuah terdapat perahu yang tertambat dipantai. Atas petunjuk juragan perahu, dengan perahu itu mereka melanjutkan perjalanan menuju kampung Sorkam yang terletak diseberang pantai. Teuku Hamid Azwar menyelesaikan pembayaran dengan memberikan seuntai perhiasan emas yang dibawanya. Tanpa memperdulikan rasa lapar dan haus yang mulai menyerang, perjalanan dilanjutkan menuju Sorkam. Dua hari hidup bersama-sama rakyat Sorkam Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu mendapat perlakuan yang sangat baik, sopan dan ramah. Namun demikian Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu tetap waspada bahwa kehadiran mereka tentu dicurigai dan suatu saat bisa saja dilaporkan kepada pimpinan tentara di Sibolga. Kali ini Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu menginginkan ada yang melaporkan keberadaannya, karena tujuannya ke Sibolga memang untuk memenuhi Panglima Divisi Banteng di Tapanuli, Kolonel Muhammad Din Sinarterang. Panglima Divisi ini pernah menjadi anak buah mereka sebagai Komandan Polisi Tentara Divisi dalam komposisi TRI Divisi Aceh.
BERTEMU PANGLIMA DIVISI BANTENG II
Memasuki hari ketiga di Sorkam, Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Sibolga dengan berjalan kaki. Di Kolang, yang terletak diantara Sorkam dengan Sibolga, mereka bertemu dan dijamu kopi panas di rumah Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Setelah meninggalkan rumah Dr. F.L. Tobing, mereak terus menapakan kaki terus ke arah Sibolga. Ditengah perjalanan mereka bertemu denagn dua regu Polisi Tentara dari Sibolga. Polisi Tentara itu memang bermaksud menjemput mereka. Salah seorang dari mereka mengatakan, “Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut macan.”
Sesampai di Sibolga mereka langsung dibawa ke Datasemen Polisi Tentara. Setelah beristirahat selama satu jam, seorang Letnan Polisi memeriksa mereka. Teuku Hamid Azwar menyatakan bahwa mereka hanya mau dipertemukan dengan Panglima Divisi.
Permintaan tersebut akhirnya dipenuhi, dan seusai Shalat Maghrib mereka diantar ke rumah Kepala Staf Brigade, Letnan Kolonel Pandapotan Sitompul. Setelah berbincang-bincang Satu jam mereka diantar ke kediaman Panglima Divisi Banteng II, Kolonel Muhammad Din Sinarterang.
Sambil bercakap-cakap mereka menikmati makan malam bersama. Dalam kesempatan tersebut Muhammad Din Sinarterang menanyakan kepada kedua bekas atasannya, apa rencana selanjutnya dan bantuan apa yang diperlukan untuk melanjutkan perjalanan.
BERTEMU GUBERNUR SUMATERA DAN DR. AK. GAN
Kolonel Muhammad Din Sinarterang menyatakan kesanggupannya membantu Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu dan rombongan dengan menyediakan tempat menginap. Keesokan harinya mereka dijemput dengan sebuah kendaraan menuju Pematang Siantar. Kolonel Muhammad Din Sinar Terang sendiri tidak bisa mengantarkan langsung, karena ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad Hassan (Perintis Kemerdekaan) dan Koordinator Pertahanan Sumatera Dr. AK Gani (mantan Menteri Kehakiman RI dalam kabinet Syahrir). Kebetulan saat itu Dr. AK Gani berada di Pematang Siantar dalam perjalanan dinas ke Sumatera Utara.
Sesampai di Pematang Siantar mereka bertemu dengan Letnan Kolonel Ahmad Tahir dan Mayor Hotman Sitompul, orang pertama yang mereka temui. Keduanya adalah sesama angkatan pertama dalam pendidikan militer Giyu Gun. Setelah melapor, mereka menghadap Gubernur Sumatera MR. Teuku Mohammad Hassan untuk menyampikan laporan keadaan di Aceh.
Dalam pertemuan dengan Gubernur Sumatera antara lain di perbincangkan tentang kondisi Aceh setelah ditinggalkan. Mereka sangat akrab, apalagi perbincangan menggunakan bahasa Aceh. Di akhir pembicaraan, Gubernur memberi surat pengantar untuk menemui Dr. AK. Gani.
Dengan surta pengantar Gubernur Sumatera itu mereka menghadap Koordinator Pertahanan Sumatera, Dr. A.K. Gami. Setelah mengetahui duduk persoalan yang dihadapi oleh Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu serta keinginan mereka, AK. Gani berjanji akan membawa Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu beserta ketiga rekan mereka ke Sumatera Selatan untuk diberi tugas perjuangan.
Namun mereka tidak langsung menuju ke Sumatera Selatan karena AK. Gani harus menyelesaikan urusannya beberapa hari di Pematang Siantar dan Aceh.
BERTEMU DENGAN MOHAMMAD DAUD BEUREUEH
Keberadaan Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu di Pematang Siantar telah diketahui oleh Barisan Perjuangan Rakyat di Pematang Siantar. Barisan ini bertugas menjaga perbatasan. Bila ada golongan atau keluarga Uleebalang yang melarikan diri, mereka akan ditahan dan dipulangkan ke Aceh. Ada isu Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu akan di tangkap dan dikembalikan ke Aceh Berita tersebut diketahui oleh Teuku Hamid Azwar dari teman baiknya, Hasballah Daud, putera sulung Teuku Mohammad Daud Beureueh ketua PUSA, yang adalah juga ketua Barisan Mujahidin yang sangat dekat dengan penguasa baru di Aceh saat itu.
Hasballah Daud menyempatkan diri mendatangi Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu selama menunggu AK. Gani di Pematang Siantar. Ia bahkan ikut menemani tinggal bersama di Hotel Cina, tempat Teuku Hamid Azwar menginap. Selaku Penasihat Barisan Mujahidin, Hasballah Daud berjaga-jaga dengan pistol dipinggang. Ia menyatakan, “Siapa yang akan menangkap Teuku Hamid Azwar dan rombongannya harus terlebih dahulu menembak diri saya.”
Pernyataan Hasballah Daud ini sangat menggembirakan dan sangat membantu Teuku Hamid Azwar maupun Syamaun Gaharu hijrah keluar Aceh. Ketika di Kutaraja Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu diselamatkan oleh Hasballah Haji, Komandan Resimen I Kutaraja, dan kini di Pemantang Siantar mereka diselamatkan oleh Hasballah Daud.
Sikap Hasballah Daud dilatarberlakangi oleh pengalaman bersama Teuku Hamid Azwar. Ada kenangan tersendiri bagi Hasbullah Daud pada Teuku Hamid Azwar. Pada suatu saat ketika Teuku Hamid Azwar sebagai Kepala Staff Divisi V TKR Komandan Sumatera, salah seorang menyampaikan kepadanya bahwa Hasballah Daud putra sulung Teuku Mohammad Daud Beureueh ingin menumpang kereta api besok paginya. Dia ingin ke kampung halamannya ikut bersama rombongan Kepala Staf API/TKR Mayor Teuku Hamid Azwar yang akan membawa dua Kompi Pasukan Istimewa untuk mengamankan Kota Sigli, yang saat itu menjadi rebutan antara kaum Uleebalang dan kaum PUSA bersama masa rakyat berkaitan dengan perebutan senjata Jepang di Sigli. Pada masa itu kereta api berada di bawah kekuasaan TKR. Mendengar hal itu, Teuku Hamid Azwar mengizinkannya.
Tetapi pada keesokan harinya ketika kereta api akan berangkat ia tidak kelihatan di Stasiun. Kepala staf menyuruh kereta api berangkat tepat pada waktunya. Begitu kereta api bergerak Teuku Hamid Azwar melihat Hasballah Daud berlari- lari sambil membawa koper mengejar kereta api itu. Mayor Teuku Hamid Azwar segera memerintahkan masinis untuk berhenti sampai Hasballah Daud naik dan ikut bersama ke Sigli. Hal inilah yang membuat hubungan mereka dekat dan akrab.
Sewaktu pertemuan di Pematang Siantar, Hasballah Daud menceritakan kepada Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu, bahwa ayahnya Teuku Mohammad Daud Beureueh akan datang ke Pematang Siantar. Ia menyarankan agar mereka bertemu dengan Teuku Mohammad Daud Beureueh, Ketua PUSA yang menjadi penguasa baru di Aceh pada masa itu.
Sewaktu mereka bertemu, Teuku Mohammad Daud Beureueh menanyakan kepada Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu apa tujuan mereka berdua bersama rombongan lari meninggalkan Aceh. Mereka menjawab bahwa mereka akan meneruskan perjuangan di luar Aceh. Lalu Teungku Mohammad Daud Beureueh berpesan kepada keduanya, “Hanya satu yang saya minta pada Ampon (panggilan bangsawan di Aceh) dan Syamaun Gaharu, yaitu jangan membantu Belanda.”
