Oleh: Putri Zahira
Dari semua hal yang saya pelajari selama meneliti minat generasi muda terhadap museum, satu hal yang yang pasti. Adat, budaya, sejarah dan warisan yang ada, tidak butuh hal megah untuk terus diingat.
Saat Sejarah Terlupa di Tanah Sendiri
Saya lahir dan tumbuh di keluarga dan lingkungan yang tidak sepenuhnya asing dengan kehangatan adat dan tradisi lokal. Ketika kecil, saya menjumpai rumah tinggi seperti bentuk panggung atau dikenal dengan Rumoeh Aceh yang cukup menarik perhatian dan terlihat berbeda, juga berbagai benda tradisional seperti dalong (tempat menyimpan padi), periuk tanah liat, tampayan, dapur kayu dan berbagai benda tradisional lainnya. Terselib jejak sejarah kehidupan masyarakat Aceh tempo dulu yang belum sempat saya kenali. Tumbuh rasa ingin tahu, hal ini terjawab dengan peninggalan-peninggalan di Museum Aceh.
Museum Aceh ialah suatu tempat yang berada di Banda Aceh, di dalamnya menyimpan serta memamerkan koleksi benda-benda bersejarah dan budaya dari suku-suku asli Aceh, termasuk artefak, senjata, pakaian adat dan daya tarik utamanya “Rumoh Aceh”. Didirikan pada 1915 oleh pemerintah kolonial Belanda. Museum ini diharapkan dapat membuka jendala wawasan masyarakat khususnya generasi muda tentang apa dan bagaimana sejarah dan budaya kita sendiri. Tapi saya menyadari, semakin ke sini, minat generasi muda terhadap museum seolah pudar dan terkubur dalam dunia modernisasi.
Itulah yang mendorong saya meneliti kesenjangan ini dalam sebuah studi etnografi. Saya bukan hadir sebagai ahli, bukan pula penyair kata dan pewaris, melainkan seorang mahasiswa yang ingin memahami lebih dalam. Bagaimana peninggalan-peninggalan tersebut hidup hari ini? Bagaimana ia bertahan? Dan sampai batas mana warisan tersebut masih dikenal dan tersisa di ingatan generasi muda yang hidup di era modern dan serba instan sekarang?
Saya memilih Kota Banda Aceh sebagai titik berangkat. Sebuah ibu kota provinsi yang menjadi tempat peninggalan-peninggalan Aceh yang terus dilestarikan dan dikemas dalam sebuah tempat bernama Museum Aceh. Di daerah ini saya bertanya, mencatat, dan mendengarkan, bukan tentang sejarahnya, tapi tentang keingintahuan yang mulai pudar dan terlupa.
Kenapa Penting bagi Kita?
Museum menjadi tempat kita mengenal jejak kehidupan panjang masyarakat Aceh, dimulai dari tradisi, kesenian, hingga perjuangan rakyat Aceh. Generasi muda juga dapat mempelajari nilai perjuangan, adat dan seni secara langsung. Benda-benda yang ada di museum juga menyadarkan kita akar budaya sendiri, sehingga menjadi suatu identitas yang harus tetap terjaga.
Museum juga berperan sebagai media pelestarian warisan leluhur yang akan tetap hidup untuk generasi mendatang. Selain itu, juga menjadi daya tarik wisata, sehingga selain berorientasi pada edukasi juga berdampak pada perekonomian masyarakat melali kunjungan wisata.
Catatan Mahasiswa di Banda Aceh
Jalan Teuku Nyak Arief Kampus Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, menjadi tempat pertama saya secara nyata menjalani proses etnografi kali ini. Saya hadir bukan sebagai peneliti yang serba tahu, melainkan mahasiswa yang sedang belajar untuk lebih banyak mendengar. Di sini saya mendengar banyak hal di masyarakat, kurangnya minat generasi muda untuk mengunjungi Museum Aceh, hingga rasa enggan mereka untuk mengetahui kekayaan sejarah Aceh dan budaya yang tersaji di dalamnya.
