DISKUSI SAGOE.ID 31 JULI 2021: Menjaga Tradisi Intelektual & Menghormati Perbedaan Pandangan Untuk Kebijakan Publik Berkualitas. Fasilitator: Dr. Fahmi Abduh Dahlan.
Pada hari Sabtu lepas (31 Juli 2021) dilaksanakan sebuah Diskusi Publik dengan tema : UUPA, Kebijakan Publik Islami dan Arah Kebijakan Ekonomi Aceh di Sagoe.id. Diskusi publik ini adalah diskusi akademik yang menghadirkan pembicara yang yang memiliki pandangan beragam. Pembicara dan peserta diskusi terdiri atas aktivis, akademisi, politisi, jurnalis, praktisi dan kalangan lainnya yang semuanya punya pandangan yang memiliki visi untuk mendukung implementasi nilai-nilai syariah sesuai Maqashid Sharia dalam rangka mewujudkan nilai nilai keadilan dalam sebuah kebijakan publik Islami.
Lebih jauh, masing-masing para pembicara memberikan pandangan akademik sesuai kapasitas keilmuwan dan pengalamannya selama ini untuk melihat secara lebih jernih visi Aceh masa depan sesuai dengan amanat dari UUPA sesuai perspektif masing-masing. Sesuai dengan kondisi kontekstual yang mengemuka di ruang publik, produk Qanun no. 11 tahun 2018 LKS sebagai salah satu produk regulasi turunan dari UUPA dibahas sebagai “case study” dalam memaknai arah kebijakan ekonomi Aceh saat ini dan Aceh masa depan.
Di sesi awal, sebagai perbandingan “best practice”, Prof. Abdul Razak (Director of Bait Al Amanah, Malaysia) menyampaikan bahwa Malaysia dengan pendekatan “sistem dual banking” telah memulai proses implementasi sejak tahun 1983 dan dalam proses implementasi tersebut dilakukan dengan cara “gradual” (step by step process) dengan masa persiapan selama 10 tahun. Kehadiran Perbankan Syariah di negara tersebut memberikan alternatif produk layanan jasa perbankan kepada warga negara sesuai prinsip-prinsip yang Islami. Namun demikian, sistem perbankan konvensional yang telah berkembang dengan infrastruktur dan layanan output yang lebih baik menjadi sparring partner bagi Islamic Banks yang baru tumbuh untuk saling melengkapi (complementary system) dalam atmosfir yang kompetitif. Hasilnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, market share Bank Syariah tumbuh sangat baik yang di penghujung tahun 2020 sudah diposisi lebih dari 30%.
Prof. Razak menambahkan bahwa proses ini tidak mudah dan melewati banyak tantangan terutama terkait dengan sumber daya manusia (SDM). Malaysia mengirim talenta terbaik e.g. ke beberapa universitas terbaik di luar negara e.g. Stanford University dan California Institute of Technology untuk memperkuat SDM di institusi perbankan. Dalam konteks implementasi kebijakan, Prof. Razak menyampaikan bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat hanya secara “legal formal” (baca : hanya kepada Produk Hukum itu), tanpa melihat kondisi kontekstual e.g. “readiness criteria” terkait kondisi faktual di lapangan dalam berbagai aspek. Pengabaian terhadap kondisi tersebut akan mengakibatkan kebijakan yang dipilih itu tidak dapat bekerja dengan baik untuk mencapai visi yang direncanakan dalam produk regulasi tersebut.
Prof. Razak juga menambahkan bahwa SDM adalah kata kunci dan tidak hanya berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi syariah tapi juga lintas bidang keilmuwan lain yang harus dipersiapkan dengan baik. Dalam catatan akhirnya, Prof. Razak menyampaikan bahwa Dual Banking System adalah strategi yang mempertimbangkan kondisi kontekstual untuk memberikan kemaslahatan yang lebih besar dengan belajar dari studi kasus implementasi di Malaysia.
Selanjutnya, Prof Syahrizal Abbas menyampaikan penjelasan terkait bagaimana Keistimewaan Aceh diterjemahkan dari sudut pandang UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UUPA No. 11 Tahun 2006. Prof. Syahrizal menjelaskan sejarah perbankan Syariah di Indonesia yang telah dimulai sejak era tahun 1990an. Dalam konteks Aceh, tafsir “jalan syariat” dilakukan oleh pihak otoritas yang dituangkan dalam produk regulasi/hukum yang secara normatif dan konsepsional diarahkan untuk mencapai tujuan yang berkeadilan. Dalam hal ini, mekanisme kerja perbankan syariah dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip syariah. Namun demikian, ada catatan khusus yang perlu diberikan terkait proses implementasi yang saat ini berlangsung dengan menimbang kondisi realitas yang terjadi.