“Teungku, mana mungkin kami membantu Belanda. Kalau kami ingin membantu Belanda, tentu kami akan memilih jurusan perjalanan ke sabang yang dikuasai Belanda, dan bukan ke Pematang Siantar. Lagi pula saya adalah bekas murid Taman Dewasa, dan Syamaun Gaharu adalah bekas Guru Taman Siswa, sekolah perjuangan kebangsaan. Mana mungkin kami pergi memihak Belanda.” Begitulah jawaban Teuku Hamid Azwar.
Sambil mengangkat tangan kanannya ke atas Teungku Mohammad Daud Beureueh berkata, “Kalau begitu saya mendoakan selamat jalan dan merdeka!”
Hubungan pribadi antara Teungku Mohammad Daud Beureueh, Ketua Golongan Ulama (PUSA) dan Teuku Hamid Azwar dari golongan ningrat, boleh dikatakan dekat dan baik. Padahal, kedua golongan besar dalam masyarakat Aceh ini sejak lama saling curiga dan tidak cocok, yang merupakan akibat dari politik adu Domba Belanda dan Jepang untuk melemahkan kekuatan Aceh.
BABAK BARU DALAM KEHIDUPAN
Perjuangan tidak terbatas pada satu tempat saja di tanah kelahiran dimanapun berada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tetap bisa ditegakkan. Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu sudah sampai pada tahap kematangan kehidupan berbangsa dalam kemajemukan. Meskipun meninggalkan tanah tumpah darah Aceh akibat pengambil alihan pimpinan tentara oleh Amir Husin Al-Mujahid, tetapi hikmah yang bisa diambil dari peristiwa tersebut jauh lebih kuat dan lebih penting.
Apalagi pernyataan Dr. A.K. Gani sangat menguatkan dan melegakan semangat mereka untuk mengabdikan tenaga dan pikiran mereka dalam perjuangan ditempat lain. “ Di mana pun kita berada kita bisa berjuang. Tidak hanya di Aceh saja , “ujar A.K. Gani ketika bertemu dengan Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu. Tentu saja pernyataan tersebut ditanggapi dengan penuh semangat karena memang sejak awal niat meninggalkan Aceh itu dilandasi oleh keinginan untuk membaktikan diri demi Bangsa dan Negara.
Usai menyelesaikan semua urusan di Pemantang Siantar dan Aceh, Dr. A.K. Gani meninggalkan Pemantang Siantar, dilepas oleh Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad Hassan dihalaman siantar Hotel. Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu dan ketiga rekan mereka Mayor Said Usman, Kapten T.A. Hamdani, dan Mayor T. Muhammad Syah mengenakan pakaian serba baru, Minggu pagi 27 Oktober 1946, bertepatan dengan 1 Zulhijah 1365 H.
Babak baru kehidupan Teuku Hamid Azwar dimulai. Dari Pematang Siantar perjalanan rombongan menempuh rute Prapat, Porsea, Balige, Siborong-borong, sampai ke Tarutung. Hampir disetiap kota, Mayor Jendral A.K. Gani dijamu makan dan minum.
Dengan kata lain setiap menginap disatu kota, rakyat sudah mempersiapkan makanan.
Sampai di Tarutung, rombongan singgah dirumah kawan lama Dr. A.K. Gani yaitu Dr. F.L. Tobing. Dr. A.K. Gani menyempatkan diri berpidato di lapangan. Sore harinya perjalanan dilanjutkan ke Sipirok dan malam itu juga mereka meneruskan perjalanan ke Padang Sidempuan. Di sini rombongan menginap, dan paginya Dr. A.K. Gani didaulat rakyat agar berpidato.
Keinginan rakyat mendengarkan pidato Dr. A.K. Gani terjadi di Penyambungan. Di tempat ini ia berpidato sekitar satu jam. Di Kotanopan, ia juga menyempatkan diri berbicara didepan masyarakat.
Selasa 29 Oktober 1946, rombongan meninggalkan Lubuk Sikaping dan menuju ke Bonjol. Di tempat ini rombongan berhenti karena kerumunan rakyat minta Dr. A.K. Gani berpidato. Hal yang sama juga terjadi di Palupuh. Sebelum memasuki Bukittinggi.
Cukup beralasan kalau di berbagai tempat rakyat meminta Dr. A.K. Gani menyampaikan pidato karena beliau termasuk salah seorang terkenal di Sumatera yang bisa dikategorikan berkelas nasional. Selain Dr. A.K. Gani, tokoh yang terkenal di Sumatera adalah M. Syafei, Adinegoro dari Kayu Tanam, Sumatera Barat, dan Suangkupon dari Medan dan Teuku Nyak Arief dari Aceh.
Rombongan berhenti tiga hari di Bukittinggi untuk mengadakan pembicaraan dengan M. Syafei, Adinegoro dan sejumlah tokoh lainnya. Di kota ini Teuku Hamid Azwar berpisah dengan dua rekannya, yaitu Mayor Said Usman dan Kapten Teuku A. Hamdani. Keduanya memperoleh tugas untuk membangun Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
BERTEMU PANGLIMA KOMANDO TERTINGGI SUMATERA
Teuku Hamid Azwar merasa haru dan bangga mendengar pernyataan Panglima Komando Tertinggi Sumatera, Jenderal Mayor Soeharjo Hardjowardojo, yang mengungkapkan bahwa sebelum bertemu Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu, ia sudah mengenal nama mereka.
Dalam pembicaraan tersebut Panglima Sumatera mengajak rombongan kesumatera selatan. Pertemuan rombongan Dr. A.K. Gani dimana Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu berada, dengan rombongan Panglima Komando Tertinggi Sumatera terjadi di Muara Bungo.
Di lapangan bola Jambi, Senin, 5 November 1946, rombongan Panglima Sumatera menyaksikan serah terima Komandan Resimen Jambi dari Letnan Kolonel M. Insya kepada Mayor M. Yunus, Letkol M. Insya selanjutnya mengemban tugas sebagai Polisi dan dimutasikan Ke Aceh.
Secara resmi Teuku Hamid Azwar melapor keberadaannya kepada Koordinator Pertahanan Sumatera pada hari Jumat, tanggal 9 November 1946. Teuku Hamid Azwar dan Teuku Muhammad Syah kemudian ditugaskan pada Intendans Sub Komandemen Sumatera Selatan bersama-sama Mayor Anwar, Mayor H.A. Thahir dan sebagainya. Daerah Hukum Komandemen Sumatera Selatan meliputi Palembang, Lampung, Bnegkulu dan Jambi. Komandan Komandemen adalah Dr. A.K. Gani dan ketika dia diangkat menjadi Menteri Kehakiman RI dalam Kabinet Syahrir, jabatannya digantikan oleh Kolonel Maludin Simbolon.
Sebelum Teuku Hamid Azwar ditunjuk menjadi Kepala Intendans Sub Komandemen Sumatera Selatan, Mobile Secretary Panglima Komando Tertinggi Sumatera. Beberapa waktu kemudian Teuku Hamid Azwar diangkat sebagai Kepala Staf SK2A Intendans Komandemen Sumatera berkedudukan di Bukit Tinggi dengan pangkat Letnan Kolonel.
Syamaun Gaharu mendapat tugas di Sumatera Selatan sebagai Staf Komandemen Sumatera Selatan, tetap dengan pangkat Kolonel. Jabatannya adalah Kepala Staf TRI Sub Komandemen Sumatera Selatan yang berkedudukan di Lahat. Dia dipercayakan menggantikan Letnan Kolonel Iwan Supardi.
KELUARGA TEUKU HAMID AZWAR MENYUSUL KE BUKITTINGGI
Nama Teuku Hamid Azwar sebenarnya adalah Teuku Abdul Hamid (tanpa Azwar). Tetapi, setelah di Butitinggi, ia menulis surta kepada istrinya, Cut Nyak Manyak di Kutaraja, meminta agar segera menyusul ke kota itu. Nah, karena situasi di Aceh saat itu tak menentu, surat itu dikirimnya dengan menggunakan nama samaran , “Azwar” yaitu nama panggilan anak sulungnya, Teuku Syahrul Azwar. Sejak itu, namanya menjadi Teuku Abdul Hamid Azwar.
Dari Kutaraja, Cut Nyak Manyak bersama kedua anaknya Teuku Syahrul (3tahun) dan Cut Ida (1 tahun) dan saudara sepupunya, Teuku Gade Hasan, menyusul menemui suaminya yang saat itu telah ditunjuk sebagai kepala Staf SK2A Intendans Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukittinggi. Dari Bukittinggi mereka bersama dengan Teuku Hamid Azwar, istri Panglima Tertinggi Sumatera Ny. Soehardjo Hardjowardojo beserta rombongan menuju ke Lahat, Sumatera Selatan.
AGRESI MILITER BELANDA I
SITUASI DI SUMATERA
Namun bertolak belakang dengan keinginan Belanda, “kebersamaan” selama 350 tahun bagi Bangsa Indonesia adalah kenangan yang sangat pahit sehingga sedapat mungkin dihilangkan selama-lamanya di Bumi Nusantara. Keinginan untuk mengusir segala macam bentuk penjajahan di Indonesia semakin menggelora bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II. Menjadi Bangsa yang merdeka, bagaimanapun lebih membanggakan daripada menjadi bangsa terjajah. Anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil rekayasa membuat Belanda berkeras had untuk kembali ke Indonesia.
