Tadi sore, salah satu kelas mata kuliah yang saya asuh, tiba untuk ujian tengah semester. Dan saya mengawasinya dengan ketat. Setiap kelas, memang saya awasi dengan baik. Setidaknya, saya sudah melaksanakan ujian pada empat kelas. Termasuk kelas Pancasila, yang salah satu tujuan ingin membentuk karakter pembelajar —satu identitas yang memperlihatkan satu kata dengan perbuatan. Tetapi pada mata kuliah ini pun, harus diawasi dengan baik.
Pengawasan harus dilaksanakan –bahkan—berlapis. Saya berkeliling di ruang kelas, dari satu sudut ke sudut lain. Tidak cukup hanya karena saya berada di dalam kelas. Ada ragam cara dilakukan untuk mencuri-curi agar bisa mengakses catatan. Bahkan saat masuk kelas, sebagian peserta ujian langsung menyerbu kursi-kursi belakang. Biasanya, pengalaman semester sebelumnya, mahasiswa yang duduk di depan, apalagi dengan sukarela, memperlihatkan kemampuan akademik mereka yang baik dan terukur.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa harus diawasi? Bukankah tujuan ujian adalah menguji kemampuan kita? Seberapa mampu menguasai ilmu pengetahuan yang telah diajarkan? Apa yang terjadi jika tidak diawasi? Mencontek jadi satu realitas penting. Upaya mengejar hasil, tanpa perlu berkorban dan kerja keras. Hal ini antara lain menjadi alasan mengapa harus diawasi dengan ketat.
Ada satu pertanyaan penting lainnya mesti dijawab, yakni mengapa menyontek tidak bisa ditinggalkan? Bahkan dalam bulan yang penuh rahmat ini? Jawabannya karena pembelajar tidak yakin dengan apa yang telah diupayakannya. Sebagian yang lain, merasa tidak perlu belajar karena yang penting baginya adalah hasil yang baik. Mungkinkah ada sebagian yang masih yakin, sehingga tidak akan menempuh jalan apapun bila menggadai kejujuran? Posisi kejujuran ini seharusnya jauh lebih penting dari hanya sekedar ingin memperlihatkan bisa mendapat nilai yang bagus.
Pesan inilah yang seharusnya disampaikan kepada semua orang. Melakukan apapun harus berdasarkan proses, tidak semata soal hasil. Jangan sampai karena mengejar hasil, namun menghalalkan berbagai cara. Bahkan untuk mendapatkan nilai yang bagus, mau dan mampu melakukan langkah-langkah yang menjijikkan.
Mereka yang berproses adalah memanfaatkan setiap momentum untuk berusaha. Bagi orang yang berusaha, proses sebagai sesuatu yang harus dilalui, lalu mereka yakin bahwa sesuatu akan mereka dapatkan. Proses ini yang dilakukan melalui sejumlah rencana yang dipersiapkan untuk itu.
Mereka yang berproses, tidak hanya untuk urusan belajar. Bahkan mereka yang berjualan di warung kecil pinggir jalan pun, berusaha dengan penuh kejujuran. Mereka yakin, dengan proses yang baik, akan membawa kepada hasil yang baik. Saya pernah berpengalaman mengenal seorang penjual jus dengan harga murah di warung kecil. Awalnya saya penasaran, karena yang antre membeli jus di sini banyak. Isinya juga jumbo, dengan harga murah.
Mengapa harganya bisa murah? Tentu ada alasan dari penjual ini. Suatu pagi, secara tak sengaja saya melihat penjual ini sedang bertransaksi di pasar tradisional. Saya melihat penjual jus sedang memilih buah-buah yang akan dijual. Ia memilih sendiri buah-buahan yang mau dibeli, dengan tekun. Sepertinya sudah ada komunikasi yang baik antara dia dan penjual buah di sana, sehingga penjual jus ini terlihat nyaman sekali melakukan demikian.
Rupanya, yang ia lakukan –dengan target ingin memberi harga murah—sangat sederhana. Ia memilih buah yang tidak begitu besar, dengan kondisi buah yang mungkin tak masuk dalam kualitas super. Dengan kualitas sedang itu, harga yang dibeli dengan sendirinya juga menjadi murah. Harga yang demikian, memungkinkan juga harga ke konsumen menjadi murah. Saya sebut memungkinkan, karena tak semua penjual akan memilih jalan untuk menawarkan harga murah seperti ini. Umumnya penjual menginginkan untung yang banyak.
Menarik bagi saya karena penjual jus ini tidak mengambil untung yang berlipat. Biasanya orang-orang, walau memakai bahan yang sedang dengan harga yang juga sedang, tetapi giliran menawarkan ke konsumen, harganya akan disesuaikan dengan harga yang super. Beda dengan penjual jus ini. Orang ini tidak demikian. Ia tetap mengambil sedikit setelah dihitung dengan modal yang harus dikeluarkan.
Setelah menyaksikan dan tahu kondisi tersebut, saya sempat bertanya mengapa ia bisa berjualan dengan rumus sesederhana itu. Jawabannya sudah sering kita dapatkan dari kearifan-kearifan, bahwa ketika orang yang membeli senang, maka mereka akan membawa penjual sebanyak mungkin ke tempat kita. Barangkali rumus inilah yang berlaku ketika kemudian banyak orang yang datang ke sana turut andil dari pembeli sebelumnya.
Mencari untung yang pas-pasan bukanlah tipikal semua penjual. Saya sedikit belajar pada orang ini mengenai satu versi kejujuran, di tengah riuh-rendah ketidakjujuran masif. Dalam konteks yang lebih luas, bahkan orang yang seharusnya melayani kita pun, semakin sering berjual beli dengan kalkulasi untung rugi. Pertanyaannya apakah mereka yang telah menerima hak untuk melayani rakyat, lalu kemudian bermain teka-teki dalam melayani, tidak takut akan ada mahkamah dari tanggung jawabnya?
Pengalaman saya ini, mengingatkan apa yang dilakukan sejumlah pembelajar di ruang kelas. Saat mereka merasa wajib memperoleh untung lebih banyak melalui nilai bagus, namun dengan tidak berusaha, justru akan memungkinkan mereka memiliki jalan-jalan buruk. Tidak berproses dengan detail dan teliti, sebagaimana penjual jus melakukannya penuh tekun.
Saya berharap, bulan ini, selalu menjadi momentum untuk memperkuat kejujuran kita. Membiasakan diri dalam melakukan apapun dengan berusaha lalu yakini akan hasil yang baik. Melakukannya dengan jujur, berproses jugan jujur, agar mendapatkan hasil yang juga jujur.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Jumat, 14 Puasa 1446, 14 Maret 2025]