Beberapa persoalan tersebut harus disikapi dengan serius, beberapa di antaranya seperti penguatan jenis produk perbankan yang kompetitif, sumber daya manusia insani dan kemajuan teknologi informasi sehingga mampu menghadirkan produk dengan pelayanan paripurna untuk seluruh warga negara tanpa kecuali secara inklusif sesuai tuntunan syariat. Sebagai catatan akhir, Prof. Syahrizal menutup dengan catatan kritis bahwa proses tersebut dalam sisi practice masih memerlukan waktu dan harus menjadi catatan konstruktif dalam memaknai alternatif strategi yang paling maslahan bagi Aceh dalam perspektif kebijakan publik Islami sesuai prinsip-prinsip syariah yang berkeadilan.
Para pembicara lain yang menyampaikan pandangan adalah Ustadz Irawan Abdullah (Politisi), Afwal Winardi (Ketua APERSI Aceh), Nurzahri (Politisi), Teuku Munandar (Analis Perbankan), Zulkarnaen (Praktisi Perbankan), Dr. Hafas Furqani (Akademisi), Raihal Fajri (Aktivis) dan Arabiyani (Aktivis). Semua pembicara mengeksplorasi beragam pandangan dengan perspektif yang berbeda dengan melihat realitas kondisi faktual di lapangan.
Dari seluruh pembicara di atas, ada yang sepakat dengan pilihan single banking sebagaimana yang dituangkan dalam Qanun LKS sebagai pilihan terbaik sesuai dengan amanat UUPA sebagai bentuk implementasi keistimewaan dan kekhususan Aceh. Di sisi lain, beberapa pembicara juga mencerdasi pendekatan dual banking system sebagai “best practice” yang menjadi pilihan mayoritas negara muslim di dunia sebagai alternatif strategi untuk Aceh sebagai kebijakan terbaik untuk menterjemahkan bentuk “keistimewaan” dan “kekhususan” Aceh. Pertimbangan yang digunakan terkait opsi dual banking ini adalah posisi Aceh dalam konstelasi di level nasional dan global untuk mendorong arah kebijakan inklusif untuk ekonomi Aceh yang terbuka sesuai amanat UUPA.
Secara lebih khusus,terkait kendala di lapangan, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Indonesia (APERSI Aceh) menyampaikan kendala yang mereka hadapi terkait pembiayaan kegiatan pembangunan perumahan di Aceh saat ini pasca implementasi Qanun LKS dengan harapan ada alternatif solusi yang segera dihadirkan oleh stakeholders di Aceh. Namun demikian, walaupun para pembicara memiliki warna pandangan yang berbeda namun semua pembicara menyampaikan bahwa opsi single atau dual banking system tersebut ditujukan untuk mentransformasi kondisi Aceh menjadi lebih baik di masa yang akan datang sesuai dengan amanat dan visi UUPA.
Sebagai catatan akhir, fasilitator diskusi, Dr. Fahmi Abduh Dahlan menyampaikan catatan kritis bahwa dalam konteks implementasi sebuah produk hukum, menempatkan makna tekstual dalam sebuah produk hukum harus mengacu kepada kondisi kontekstual yang menggambarkan kondisi realitas di lapangan sehingga kebijakan/rencana/program yang dituangkan dalam produk hukum sebagai kebijakan publik tersebut dapat bekerja dengan baik untuk mencapai “objectives dari Maqashid Sharia” atau visi yang ingin dicapai oleh sebuah produk regulasi.
Sebagai catatan penutup, Dr. Fahmi Abduh Dahlan juga menyampaikan catatan, bahwa perbedaan pandangan yang hadir dalam proses diskusi harus dihormati karena sesungguhnya perbedaan tersebut akan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik/produk regulasi terkait untuk menghadirkan nilai-nilai “rahmatan lil alamin”, yaitu kesejahteraan dan keadilan sesungguhnya bagi masyarakat Aceh.
Sharia means the way to reach the sources. In this context, implementation of the laws in referring to a way is an approach to reach the objectives of Maqashid Sharia (Justice). Therefore, We must read the laws in the light of the way to reach the objectives. Forgetting the way will contradict the laws with the objectives.
Credit to : “The Objectives of Maqashid Sharia”, Prof. Tariq Ramadhan, Oxford University.