Kota Palembang menjadi saksi “kembalinya” Belanda ke Indonesia. Suasana masyarakat menyambut datangnya tahun baru 1947 di Palembang jadi kacau. Betapa tidak, subuh, rabu 1 januari 1947, tentara Belanda menyerang kota Palembang. Sebuah pertempuran dahsyat pecah antara pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) Komandemen Sumatera Selatan dan militer Belanda.
Belanda ingin memaksakan kehendaknya untuk merebut kota Palembang. Jelas saja, TRI berusaha mempertahankannya hingga titik darah terakhir. Maka perang besarpun berlangsung lima hari lima malam tanpa henti.
Penyerbuan ini sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya. Kekuatan militer yang tergabung dalam TRI mempercayakan komandan pertempuran kepada Komandan Resimen ini antara lain Batalyon 32 yang bermarkas di Sekanak. Pemimpin Batalyon 32, Kapten Makmun Murod, di kemudian hari pernah menjabat Kepala Staf TNI Angkatan darat. Batalyon ini menggerakan kompi-kompinya untuk turut dalam pertempuran.
Tampaknya Belanda mengerahkan segenap kekuatannya untuk menguasai Palembang dengan memperkuat kedudukannya. Tank-tank dan pasukan Belanda dikerahkan di bawah Komando Letnan Kolonel KNIL Molinger yang didukung oleh kekuatan darat, laut dan udara untuk menggempur kota Palembang.
Palembang, 3 Janurai 1947, benar-benar bersimbah darah Tentara Republik, TRI, terpaksa meninggalkan Palembang karena mendapat serangan dari segala penjuru. Untuk berjaga-jaga, tetap disiagakan pemerintah sipil dan kesatuan ALRI di bawah pimpinan Kapten Saroinsong.
Memasuki hari kelima disepakati untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Indonesia diwakili oleh Komandan Divisi V TRI Letnan Kolonel Bambang Utoyo (mantan KSAD) dan Gubernur Muda Dr. M. Isa. Namun upaya Diplomasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan karena pasukan TRI dipindahkan sejauh 20 kilometer dari Palembang. Seluruh pasukan, termasuk penduduk setempat, meninggalkan Palembang sejauh 20km. Di antara mereka ada yang menuju ke Lahat.
Teuku Hamid Azwar beserta keluarga saat itu sedang berada di Lahat. Letkol Teuku Hamid Azwar bergabung dengan Perwira TRI lainnya yang mengungsi ke Lahat.
Atas permintaan Teuku Hamid Azwar, Cut Nyak Manyak beserta dua orang anaknya dan Teuku Gade Hasan dengan ditemani ajudan suaminya bernama Dahlan dan Hamid seorang sopir, menggunakan truk meninggalkan Lahat ke Lubuk Linggau. Di kota ini mereka menginap satu malam, kemudian pagi-pagi berangkat bersama rombongan TNI dengan truk berkelana masuk keluar hutan belantara sampai ke Tabapingin.
Di Tabapingin mereka beristirahat dua hari, lalu meneruskan lagi perjalanan ke Muara Enim dan dilanjutkan ke Muara Tebo. Di sana mereka tinggal sepuluh hari lamanya karena Cut nyak Manyak serta anak-anaknya dan sebagian besar rombongan terkena penyakit malaria. Mereka bisa sembuh dengan pertolongan Dr. Syahrial Rachman, dan setelah sembuh mereka melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang mereka bertemu kembali dengan Teuku Hamid Azwar dan rombongan, lalu bersama-sama masuk ke Bukittinggi.
Mula-mula mereka tinggal di Hotel Merdeka Bukittinggi, tetapi kemudian Letkol Teuku Hamid Azwar beserta keluarga menyewa sebuah rumah di Jalan Gereja No. 11, tepat di muka Gereja. Jaraknya tidak begitu jauh dari kantor Komandemen Sumatera. Rumah itu menyerupai mess tentara. Banyak para Perwira rekan-rekan seperjuangan Teuku Hamid Azwar tinggal dirumah ini. Mereka yang tinggal disitu silih berganti terutama yang berasal dari daerah lain bilaman mereka bertugas ke Bukittinggi.
Mereka yang pernah menumpang dikediaman Teuku Hamid Azwar antara lain adalah Letkol Usman Jacob, Mayor Berlian, Kapten Sulaiman, Kapten Teuku Hamzah, Kapten Thahi Siregar, Kapten Batu, Letnan H.M. Pusponegara, Jaffar Hanafiah, Abdullah Yatim dan lain-lain. Umumnya pada masa perjuangan itu mereka tidak membawa keluarga ke Bukittinggi, kecuali Letkol Teuku Hamid Azwar yang tinggal di rumah itu bersama keluarga.
Pada bulan Maret 1947 di Bukittinggi Cut Nyak Manyak melahirkan anak ketiganya, laki-laki dan diberinama Teuku Syaiful Azwar (Fully). Tidak lama kemudian Cut Nyak Aidit isteri Letkol. T.M. Daud Samalanga dari Aceh menyusul ke Bukittinggi bersama dengan anak-anaknya. Untuk sementara waktu mereka tinggal bersama di rumah Jalan Gereja tersebut. Banyak rekan seperjuangan Teuku Hamid Azwar sering datang berkumpul di rumah itu: antara lain, Letkol Kartakusumah, Komadan Muda (Udara) Halim Perdana Kusumah dan Opsir (udara) I, Iswahyudi Datuk Bagindo Baharudin dan lain-lain. Juga pernah beberapa kali Mayor (Laut) John Lie Menginap di rumah itu.
Sekalipun Teuku Hamid Azwar berada di luar Aceh, hubungannya dengan Aceh tidak terputus. Ia bersama dengan Letkol Teuku M. Daud Samalanga datang menemui Gubernur Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan di Bukittinggi. Kepada Gubernur ia mengusulkan agar dicetak uang sebagai alat pembayaran yang syah yang berlaku untuk daerah Aceh, guna memudahlan kelancaran roda ekonomi di Aceh pada masa perjuangan.
Atas kuasa Gubernur Sumatera kepada Residen Aceh, Teuku Chik Mohammad Daudsyah, dicetaklah Oeang Republik Indonesia (ORI) di daerah Aceh. ORI di cetak di Langsa oleh Oesman Adami yang menjadi pimpinan Aceh Trading Company, cabang CTC di Aceh bersama dengan Teungku Maimun Habsyah (kemudian menjadi Wakil Gubernur Militer untuk daerah Langkat : mantan Duta Besar di Bangladesh).
Pada tanggal 26 September 1947, Kepala kantor Pembendaharaan Negara Karesidenan Aceh mengumumkan ciri-ciri dan ukuran “Tanda pembayaran resmi sementara Karesidenan Aceh” dengan nama ORIDA (Oeang Republik Indonesia Daerah Aceh). ORIDA terdiri dari dua jenis, yaitu Rp. 100 (seratus rupiah) dan Rp. 2,50 (dua rupiah, lima puluh sen).
PELOPOR DAN PENDIRI CTC DI BUKITTINGGI
Pada masa perjuangan kemerdekaan, yaitu pada akhir tahun 1947, untuk memenuhi dan menyempurnakan perbekalan militer, didirikanlah Central Trading Corporation (CTC) di Bukittinggi. Langkah itu dilakukan setelah disetujui, dan ditetapkan oleh Panglima Komando Tertinggi Sumatera, Mayor Jenderal R. Soehardjo Hardjowardojo. Pendirian badan usaha itu sendiri tidak lepas dengan tugas Teuku Hamid Azwar sebagai Kepala Staf SK2A Intendans Komandemen Sumatera.
CTC erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan militer pada masa Perang Kemerdekaan, karena pada waktu itu sebagian daerah RI yang telah diduduki Belanda diblokade. Bukan hanya hubungan ke luar negeri yang mengalami hambatan, hubungan antar daerah pun terputus. Akibatnya perlengkapan perang berkurang dan untuk mengisi kekurangan tersebut satuan-satuan bersenjata harus melakukan perdagangan. Dengan diorganisir oleh Intendans pusat, dibentuklah sub-sub Intendans sampai kesatuan-satuan resimen, batalyon, kompi dan sebagainya.
Melalui pembentukan Sub-sub Intendanssambil berdagang ini, tumbuhlah trading -trading company atas usaha satuan-satuan bersenjata sampai berpuluh-puluh jumlahnya. Pembentukan trading company juga muncul di Minangkabau, Riau, Tapanuli dan lain-lain. Trading Company ini bertugas menjual barang-barang dan hasilnya digunakan untuk membeli senjata dari luar negri.
Perdagangan semacam ini dilakukan karena pengiriman barang dengan mengatasnamakan Intendans milik TNI atau RI tentu akan dicegat ditengah laut oleh Belanda dan kemudian dirampas. Dengan menggunakan maskapai dagang dengan nama partikulir, Belanda tidak menaruh curiga. Barang-barang milik Perusahaan/perorangan biasanya tidak mengalami gangguan Belanda.
