Oleh: Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.
Dosen dan Peneliti Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Diskursus peradilan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sistem hukum kolonial. Sistem hukum kolonial secara sporadis meng-obok-obok sistem hukum dan kebiasaan masyarakat yang telah dipraktikkan bertahun-tahun lamanya.
Lawrence Friedman (1975), mengemukakan ”biasanya penjajah akan menerapkan sistem hukum mereka sendiri (hukum Barat) di wilayah jajahannya”. Karena itu, tidak mengherankan pada masa penjajahan, hukum pribumi seperti peradilan adat masa kolonial dikesampingkan oleh sistem hukum penjajah.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sistem hukum Indonesia masih mengekor pada sistem hukum penjajah, tidak mampu berdiri tegak di atas hukum sendiri. Di Aceh misalnya, meski hukum adat diakui dan hukum Islam diberlakukan, tetapi apabila bertentangan dengan hukum Negara. Maka hukum negaralah yang digunakan. Hukum Adat tersebut dikesampingkan.
Pasca reformasi, negara kembali memberikan pengakuan penerapan sistem hukum adat. Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) hasil amandemen ke 2 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat”. Pengakuan konsitusi ini memberikan angin segar dan dijadikan landasan utama perundang-undangan dalam menerapkan kembali pemberlakukan sistem hukum adat (termasuk peradilan adat) di Indonesia.
Di Aceh sendiri, pasca reformasi dan penandantanganan memorandum of understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, kedudukan hukum adat dan peradilan adat semakin kuat. Hal ini seiring dengan adanya pengakuan lanjutan melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dilanjutkan dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat dan Peraturan Gubernur Nomor 60 tahun 2003 tentang penyelesaian sengketa melalui peradilan adat.
Kedudukan tersebut tentu akan berdampak pada kelangsungan peradilan adat di Aceh yang dalam kenyataanya mulai diterima oleh masyarakat sebagai peradilan alternatif dalam menyelesaikan perkara-perkara kecil/ringan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Peluang ini sebetulnya sangat membantu mengurangi penumpukan perkara pada peradilan negara, dan pada waktu yang sama meminimlisir banyaknya orang yang akan dipenjara.
Namun, di tengah gencarnya sosialisasi peradilan adat oleh Majelis Adat Aceh (MAA), lahir tantangan baru yaitu hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UUDES) beserta turunannya.
UUDES meskipun bertujuan mulia mensejahterakan masyakarat di perdesaan, akan tetapi sering membingungkan pada tataran pelaksana, terkait dengan berbagai istilah dalam UUDES dapat saja jatuh kembali pada ‘lobang’ yang sama, sebagaimana pernah jatuh ketika pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, di mana konsep pengelolaan desa diseragamkan dengan konsep yang ada di tanah Jawa.
Bagaimanakah masa depan Peradilan Adat di Aceh?
Penyelesaian sengketa melalui peradilan negara belum mampu mengurangi angka pelanggaran hukum di Indonesia. Proses penyelesaian yang bertele-tele, “mahal”, dan dalam waktu lama juga dianggap belum memuaskan masyarakat pencari keadilan. Bahkan, penjatuhan hukuman dan hukuman penjara oleh pengadilan Negara sekalipun, tidak lantas menjamin si terhukum tidak akan melanggar hukum. Dalam beberapa kasus si terhukum justru melakukan kejahatan kembali dalam penjara.
Menjawab tantangan tersebut, maka pemerintah Aceh seharusnya lebih serius mengaktifkan kembali penyelesaian sengketa melalui peradilan adat, meskipun gempuran positivisme hukum terus mejadi tantangan.
Peradilan Adat merupakan suatu proses atau cara untuk mempertahankan hukum adat materil di pengadilan adat. Para pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan hukum adat (hukum adat materil) dapat dibawa ke hadapan majelis hakim adat untuk disidangkan dengan maksud dan tujuan mencari jalan perdamaian.
Marcus Tullius Cicero (Cicero) lebih 2000 tahun lalu telah mengatakan bahwa, ubi societies ibi ius, di mana ada masyarakat disitu ada hukum. Dengan perkataan lain, “di mana ada hukum di situ ada hakim”.
Hukum dan hakim adalah dua entitas yang tidak boleh dipisahkan, bagaikan air dengan ikan. Hakim bertugas mengadili bukan menghukum, mengadili sudah pasti berbeda dengan menghukum.
Konsepsi hukuman ini barangkali yang dimaksudkan dengan keadilan dalam konsepsi hukum di manapun. Dalam salah satu asas hukum dikatakan, orang bersalah dikatakan tidak bersalah sepanjang belum ada putusan inkrah yang mengatakan ia tidak bersalah, presumsion of innocence. Dengan demikian, antara hukum dan hakim harus benar-benar berada di tengah orang yang berhadapan dengan pengadilan, bukan justru menjadi momok menakutkan bagi pencari keadilan.
Kini, peradilan adat di Aceh telah mendapatkan pengakuan perundang-undangan. Karena itu, ke depan, keberadaan peradilan adat lebih dihargai dan dihormati lagi. Dukungan Hakim Peradilan Negara diperlukan dengan cara menolak mengadili perkara yang telah di putus oleh peradilan adat, atau Hakim Pengadilan Negara setidaknya dapat menjadikan putusan peradilan adat sebagai acuan jika ada para pihak mengajukan lagi kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan adat.
Sebaliknya, peradilan adat jangan mengadili kasus-kasus skala besar yang menjadi kewenangan peradilan Negara. Hubungan saling menghormati dan menghargai ini tentu akan menguntungkan masyarakat yang mencari keadilan pada kedua-dua peradilan tersebut. Pada masa yang sama tujuan hukum juga tercapai.
Perlu digarisbawahi pula bahwa, peradilan adat berbeda dengan peradilan negara, peradilan adat meskipun sebagai peradilan, namun dalam kacamata peraturan perundang-undangan tetap berada dalam sebuah sistem tersendiri di luar lingkup pengadilan negara atau hinga saat ini tidak berada dalam lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Meski demikian, bukan tidak mungkin di Indonesia peradilan adat di masa yang akan datang akan masuk dalam sistem peradilan nasional dan menjadi bagian Mahkamah Agung, namun dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan bahwa perkara yang diselesaikan harus berujung pada perdamaian.