Saya berbincang dengan beberapa Mahasiswa yang ramah dan bersahaja. Di lingkungan perpustakaan yang nyaman, sambil sesekali melirik kertas dan gedget yang di genggamnya, narasumbar memberi pengakuan bahwa pengalamannya yang pertama ke museum, dikarenakan tugas yang mengharuskannya datang. Namun, ia merasa takjub dan semangat ketika melihat semua yang disajikan oleh museum.
“Saya masih baru di sini, belum kepikiran juga untuk main lagi ke sana, itu juga karena ada tugas, makanya saya datang”
“Tapi seru dan menyenangkan juga sih”.
Sambil mencatat, saya melihat adanya dampak positif dari tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa. Selain untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu, mereka tergerak untuk mendapat dan mengetahui informasi yang ada di museum.
Saat ditanya apa ada keinginan untuk kembali berkunjung? :
“Ada, mungkin nanti pas ada waktu”
Di sisi lain, narasumber lainnya menyebut belum ada keinginan kembali berkunjung ke Museum; setelah ia datang sebelumnya bersama keluarganya saat ia kecil. Ia merasa museum tetap ada dan bisa didatangi nanti atau kapan saja, ia berkata:
“Mungkin kalau bareng keluarga mau, tapi kalau untuk hiburan sepertinya jadi pilihan kedua.”
“Kalau sama kawan mungkin ke museum juga karena fomo, pengen foto-foto buat update story inst*gram”.
Pengakuan tersebut mengemas siratan bahwa mengesampingkan museum sebagai sarana ilmu pengetahuan mengenai seni, warisan dan budaya yang ada, sebaliknya sebagai ajang atau bahan konsumsi di platform media sosial.
Meski begitu, dengan jujur dan spontan, ia menyebutkan:
“Sebenarnya sedih juga terhadap perilaku ini, dan harus diubah sih, tapi gimana ya, saya sendiri bingung karena museum kan cuma itu-itu aja”.
Di balik respon kejujuran itu menyiratkan rasa miris dan kecewa, terdapat gagasan ingin mengubah perilaku yang seharusnya ada sesuatu yang harus kita jaga, bukan hanya soal mengingat, tapi juga kemauan yang serta-merta untuk mempraktekkannya kembali.
Ketika Museum Terlupa oleh Teknologi
Perkembangan teknologi membawa banyak kemudahan dan perubahan pastinya. Generasi muda lebih akrab dengan gawai, media sosial, berbagai aplikasi, dan hiburan instan. Akibatnya, minat generasi muda untuk berkunjung ke tempat edukasi tradisional seperti museum semakin berkurang. Museum sejatinya adalah ruang sejarah, budaya, dan identitas kini dianggap kurang menarik dibandingkan teknologi yang menampilkan berbagai kemudahan dan informasi secara instan. Hal ini menyebabkan museum kehilangan daya tariknya di mata generasi muda, yang lebih memilih dunia digital sebagai sumber utama hiburan maupun pengetahuan.
“Saya belum pernah dan gak kepikiran aja kalao ke Museum Aceh, kebetulan sudah lihat-lihat di internet juga dan sudah tahu sekilas bentuknya. Hmm… mungkin nanti deh pas ada waktu”.
Saya menyimak dan mencatatnya dalam hati sebagai bentuk realita yang mungkin juga dialami oleh generasi sepantaran lainnya. Menyadari bahwa teknologi semakin canggih seperti kemudahan informasi berbasis online, namun juga menyurutkan interaksi langsung terhadap museum yang tak lagi dianggap terlalu penting.
Ia melanjutkan:
“Saya sebenarnya lebih suka dan tertarik ke musium di luar Aceh, misalnya yang di Jawa, kebetulan lahir di sana tapi menetap di sini”.
“Budaya luar juga menarik, Jepang misalnya, saya tahu karena memang tontonan dari kecil seperti Anime”.