Itulah sebabnya mengapa CTC perlu dibentuk sebagai badan pusat perdagangan hasil bumi keluar negri dan sekaligus pembelian perlengkapan untuk kebutuhan TNI. Pembentukan CTC juga bisa mempersatukan dan mencegah kegiatan dagang oleh satuan-satuan bersenjata di setiap daerah yang dijalankan sendiri-sendiri hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing.
Pada mulanya CTC bukanlah badan usaha berbadan hukum. Perusahaan ini diberinama CENTRAL TRADING CORPORATION dan disingkat CTC, karena organisasi yang berkedudukan di Bukittinggi iti adalah kantor pusat (Central) dari cabang-cabang CTC yang didirikan oleh pimpinan CTC disetiap daerah di tempat kedudukan Staf Divisi TNI di Sumatera.
Pelopor pembentukan dan pendiri CTC pada tahun 1947 adalah perwira-perwira TNI di Sumatera dari Corps Intendance. Mereka itu antara lain, Letnan Kolonel Teuku Hamid Azwar, Letnan Kolonel M. Daud (Samalanga) dan Letnan Kolonel H.A. Thahir. Pada masa perjuangan fisik, modal pendirian CTC sebelum nenjadi perusahaan milik pemerintah, berasal dari pribadi keluarga Letkol Teuku Hamid Azwar dan Letkol Teuku M. Daud (Samalanga).
Untuk modal awal pendirian CTC pada masa perjuangan fisik, Teuku Hamid Azwar menggunakan perhiasan dan simpanan emas dari isterinya, Cut Nyak Manyak. Emas perhiasan tersebut dibawa Cut Nyak Manyak ketika menyusul suaminya di Bukittinggi. Atas permintaan suaminya, Cut Nyak Manyak ikhlas menyerahkan emas perhiasan yang kemudian digabung dengan emas dari Letkol Teuku M. Daud Samalanga sebagai modal awal pendirian CTC.
Untuk pertama kalinya pimpinan (Direksi) CTC masing-masing ditetapkan adalah :
- Letkol Teuku Hamid Azwar
- Letkol Teuku M. Daud
- Letkol H.A. Thahir
Wakili Presiden RI Bung Hatta, pada tahun 1948, menyarankan agar CTC yang dipimpin oleh Letkol Teuku Hamid Azwar dipisahkan dari struktur organisasi ketentaraan. Oleh karena itu pada tanggal 1 Agustus 1948 CTC ditingkatkan menjadi perusahaan yang berbentuk badan hukum (NV) dengan modal total yang dipegang oleh pemerintah (atas nama BNI) nama baru Central Trading Company Ltd. (CTC Ltd) yang kemudian mendapat tugas lebih luas, yakni mengusahakan perlengkapan untuk Pemerintah RI dan tentara.
Sekalipun ditunjuk sebagai pimpinan CTC Ltd, Teuku Hamid Azwar masih tetap sebagai Perwira Komandemen Sumatera dengan pangkat Letnan Kolonel.
Dari badan hukum NV, CTC diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) dengan nama baru PT. PERSEKUTUAN SERO PUSAT PER-DAGANGAN (CENTRAL TRADING COMPABY LTD).
Teuku Hamid Azwar sebagai pendiri dan pimpinan operasional CTC yang berkedudukan di Bukittinggi juga mendirikan cabang-cabang CTC di setiap daerah di tempat kedudukan Staf Divisi TNI di Sumatera, berikut dengan masing-masing pimpinannya :
– Mayor Oesman Adami (OA) dutunjuk sebagai pimpinan ATC (Aceh Trading Company yaitucabang CTC di Aceh, yang berkedudukan di Langsa.
– Mayor Teuku Muhammad Syah ditunjuk sebagai pimpinan DTC (Dempo Trading Company) yaitu cabang CTC untuk wilayah Palembang dan Bengkulu, berkedudukan di Lubuk Linggau.
– Mayor Ahmad Bay ditunjuk sebagai pimpinan BTC (Batanghari Trading Company) yaitu cabang CTC untuk Wilayah Jambi, berkedudukan di Jambi.
– Letnan Mukmin ditunjuk sebagai pimpinan LTC (Lampung Trading Company) yaitu cabang CTC untuk wilayah Lampung dan Panjang, berkedudukan di Tanjung Karang.
Di daerah -daerah lain di setiap tempat kedudukan Staf Divisi TNI di Sumatera, dibuka cabang CTC, yang semuanya berpusat di Central Trading Company di Bukittinggi.
Di luar Sumatera juga didirikan CTC, antara lain cabang Yogyakarta yang dimaksudkan sebagai penghubung dengan Pemerintah Pusat. Sedang pembukaan cabang Aceh Trading Company di Penang (Malaya) pada masa Agresi Militer Belanda II merupakan cabang CTC yang pertama di luar negri.
Jasa CTC pada masa perjuangan fisik bukan hanya pada Angkatan Darat RI berupa pembelian persenjataan, amunisi dan obat-obatan, melainkan juga memberi manfaat pada Angkatan Udara RI dengan menyumbangkan sebuah pesawat udara. Menurut Teuku M. Daud, semula dua pesawat udara akan disumbangkan CTC ke-pada Angkatan Udara RI. Seperti tercantum dalam surat kabar Sinpo. Jakarta, tanggal 29 Juli 1958. Namun satu di antara pesawat tersebut dibatalkan karena terlalu kecil. Selain itu Angkatan Laut RI pun merasakan sumbangan CTC. Kepada ALRI disumbangkan sebuah kepal speed boat. Di samping itu, CTC juga menyelenggarakan charter pesawat udara untuk perjuangan, antara lain untuk hubungan udara antara Bukittinggi dan Yogyakarta, dan luar negeri.
MENYUMBANG PESAWAT KEPADA ANGKATAN UDARA RI
Posisi Pulau Jawa akibat Agresi Militer Belanda bisa dikatakan sudah cukup terdesak. Sebagai konsekuensinya, pemimpin pemerintahan berusaha memperkuat pertahanan di Sumatera. Atas permintaan KSAU di Jawa, setelah memperoleh persetujuan dari Wakil Presiden Bung Hatta, Panglima Komando Tertinggi Sumatera Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo minta dukungan dana dari rakyat di Bukittinggi (Sumatera) untuk membeli pesawat terbang.
Ketika itu Halim Perdanakusumah dan Iswahyudi mendapat tugas membangun Angkatan Udara RI di Sumatera guna menghadapi kemungkinan hancurnya Angkatan Udara RI di Jawa akibat agresi Belanda.
Pada masa Perang Kemerdekaan itu sangat sulit untuk mengumpulkan dana dari rakyat di Bukittinggi, karena mereka pada umunya sudah cukup kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari saja. Sementara itu pembelian pesawat terbang untuk Angkatan Udara RI sangat mendesak untuk menembus blokade udara Belanda. Karena itu, Panglima Komando Tertinggi Sumatera, Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo minta pimpinan CTC di Bukittinggi utnutk mengusahakan dana, guna pembelian pesawat terbang tersebut.
Pesawat terbang jenis AVRO ANSON akhirnya dibeli di Thailand dalam pembayaran dalam bentuk emas yang berasal dari Cut Nyak Manyak isteri Teuku Hamid Azwar dan dari Teuku M. Daud sebagai sumbangan CTC kepada Angkatan Udara RI.
Pesawat ini dibeli pada tahun 1947, sebelum penyerahan pesawat “Seulawah RI-001” dan “Dakota RI-002” sumbangan rakyat Aceh pada Pemerintah RI. Tetapi karena pesawat ini jatuh, baru kemudian diregristasikan dengan nomor RI-003.
Dipiloti oleh Komodor Muda (Udara) Halim Perdanakusumah dan Opsir (Udara) I, Iswahyudi, pesawat itu mengalami nasib naas karena jatuh di Pulau Hantu, Malaya dalam penerbangan pulang ke Indonesia pada tanggal 14 Desember 1947. Halim Perdanakusumah dan Iswahyudi pun gugur.
Pada suatu saat pemerintah meresmikan Monumen AURO ANSON RI 003 di tengah- tengah kota Bukittinggi dan mengatakan pesawat tersebut sebagai sumbangan ibu-ibu Minang di Bukittinggi.
Cut Nyak Manyak dan keluarga protes menulis surat ke Sekretaris Negara dan dijelaskan bahwa pesawat itu dibeli di Thailand dengan emas miliknya bersama Cut Nyak Aidit istri Teuku M. Daud sebagai sumbangan dari CTC yang pada saat itu berada di Bukittinggi ; Setelah ditelusuri oleh Sekretaris Negara dan AURI, ternyata mereka menemukan ada 2 pesawat AVRO ANSON, seperti tercantum dalam koran Sinpo tanggal 29 Juli 1958.
Kemudian mereka meminta win-win solution untuk kemaslahatan bersama, diminta kesediaan keluarga Teuku Hamid Azwar menerima penghargaan sembangan dari CTC adalah AVRO ANSON RI004 yang dipersiapkan untuk menembus Blokade Udara Belanda. Sedangkan AVRO ANSON RI.003 yang dikemudikan oleh Halim Perdana Kusumah dan Iswahyudi yang jatuh di Pulau Hantu Malaysia merupakan pemberian dari ibu-ibu Minang.
