Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Meusyedara, secara sederhana bisa diartikan sebagai usaha (untuk) bersaudara. Di Aceh, tali persaudaraan semacam ini disambung dengan berbagai penyambung. Ada yang secara geneologis, pun tidak kurang secara teritorial. Orang-orang yang meusyedara, biasanya semakin dekat dengan meuseuraya. Meuseuraya ini dekat dengan meuripee.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia-Aceh yang disusun Hasan Basry, maksud meuripee dan meuseuraya hakikatnya hampir sama. Keduanya ingin mengurangi beban kebutuhan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ketika ada keinginan untuk melaksanakan hajat dalam satu keluarga, semua anggota urun (urunan). Bukan sesuatu yang berat menyediakan seekor sapi untuk kebutuhan demikian, ketika semua anggota di dalamnya turut serta. Proses inilah yang bergeser dari satu anggota ke anggota lain.
Dalam konteks kegiatan yang membutuhkan tenaga, mereka juga saling menyumbang satu sama lain. Pekerjaan berat orang yang satu, akan dibantu oleh sesama. Ketika ini berpindah, maka orang yang pernah dibantu, akan turut membantu. Begitulah selalu prosesnya berputar. Tidak masalah jika hal itu dilakukan dengan perasaan bahagia. Perasaan ini muncul ketika tidak ada proses hitung-hitung. Kerja di tempat kita sedikit lebih ringan dan di tempat orang agak sedikit berat, merupakan hal-hal yang tidak dihitung. Kalkulasi untung-rugi, berat-ringan, tidak tampak.
Dalam wujud yang lain, dengan tanpa proses perlu pergantian, dinamakan dengan meuseuraya. Dalam Kamus di atas disebutkan, kata meuseuraya ini diungkapkan dengan banyak sekali makna, mulai dari bahu-membahu, ikut serta, gotong royong, mengerahkan orang, cara kolektif, koperatif, serentak, rombong (an), dan sanding. Semua kata-kata itu bermakna (meu)seuraya.
Umumnya pekerjaan yang dilakukan milik umat, atau terkait dengan kepentingan orang banyak. Kepentingan ini antara lain ditentukan oleh bagaimana perasaan sesama itu masih melekat. Cara paling mudah untuk membuktikan adalah seberapa orang merasa harus ikut serta ketika ada masalah muncul dalam kehidupan mereka. pekerjaan bersama yang dilakukan juga bermaksud memudahkan kehidupan mereka sendiri.
Membersihkan kampung semacam saluran air, membangun bangunan publik, dan sebagainya. Bahkan untuk melunasi utang orang yang sudah meninggalkan pun, akan dilakukan dengan pola ini. Di kampung-kampung biasanya ada orang yang secara geneologis tinggal sebatang kara. Orang yang demikian meninggalkan dari orang lain. Ketika ia meninggal, maka orang-orang kampung akan melunasi utangnya –kecuali jika tempat orang berutang itu memaafkan.
Zaman yang semakin miskin nilai bersama, akan mempertanyakan saling bersanding semacam ini. Dengan semakin mengentalnya sikap individual, orang sudah merasa bisa memenuhi berbagai kebutuhan dirinya tanpa perlu bantuan orang lain. Bahkan ketika ada orang yang musibah di samping rumah pun, sudah tidak merasa ada kebutuhan untuk mengunjunginya.
Padahal dalam nilai bersama, ketika pada kondisi ini, orang tidak melakukan aktivitas apapun sebelum di rumah musibah diselesaikan secara bersama.
Begitulah, lalu dalam dunia yang miskin nilai ini, orang-orang sudah tidak bisa mengenal satu sama lain secara mendalam. Antar orang kampung bahkan sudah tidak mampu mengenali sesama mereka. Malah ada kesan selama ini, orang baru saling mengenal tetangganya ketika ada masalah. Waktu semuanya diselesaikan, para orang tua menjelaskan posisi mereka yang bermasalah itu. Bukan hanya dengan saudara dekat teritorial, bahkan dengan saudara dekat geneologis pun, orang-orang sudah banyak berhijab.