Saya mencatat kalimat itu dengan serius dan pasti, namun kutipan ini agak sedikit menohok mengingat narasumber menyebutkan lebih tertarik dengan budaya luar. Di balik kemudahan ternologi terdapat jarak yang semakin meluas antara generasi muda dengan warisan budaya sendiri.
Di sisi lain, saya juga ikut mewawancarai seorang ibu yang sedang menemani anaknya mengikuti kegiatan study tour di Museum Aceh, ia mengakui anak yang sekarang sedang menempuh pendidikan tingkat TK dan SMP merasa tertarik dan semangat ketika di ajak ke museum, tetapi putra sulungnya yang kini menempuh pendidikan di SMA, kurang tertarik dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan temannya.
“Anak-anak suka berkunjung sekalian main, sedangkan yang SMA kurang berminat dan lebih memilih nongkrong bareng kawannya”
“Generasi sekarang kurang tau sejarah”.
Di lapangan, saya menemukan banyak ibu mengakui bahwa gadget, lingkungan pertemanan dan kurangnya edukasi dari orang tua kepada anak juga menjadi faktor utama yang menyebabkan timbulnya rasa tidak tertarik dan menganggap belajar sejarah itu kurang menyenangkan. Selain itu, peminat seni juga berkurang dan pameran yang dilangsungkan juga kebanyakan didominasi oleh mahasiswa seni atau pecinta seni itu sendiri.
“Seni tari juga terpengaruh oleh dance seperti yang viral di t*ktok”
Perkembangan zaman dan perubahannya memang mendominasi namun tidak bisa disalahkan, kita sendiri yang harus mampu mengakrapkan dan menyesesuaikan diri namun tidak lupa dengan akar budaya sendiri. Seorang ibu berkata: “Teknologi tidak selamanya buruk, tergantung bagaimana kita menggunakannya, mencari dan menonton sejarah misalnya.” Itu adahal yang memang harus kita sadari, karna hal tersebut merupakan salah-satu bentuk kita bernegosisi dengan modernisasi. Selain itu, ekonomi juga turut serta berperan dalam hal ini, kurangnya fasilitas yang memadai juga menyurutkan minat masyarakat khususnya generasi muda untuk datang ke museum.
Di sesi terakhir wawancara, saya mencatat dengan penuh haru, ketika narasumber mengatakan bahwa ia menaruh harapan kepada anaknya agar kelak dapat menempuh pendidikan di luar dan membawa nama Aceh agar lebih dikenal oleh banyak orang, seperti adat dan budaya serta warisan yang ada.
Sedikit Demi Sedikit, Kesadaran Dapat Diarahkan Kembali
Dari semua hal yang saya pelajari selama meneliti minat generasi muda terhadap museum, satu hal yang yang pasti. Adat, budaya, sejarah dan warisan yang ada, tidak butuh hal megah untuk terus diingat. Namun, kesadaran dari diri kita sendiri bahwa penting untuk mengetahui identitas, sejarah dan kebudayaan serta kemauan untuk mengedukasi kepada orang lain, bahkan generasi kita selanjutnya.
Dunia berubah, dan kita ikut terlebur di dalamnya. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua kemudahan yang ada. Tetapi mengolahnya dengan cara kita agar selaras dengan perkembangan zaman masa kini namun tetap sesuai dengan akar budaya sendiri. Perubahan boleh ada, tapi identitas budaya… jangan sampai terlupa! []
Tentang Penulis:
Putri Zahira adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni di Universitas Syiah Kuala. Lahir dan besar di Aceh Barat, ia tumbuh dengan ketertarikan kuat pada seni rupa sebagai ruang eksplorasi visual dan ekspresi diri. Di kampus, ia aktif mendalami seni pertunjukan sekaligus mengasah minat pada seni gambar dan praktik visual kontemporer. Sebagai calon pendidik seni, Putri percaya bahwa pendidikan seni bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga tentang membangun kepekaan, imajinasi, dan pola pikir reflektif untuk menghadapi dunia yang terus bergerak dinamis.