Cut Nyak Manyak Kemala Putri dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta dengan upacara militer. Jasanya diakui Pemerintah bersama suaminya Teuku Hamid Azwar di Bukittinggi memberikan pesawat AVRO ANSON RI 004 pada masa kemerdekaan Penghargaan tersebut tercantum dalam Piagam Tnda Kehormatan (Bintang Mahaputra Negara). Presiden Republik Indonesia berno.Keppers 083 tahun 2000 yang ditanda tangani oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid. Penghargaan serupa juga diberikan kepada Almarhumah Cut Nyak Aidit isteri Teuku M. Daud.
MENYUMBANG KAPAL PPB 58 LB KEPADA ANGKATAN LAUT RI
CTC yang didirikan oleh Teuku Hamid Azwar dan rekan-rekan seperjuangannya pada masa perjuangan fisik pada tahun 1947 di Bukittinggi, banyak berjasa dan membangun fondasi dan sendi Republik Indonesia. CTC tidak hanya menyumbang kepada Angkatan Darat berupa pembelian senjata, amunisi dan obat-obatan serta kepada Angkatan Udara RI berupa pesawat terbang, tetapi juga kepada Angkatan Laut RI (ALRI), berupa sebuah speed boat.
Kapal berbobot mati sekitar 100 ton tersebut sangat terkenal dalam Perang Kemerdekaan. Kapal dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu dikemudikan Mayor (Laut) John Lie menembus blokade Laut Belanda, melegenda di Selat Malaka.
Saat itu Blokade Belanda yang ketat terhadap wilayah darat, laut dan udara membuat perekonomian Indonesia merosot dan sulit berkembang. Pengadaaan logistik dan penyalurannya pun menjadi terhalang. Namun diantara kawasan laut yang diblokade oleh Belanda teradapat perairan yang masih mungkin untuk dilalui kapal untuk beroperasi, yakni perairan jalur Aceh-Malaya, sekalipun dengan resiko besar. Angkutan laut Belanda dan Inggris menguasai perairan yang Vital ini.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, Teuku Hamid Azwar melakukan perjalanan dari Sumatera Selatan ke Singapura, lalu pergi pula ke Penang (Malaya). Di Penang ia membuka cabang Atjeh Trading Company yang merupakan Cabang CTC pertama diluar negri.
Sewaktu terjadi Agresi Militer Belanda II, seluruh organisasi CTC menjadi sasaran militer Belanda dalam mengalami kehancuran kecuali di Aceh dan Penang. Sebagai badan usaha, dua cabang CTC tersebut melanjutkan perdagangan barter untuk memenuhi perlengkapan bagi TNI dan Pemerintahan RI. Pengirimannya dengan cara diselundupkan.
Jalur-jalur di Sumatera berhasil dilalui oleh kapal PPB 58 LB karena keberanian Mayor (Laut) John Lie, yang dengan lincah dapat menerobos blokade Angkatan Laut Belanda. Dengan perlahan-lahan, kapal itu meninggalkan tempat persembunyiannya dan melayari Sungai Tamiang di Aceh yang berliku-liku, sampai akhirnya memasuki Selat Malaka. Sesampai di laut, kapal PPB 58 LB melaju dengan kecepatan penuh, full speed 25 mil/jam. Perjalanan pulang -balik semacam ini selalu berlangsung dengan sangat menegangkan.
Keberhasilan misi John Lie ini memungkinkan dilakukan barter dengan Penang (Malaya) dan Thailand, hasil barter inilah yang diselun dupkan ke Aceh untuk membekali alat senjata dan logistik dalam perang gerilya.
Penyelundupan barang-barang barter ini mereka lakukan pada tengah malam secara lihai, sehingga bisa lolos dari intaian Angkatan Laut Belanda. Dalam suasana yang rawan ini, Mayor John lie memutuskan perairan Aceh sebagai pangkalan basisnya. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa Aceh merupakan satu-satunya wilayah Republik yang masih utuh dan bebas dari pendudukan Belanda. Keputusan itu sejalan dengan instruksi KSAL untuk membantu dan menghimpun kekuatan nasional di daerah Aceh guna melakukan “Perlawanan Rakyat Semesta” berdasarkan “Doktrin Wilayah”.
Seperti telah diutarakan sebelumnya, sebagai hasil barter juga dibawa dengan kapal tersebut ke Aceh seperangkat peralatan radio yang mempunyai pancaran dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni yang mempunyai jangkauan siaran sampai ke Singapura dan Malaya. Radio yang terkuat pancarannya di Indonesia itu dipasang di dataran tinggi Gajo di Takengon, Aceh Tengah dan dinamakan Radio Perjuangan “Rimba Raya”. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, radio ini menyiarkan berita-berita perjuangan ke luar negeri, ke Singapura dan Malaya.
Selain itu dibawah komando Mayor (Laut) John Lie, kapal PPB 58 LB juga dapat menjamin pengadaan dan penyaluran logistik, yang merupakan masalah rawan bagi Aceh dan daerah Sumatera lainnya. Berkat kepawaian John Lie Kapal PPB 58 LB bersama dengan tongkang-tongkang rakyat berhasil memasok persediaan perang gerilya jangka panjang melawan kolonial Belanda.
Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan alat perlengkapan senjata produksi dalam negeri dilakukan pembangunan pabrik senjata dilima tempat di daerah Aceh yakni, di Lhok Nga (Aceh Besar), dan Rantau Kuala Simpang (Aceh Timur) serta tiga lainnya di Kota Bakti ( Aceh Pidie), Redelong (Aceh Tengah) dan Macan Kumbang di Kutacane (Aceh Tenggara). Perlengkapan seperti suku cadang dan bahan-bahan keperluan lima pabrik senjata di Aceh tersebut yang belum mampu dibuat di dalam negeri, harus di selundupkan dengan Speed Boat sumbangan dari CTC dibawah bayang-bayang ketatnya blokade laut Belanda.
AGRESI MILITER BELANDA.
BUKITTINGGI DIDUDUKI BELANDA.
Keinginan Belanda untuk Kembali ke Indonesia tidak pernah surut. Minggu dini hari, 19 Desember 1948 Belanda menyerang Ibukota Negara Yogyakarta dengan maksud “menggulingkan” Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Bersamaan waktunya dengan penyerangan ke Ibukota Yogyakarta, juga dilakukan penyerbuan ke Bukittinggi dan Lubuk Linggau. Bukittinggi dianggap sebagai pertahanan kedua, tempat para pemimpin Republik berada. Sedangkan Lubuk Linggau menjadi sasaran penyerbuan Belanda karena kota tersebut menjadi salah satu jaringan perdagangan yang penting.
Deru pesawat Belanda terdengar pada pukul 20.00 malam menyebarkan pamflet di kota Bukittinggi. Disebutkan dalam pamflet tersebut, bahwa secara sepihak Belanda sudah membatalkan Perjanjian Renville. Diduga keras, Belanda akan melancarkan agresi militernya lagi kepada Indonesia, untuk kembali menguasai negeri ini.
Sebagai akibat dari penyebaran pamflet itu, Bukittinggi jadi gelisah. Keesokan paginya sekitar pukul 8.00 beberapa buah pesawat terbang Belanda muncul kembali, dan kali ini disertai pula dengan penembakan dan pemboman terhadap kota Bukittinggi. Sasaran utama musuh adalah Gedung Pemancar RRI, Kantor Komandemen Sumatera, kesatriaan tentara, berikut gedung-gedung lainnya, dan kendaraan yang sedang melintas di jalan raya. Setelah melakukan penembakan, mereka membawa pesawat-pesawat menghilang ke jurusan Padang.
KELUARGA TEUKU HAMID AZWAR MENGUNGSI KE PAYAKUMBUH.
Rumah keluarga Teuku Hamid Azwar yang biasanya ramai tiba-tiba saja jadi sepi saat Agresi Militer Belanda II dilancarkan. Padahal biasanya rekan-rekan Teuku Hamid Azwar selalu berkumpul di rumah itu. Saat itupun Teuku Hamid Azwar tidak berada di Bukittinggi. Dengan menggunakan pesawat amphibi, Teuku Hamid Azwar sedang melakukan inspeksi kegiatan cabang-cabang CTC di setiap kedudukan Staf Divisi TNI di Sumatera Selatan.
Teuku M. Daud, juga tidak berada di Bukittinggi, karena seperti yang dilakukan Teuku Hamid Azwar, diapun tengah menginspekasi kegiatan cabang-cabang CTC di setiap kedudukan Staf Divisi TNI di Sumatera Utara dan Aceh. Itulah sebabnya, Ketika Agresi Militer Belanda II dilancarkan, mereka akhirnya tidak dapat kembali ke kantor pusat CTC di Bukittinggi, karena kota itu sudah diduduki oleh Belanda.
Praktis, di rumah yang tinggal hanyalah Cut Nyak Manyak, isteri Teuku Hamid Azwar, bersama dengan anak-anaknya, Kapten Teuku Hamzah (Keponakan Teuku Hamid Azwar), Abdullah Yatim dan Teuku Gade Hasan saja.
Cut Nyak Manyak pagi itu melihat banyak orang berkerumun di jalan, setelah dini hari sebelumnya sebuah pesawat udara terbang rendah berputar-putar di atas kota Bukittinggi. Pesawat itu menyebar pamflet yang berisi pengumuman sepihak oleh Belanda, yang menyatakan bahwa Perjanjian Renville tidak berlaku lagi. Mengetahui itu, Cut Nyak Manyak timbul firasat bahwa Bukittinggi akan diserang oleh Belanda.
Karena ada gelagat yang kurang menguntungkan, ia segera mengetuk pintu kamar Kapten Teuku Hamzah dan Abdullah Yatim yang masih tidur nyenyak. Kepada mereka ia jelaskan bahwa Bukittinggi akan segera diserang oleh Belanda. Kapten Teuku Hamzah dan Abdullah Yatim segera bangun dan langsung berkemas, lalu pergi ke markas tentara. Kapten Teuku Hamzah berpesan agar Cut Nyak Manyak dan anak-anak segera mengungsi dan dia akan mengusahakan mengirim kendaraan.
Tidak lama setelah Kapten Teuku Hamzah dan Abdullah Yatim pergi meninggalkan rumah, Bukittinggi diserang bertubi-tubi oleh pesawat udara Belanda dari pukul 8.00 pagi sampai pukul 12.00 siang. Hanya Cut Nyak Manyak bersama 3 orang anak-anaknya yang masih kecil dan sepupunya Teuku Gade Hasan yang masih berada dirumah. Ia duduk bersandar rapat didinding ruang makan, sambal memeluk erat-erat ketiga anak-anaknya, yakni Syahrul (5 tahun), Ida (3 tahun) dan Fully (1 tahun). Dia sangat mencemaskan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu. Maka tak henti-hentinya ia berdoa mohon keselamatan.
Pesawat udara Belanda rasanya terbang sangat rendah sekali, mondar mandir di atas rumah sambil menghujani peluru. Karena rumah Teuku Hamid Azwar terletak kurang lebih 200 meter dari Kantor Komandemen Sumatera dan berada dalam komplek tentara, tak pelak rumah itu pun menjadi sasaran tembak pesawat udara Belanda. Di rumahnya peluru-peluru menerjang dimana-mana, diantaranya jatuh di atas meja makan. Tetapi, Alhamdulilah, peluru-peluru yang dimuntahkan ke rumah itu tidak ada yang melukai mereka.
Setelah lama sejak pagi membombardir Bukittinggi, siang hari serangan Belanda mereda, dan kemudian berhenti. Saat itulah Kapten Teuku Hamzah mengirim truk untuk menjemput mereka. Kendaraan itu penuh dengan lumuran darah karena bekas dipakai untuk mengangkut para korban ke rumah sbanyak sakit. Menurut pengemudinya, hari itu banyak sekali korban yang berjatuhan.
Tanpa membuang waktu, bersama ketiga anaknya dan Teuku Gade Hasan, Cut Nyak Manyak naik keatas truk itu. Pertama-tama mereka menuju ke Jl. Payakumbuh No.57, tempat keluarga Teuku Nyak Arief (almarhum). Sebagaimana diketahui, Teuku Nyak Arief adalah saudara sepupu Teuku Hamid Azwar. Di rumah itu, mereka bertemu dengan Teuku Sulaiman Tungkop, yang juga masih ada hubungan keluarga.
Sebenarnya ia sedang sakit, namun dengan berpakaian seragam rumah sakit ia meninggalkan tempat perawatan, karena rumah sakit pun tidak luput dari serangan udara Belanda. Akan halnya truk itu, setiba dirumah keluarga Teuku Nyak Arief segera pergi untuk kembali membantu para korban yang berjatuhan.
Tidak lama kemudian datanglah Kapten Teuku Hamzah menjenguk keluarga Teuku Hamid Azwar. Dia sekaligus membawa kendaraan lain, sebuah sedan merk Plymouth warna hijau tua untuk mengungsi. Kemana akan mengungsi, Teuku Hamzah sepenuhnya menyerahkan kepada mereka. Akhirnya diputuskan untuk mengungsi ke Payakumbuh, ke kediaman Jazid, mantan Menteri Polisi untuk daerah Aceh dan sekitarnya, yang adalah mertua Teuku Nyak Arief.
Di mobil itu, Cut Nyak Manyak yang tengah hamil, berdesak-desakan dengan rombongan untuk meninggalkan Bukittinggi. Jadi mobil itu diisi oleh Cut Nyak Manyak dengan 3 anaknya, lalu Cut Nyak Jauhari dengan 2 anaknya. Teuku Syamsul Bahri (15 tahun), yang kemudian jadi Dosen dan Pembantu Rektor USU dan Cut Arifah Nasri (12 tahun), yang kemudian diperistri oleh Teuku Umar Ali (Almarhum), mantan Sekjen Departemen Perdagangan RI ikut pula dalam rombongan itu, Teuku Sulaiman Tungkop dan Teuku Thayeb beserta isterinya.
Naas pula, baru kira-kira 10 km meninggalkan kota Bukittinggi, tepatnya pada pukul 14.00, Belanda Kembali menyerang secara bertubi-tubi . Kendaraan yang membawa mereka terpaksa berhenti. Lalu mereka pun mencari perlindungan dan bersembunyi di parit-parit. Serangan udara berlangsung selama 4 jam terus menerus dan pukul 18.00 barulah berhenti.
Begitu Belanda menghentikan serangannya, mereka bersiap melanjutkan perjalanan ke Payakumbuh. Tapi tak disangka, kendaraan yang akan mengantar mereka itu rusak total, tidak bisa jalan lagi karena terkena serangan udara Belanda.
Akhirnya diputuskan untuk melanjutkan pengungsian itu dengan berjalan kaki. Bisa dibayangkan beratnya keadaan yang harus dijalani Cut Nyak Manyak yang saat itu tengah hamil.
Tak jauh dari tempat mereka memarkir sedan tadi, seorang ibu yang sedang menyusui, berikut bayinya, tewas didalam truk yang ditumpanginya. Si ibu dan bayinya yang tewas berlumuran darah itu rupanya tidak sempat keluar dari kendaraanya, sehingga menjadi sasaran peluru yang dimuntahkan ke truk itu.
Dalam serangan itu Belanda banyak menjatuhkan korban, terutama warga sipil, wanita dan anak-anak. Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau malam hari sepanjang perjalanan mereka sering bertemu dengan pemuda-pemuda yang bersiaga penuh dengan obor dan bambu runcing.
Setibanya di Payakumbuh, ternyata kota itu pun dilanda peperangan. Hampir setiap malam senapan mesin Belanda menyala berapi-api menerangi kegelapan berdesingan di depan rumah yang mereka tumpangi. Mau tidak mau hampir setiap malam Cut Nyak Manyak bersama anak-anaknya dan rombongan lari masuk ke lubang perlindungan dalam tanah, yang telah dipersiapkan di pekarangan belakang rumah.
Dalam kegelapan malam, mereka berdesak-desakan berlindung dalam lubang perlindungan. Demi keamanan hanya boleh menggunakan sedikit cahaya lampu minyak. Mereka menyadari bahwa kini keselamatan mereka di Payakumbuh pun mulai terancam. Apalagi ada kecurigaan dari penduduk setempat bahwa mereka datang dari Bukittinggi sebagai mata-mata Belanda. Di pihak lain, Belanda pun mencari Letkol Teuku Hamid Azwar, pemasok perlengkapan bagi TNI dan pemerintah RI sampai ke Payakumbuh. Suatu malam, Jazid, mertua Teuku Nyak Arief yang akrab disapa Papa Gaek orangtua yang sangat benci Belanda itu dijemput oleh sekelompok pemuda rakyat. Lalu, keesokan malamnya, hal yang sama juga terjadi pada anaknya yang bernama Asram. Semenjak itu mereka menghilang dan tak kembali lagi kerumah. Keluarganya yang mencari hanya menemukan tetesan darah mereka disepanjang jalan mulai dari depan rumah, entah menuju kemana.
Akhirnya rombongan Cut Nyak Manyak memutuskan untuk secara diam-diam pada malam berikutnya meninggalkan Payakumbuh dan kembali ke Bukittinggi dengan berjalan kaki lagi. Tidak bisa dihindari, mereka pun harus kembali keluar masuk hutan belukar, serta naik turun gunung. Selama dalam perjalanan, mereka makan dan minum apa saja yang ditemui. Setiap bertemu dengan pos TNI rombongan berhenti beristirahat sejenak.
Dalam perjalanan tersebut di jalan raya mereka sering nyaris berpapasan dengan konvoi kendaraan dan tank tentara Belanda. Tatkala dari jauh terdengar suara tank dan konvoi kendaraan tentara Belanda, mereka cepat-cepat bersembunyi ke dalam hutan. Yang paling berat adalah Cut Nyak Manyak, sebab saat itu ia tengah hamil tua. Tetapi ia terus berjalan walaupun dengan tongkat. Anak-anaknya Fully (1 tahun), tak pernah lepas dari gendongan Cut Nyak Manyak, baik ketika berangkat ke Payakumbuh, maupun saat kembali ke Bukittinggi. Sedangkan Syahrul (5 tahun) dan Ida (3 tahun)berjalan sendiri. Bila dipegunungan ketemu jalan raya yang berbelok-belok, mereka gembira ria, berlari-lari bercanda jauh di depan rombongan.
Mereka belum mengerti bahaya perang. Karena itu, sesekali Teuku Syamsul Bahri, putra almarhum Teuku Nyak Arief, terpaksa harus mengejar dan menarik mereka kembali ke rombongan jika mereka berada jauh di depan dan ditikungan jalan sehingga hilang dari pandangan mata. Keduanya dikawatirkan akan kepergok duluan oleh konvoi Belanda yang sering melintas di jalan raya tersebut.
Sebelum masuk ke kota Bukittinggi, rombongan singgah dulu ke Kampung Kapau untuk mengambil kembali koper dan barang bawaan yang dititipkan dulu sewaktu menempuh jalan kaki ke Payakumbuh. Namun ternyata semua barang itu hilang.
Setibanya di Bukittinggi anak keempat Teuku Hamid Azwar lahir, seorang bayi perempuan, putri jelita yang kemudian diberi nama Cut Hilda Azwar (Hilda), tetapi umurnya tidak panjang, hanya dua minggu. Perjalanan berat yang ditempuh Cut Nyak Manyak rupanya telah mengganggu kesehatan bayi yang dikandungnya.
Ketika di Padang Cut Nyak Manyak mengurus izin keluar daerah izin dulu yang diberlakukan oleh Belanda kepada warga yang mau meninggalkan Padang. Cut Nyak Manyak waktu itu memutuskan bahwa lebih baik ia bersama anak-anaknya ke Medan, mengungsi ke rumah pamannya Prof. Mr. Teuku Hanafiah, karena ia tidak tahu dimana sebenarnya suaminya berada.
MEMBUKA CABANG CTC DI PENANG.
Ketika berada di Muara Tebo, di Sumatera Selatan, sebelum Teuku Hamid Azwar ke Curup bertemu Panglima Sumatera Selatan Kolonel Simbolon, ia berjumpa dengan Teuku Muhammad Hassan dan Dr. A.K. Gani Gubernur Militer Sumatera Selatan bergabung dengan Pemerintah Darurat RI.
Mr. Teuku Muhammad Hassan saat itu sedang berkunjung ke Muara Tebo bersama dengan Dr. A.K. Gani. Hingga saat pengakuan kedaulatan RI, basis-basis pertahanan TNI Angkatan Darat bersama dengan ALRI yang berada di daerah Muara Tebo.
A.K. Gani yang dijuluki Belanda sebagai “Raja Smokel di Timur Jauh” meminta agar Letkol Teuku Hamid Azwar mengupayakan penyelundupan bahan-bahan Republik ke luar negeri dengan berbagai cara untuk membantu perjuangan. Penyelundupan itu harus dilakukan karena Belanda melancarkan blockade ekonomi dengan cara mengawasi seluruh Pelabuhan. Salah satu perwira TNI yang sangat dekat dengannya dalam urusan yang sangat berbahaya itu adalah Letkol Teuku Hamid Azwar, tokoh pembangunan API/TKR di Aceh pada awal proklamasi kemerdekaan. Teuku Hamid Azwar kenal dengan A.K. Gani sewaktu hijrah keluar Aceh bersama Syamaun Gaharu.
Setelah berlayar dari Sungai Rokan dengan motor boat melintasi Selat Malaka menerobos celah-celah pengawasan ketat Angkatan Laut Belanda. Teuku Hamid Azwar bersama Murni tiba di Singapura. Murni anak angkatnya yang ditemukan di hutan Sumatera Selatan, kemudian tinggal dan disekolahkan di Singapura hingga kedaulatan kemerdekaan diakui.
Setelah pengakuan kedaulatan, Teuku Hamid Azwar meminta bantuan H.A. Tahir untuk mencarikan orangtua Murni di Palembang yang terpisah dalam hutan di Sumatera Selatan dengan anaknya itu sewaktu mengungsi pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II. Setelah orangtuanya ditemukan, Murni kemudian diantar ke Palembang dan diserahkan kembali kepada mereka.
Dari Singapura Letkol Teuku Hamid Azwar pergi ke Malaya. Di Penang, Malaya ia membuka cabang Atjeh Trading Company. Pembukaan cabang di Penang itu merupakan cabang CTC yang pertama di luar negeri. Di Penang ia dibantu oleh Abdullah Yatim, Teuku Sarong dan Jaffar Hanafiah yang kemudian menyusul ke sana. Satu-satunya cabang CTC yang masih utuh saat itu adalah di Aceh dengan menggunakan nama Atjeh Trading Company. Agresi Militer Belanda II menghancurkan organisasi CTC dengan cabang-cabangnya yang telah dibuka disetiap daerah di Sumatera di tempat kedudukan Staf Divisi TNI. Tetapi, Aceh dan Penang selamat sehingga usaha CTC dapat dilanjutkan.
Kapal speed boat No. PPB 58 LB sumbangan CTC dibawah pimpinan Mayor (Laut) John Lie, dengan kelincahan dan keberaniannya, dapat menembus blockade laut Belanda, sehingga dari Aceh dapat dilakukan penyelundupan barter dengan Penang (Malaya). Setiba di Penang Letkol Teuku Hamid Azwar menulis surat kepada Teuku M. Daud.
Pengurusan barter barang-barang hasil dari Aceh dikoordinir oleh Osman Adami (OA) pimpinan Atjeh Trading Company (ATC), cabang CTC di Aceh dengan mendapat pengarahan dari Teuku M. Daud, Direktur CTC yang selama Agresi Militer Belanda II berada di Aceh. Penyelundupan barang barteran itu pada umumnya dilakukan pada malam hari dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga bisa diselamatkan dari intaian Angkatan Laut Belanda.
Dari hasil barter melalui cabang CTC di Aceh dan Penang tersebut, usaha CTC untuk melakukan penyediaan perlengkapan senjata dan keperluan-keperluan lain bagi TNI dan pemerintah RI pada masa Agresi Militer II masih terus berlanjut. Kekurangan perlengkapan militer RI telah disadari Teuku Hamid Azwar saat berada di Sumatera Selatan Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I. Karena itu, pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II dari Sumatera ia berusaha berlayar dengan motor boat menembus celah-celah blockade laut Belanda di Singapura. Kemudian dari Singapura ia ke Penang (Malaya) membuka cabang Atjeh Trading Company di sana agar dari Penang dan Aceh dapat dilanjutkan pengiriman senjata bagi TNI.
Selain pengiriman senjata, kehadiran kapal cepat No. PPB 58 LB sumbangan CTC yang dikemudikan Mayor John Lie, salah satu hasil barteran CTC yang dilakukan oleh Mayor Osman Adami direktur Atjeh Trading Company atas petunjuk Teuku Hamid Azwar pimpinan CTC, adalah seperangkat radio dengan kekuatan 350 watt telegrafi dan 300 watt telefoni.
Perangkat radio ini mempunyai daya jangkau siaran jauh sampai Singapura dan Malaya, menyiarkan perjuangan ke luar negeri.
Pemancar radio perjuangan ini berpindah-pindah tempat di daerah Aceh. Setelah Agresi Militer kedua dipindahkan ke Rimba Raya, 62 km dari Bireun menuju Takengon.
Dari segi politis, siaran radio ini meng-counter suara radio Belanda yang dipancarkan dari Sabang. Debat radio ini dengan radio Belanda dipantau di luar negeri, yang menyatakan bahwa Indonesia sudah lumpuh dan pimpinannya sudah ditangkap. Jasa radio ini besar sekali pada masa perang kemerdekaan RI.
Fungsi radio ini:
Kedalam: Meninggikan moral perjuangan rakyat dan TNI yang sedang bergerilya. Mendukung para diplomat kita di PBB dan forum Internasional.
Keluar: Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih eksis dan TNI mampu mengadakan aksi ofensif dan mematahkan pasukan Belanda.
Setelah penandatanganan perjanjian “Roem-Royen” yang melahirkan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Teuku Hamid Azwar bertemu kembali dengan keluarganya di Medan. Dari Medan Teuku Hamid Azwar beserta keluarganya pergi dan menetap di Jakarta.
KEGIATAN DIUSIA LANJUT: SEORANG SENIMAN
Pada tahun 1971 Teuku Hamid Azwar (55 tahun) menderita sakit jantung. Dokter menyarankan agar ia berhenti minum kopi, merokok dan meninggalkan kegiatan bisnis dan pekerjaan berat yang membuat stress serta disarankan mengerjakan pekerjaan yang menyenangkan. Sesuai dengan anjuran dokter, beliau banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan santai yang menyenangkan dan meninggalkan amal ibadah.
Dua puluh lima tahun kemudian beliau meninggal dunia pada tanggal 7 Oktobe 1996 di Singapura akibat serangan jantung dalam usia 80 tahun. Sebelum meninggal fisiknya masih segar, tegap dan pikirannya masih jernih.
Selain seorang pedagang dan pejuang, Teuku Hamid Azwar ternyata juga merupakan seorang seniman. Orang-orang tua pernah menceritakan kepada Teuku Syahrul Azwar, putra sulungnya, bahwa sejak kecil Teuku Hamid Azwar senang menggambar, symbol CTC yang bagian atasnya bergambar jebgger bali dan kiri kanan sayap burung garuda dan dibawahnya tercantum tulisan CTC adalah ide beliau, yang melambangkan CTC sebagai perusahaan khas Indonesia yang sedang melakukan ekspansi bisnisnya ke seluruh pelosok dunia.
Bakat senimannya tidak pernah dikembangkannya, terutama sewaktu Teuku Hamid Azwar masih aktif dalam pekerjaan, dan baru mendapat waktu lebih banyak di usia lanjut. Dalam mengisi waktu senggang mencari kesibukan yang tidak membuat stress, beliau mengarang 3 buah novel yaitu tentang kisah cinta dimasa perjuangan antara lain masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Kisah yang dikarangnya ini masing-masing terjadi di Batavia, Madura dan Sumatera Timur.
Pada tahun 1984 atas permintaan rekannya, Mas Agung, ketiga novel yang masing-masing berjudul Jeritan Jiwa, Maryati dan Fantasia tersebut diterbitkan oleh penerbit CV. Haji Mas Agung dan dipasarkan oleh PT. Gunung Agung. Kemudian oleh Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, ketiga novel tyersebut disarankan menjadi bacaan bagi pelajar.
PENASEHAT KADIN
Pada tahun 1980 Teuku Hamid Azwar diangkat sebagai penasehat Kadin, Ketika pimpinan Kadin berada ditangan Dr. Haji Hasyim Ning. Teuku Hamid Azwar yang diusia mudanya sangat aktif, tidak pernah diam dan selalu sibuk dengan pekerjaan, sangat sulit menghentikan kesibukan-kesibukan tersebut diusia lanjut. Dokter pun sulit mencegahnya.
PENDIRI PT. UNEXCO
Sewaktu dokter mengatakan bahwa jantungnya sudah lebih baik dan beliau boleh mulai bekerja asalkan tidak berat-berat. Pada tahun 1980 beliau turut mendirikan PT. Unexco yang berubah menjadi PT. Inecda. Di perusahaan yang bergerak dalam bidang trading (udang) dan perkebunan besar (kelapa sawit) ini beliau menjabat sebagai Presiden Direktur sampai pada tahun 1989.
Sampai dengan akhir hayatnya, beliau bergabung dengan Incda Grup, dengan jabatan sebagai berikut :
- Presiden Komisaris PT. Inecda (perkebunan kelapa sawit)
- Presiden Komisaris PT. Wirya Perca (perkebunan kelapa sawit)
- Chairman PT. Pan Inecdacor (Holding & Investment).
MENDIRIKAN PESANTREN PUTRI MU’HAD AL-FIRDAUS DI SAMALANGA.
Pada tahun 1982 Teuku Hamid Azwar bersama ahliwaris Teuku Chik Samalanga lainnya, antar lain Teuku M. Daud, T. Yusuf Husin, T. Nazarudin ZA dan Cut Zuraida mendirikan “Yayasan Putri Mu’had Al-Firdaus”.
Ditandai dengan pembukaan selubung papan nama dan penanda tanganan piagam, Nyonya Hadi Thayeb pada tanggal 26 Februari 1984 meresmikan pesantren putri Mu’Had Al-Firdaus Samalanga, Aceh Utara, didampingi oleh T.H. Hadi Thayeb, Gubernur Aceh pada masa itu, Ny. Hawiyah Ali Basyah dan Teuku Hamid Azwar sebagai pendiri Yayasan.
Yayasan ini didirikan sebagai proyek monumental keterpaduan cipta, rasa dan karsa antara ulama dan umara samalanga di zaman Pocut Firdaus, mengingat Samalanga merupakan mercusuar tempat belajar ilmu agama di Serambi Mekah, yang didatangi oleh penuntut ilmu dari penjuru Aceh.
Nama Yayasan ini mengadung dua arti, Pertama mengabdikan nama seorang putri bangsawan Samalanga yang alim dan saleh, yang telah memilih tanah suci Mekah sebagai tempat hidup dan matinya, demi kecintaanya kepada ka’batullah dan mesjidil haram. Rumah peninggalannya ini dijadikan pesantren putri Firdaus Samalanga. Kedua, mengambil berkah dengan nama surga “jannatul Firdaus”. Dengan demikian diharapkan bahwa putri-putri keluaran pesatren ini nantinya merupakan bidadari-bidadari surga dunia dan akherat.
Pada saat peresmian Teuku Hamid Azwar menjelaskan bahwa jumlah santri sampai dengan saat itu adalah 84 orang, di samping pengajian kamu ibu sekitar 150 orang, sekolah Aliyah 120 orang dan Mts 360 orang. Sebagai Langkah awal pihak Yayasan telah merehabilitasi banguna kuno yang dibangun hamper dua abad yang lalu.
Areal seluas 8.500 m2 meliputi sawah 6.500 m2, bangunan induk 800 m2, mushola 50 m2, tempat wudhu 20 m2, WC/sumur 20 m2, gardu listrik 20 m2 dan tanah pekuburan 500 m2. Pesantren ini merupakan wakaf ahli waris Teuku Chik Samalanga ini mendapat sambutan dan partisipasi cukup besar dari masyarakat kecamatan Samalanga.
MEMPRAKARSAI PENDIRIAN RUMAH SAKIT MEURAXA DI BANDA ACEH.
Yayasan Rumah Sakit Meuraxa didirikan melalui akta notaris Husin Usman SH di Banda Aceh, No. 55 pada tanggal 28 Desember 1987. Sebagai pendiri dan juga pemerkarsa adalah Teuku Hamid Azwar, T. Gade Hasan, Dr. T. Tadjuluddin dan T. Hamzah Meuraxa.
Sedangkan sebaga-i pelindung, Gubernur Daerah Istimewa Aceh, Menteri Sosial RI (pada masa itu), Ny. Nani Soedharsono dan Ny. Rahmi Hatta.
Asset yang dimiliki Yayasanantara lain sebidang tanah wakaf seluas 15.880 M2, terletak di Ulhee Lhee, Banda Aceh, berasal dari wakaf ahli waris Teuku Nek Meuraxa, keluarga dari pihak ibu Teuku Hamid Azwar.
Pendirian rumah sakit dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, antara lain dengan mengadakan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat serta menjalankan usaha-usaha lain yang selaras dengan maksud dan tujuan yayasan dan lain-lain.
MENYUMBANGKAN PIKIRAN
Diusia lanjut Teuku Hamid Azwar sebagai pengusaha yang berasal dari Aceh dan berdomisili di Jakarta pernah memberikan pandangan beliau pada generasi penerus dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh Universitas Syah Kuala di Banda Aceh dengan tema “Dunia Usaha di Aceh Perlu Perombakan”. Beliau menjelaskan antara lain bahwa bangunan usaha di Aceh saat ini perlu dirombak guna mengantisipasi permasalahan ekonomi, regional, nasional dan internasional yang semakin kompleks dan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah membiayai pembangunan secara keseluruhan.
Bangunan dunia usaha di Aceh harus dirombak guna melahirkan iklim berusaha yang baik dan sekaligus memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal. Perombakan tersebut tidak hanya meliputi badan usaha dan manajemen, tetapi juga pola pikir para pengusaha.
Selain itu, perombakan badan usaha tersebut dimaksudkan untuk dapat menciptakan sarana distribusi yang semakin baik dan memperpendek jaringan birokrasi yang dinilai menghambat dunia usaha, serta memasang jaringan informasi yang jelas, obyektif, baik diantara para pengusaha sendiri maupun dengan pasar. Sekalipun Teuku Hamid Azwar telah lama meninggalkan Aceh dan berdomisili di Jakarta dan telah banyak berbuat sesuatu untuk kepentingan nasional, namun sampai dengan usia lanjut beliau tetap tidak lupa dan menaruh perhatian terhadap pembanguan daerah Aceh, kampung halaman, tanah tempat kelahirannya.
Teuku Hamid Azwar dilahirkan di Samalanga, Aceh, pada tanggal 23 Oktober 1916, meninggal dunia tanggal 7 Oktober 1996 di General Hospital Singapore dalam usia 80 tahun dan dimakamkan pada tanggal 9 Oktober 1996 di taman pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Beliau telah berhasil mengibarkan bendera Indonesia dalam membangun reputasi bisnis di dunia internasional setelah kemerdekaa RI, demikian disampaikan Ir. Irwan Sarkawi, Direktur Utama CTC (PT. Panca Niaga) dalam sambutannya pada saat pemakaman Teuku Hamid Azwar.
Demikian uraian sosok dibalik Letnan Kolonel TNI (Purn) Teuku Abdul Hamid Azwar; Calon Pahlawan Nasional dari Aceh. Kami rakyat Aceh bangga melihat kontribusi Teuku Hamid Azwar terhadap NKRI. []