Oleh: Sahlan Hanafiah
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Menjelang peringatan 17 tahun MoU Helsinki, seorang kolega mengajukan pertanyaan sulit seperti judul di atas ke saya. Tentu ia tidak dalam posisi sedang bertaruh atau berharap agar damai Aceh gagal, melainkan benar-benar kagum sekaligus penasaran dengan capaian yang diraih Aceh hingga damai mampu bertahan 17 tahun lamanya.
Menurutnya, bertahannya perdamaian Aceh hingga jangka waktu lama merupakan sebuah keganjilan karena bertolak belakang dari data dan teori yang pernah ia baca.
Untuk menyakinkan saya, ia menunjukkan data perdamaian yang gagal antara 1945-2013 yang dihimpun oleh Universitas Uppsala, Swedia. Pada tahun tersebut, dari 105 negara yang pernah mengalami perang saudara seperti Aceh, 59 atau lebih setengah di antaranya kembali terjerumus ke dalam konflik. Artinya, jumlah perdamaian yang gagal lebih besar dari jumlah perdamaian yang bertahan.
Sementara berdasarkan teori yang ia baca, bertahan atau gagalnya perdamaian sangat dipengaruhi oleh faktor seperti; cara konflik berakhir, sisa akar konflik masa lalu, pemilu dini, keberadaan pasukan perdamaian, dan keadilan transisi.
Mengutip hasil penelitian Caplan dan Hoeffler (2017), kolega saya menyebutkan, cara konflik berakhir akan menentukan jangka waktu lamanya sebuah perdamaian bertahan.
Jika konflik berakhir atau damai diraih dengan cara kemenangan militer, seperti yang terjadi di Sri Lanka, di mana militer menggempur habis kelompok pemberontak Macan Tamil Ealam, maka durasi damai tanpa kekerasan akan bertahan lebih lama. Sebaliknya, jika konflik berakhir melalui meja perundingan, maka durasi damai akan bertahan lebih singkat.
Hasil penelitian tersebut menurutnya masuk akal karena kemenangan militer, baik militer pemerintah maupun kelompok perlawanan, menyebabkan salah satu pihak kehilangan kekuatan menyerang maupun bertahan dan pada akhirnya harus menyerah kalah. Sementara untuk membangun gerakan baru membutuhkan waktu lama.
Sementara perundingan damai tidak membuat para pihak yang berkonflik kehilangan kapasitas berperang. Perundingan dan perjanjian damai seringkali dipakai sebagai strategi mengulur waktu, melakukan konsolidasi, menghimpun logistik dan sumber daya sehingga lebih siap menghadapi gempuran.
Namun situasi seperti itu tidak terjadi dalam kasus Aceh. Pemerintah dan mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka tetap berpegang teguh pada perjanjian damai yang ditandatangan di Helsinki 17 tahun silam. Tidak ada tanda-tanda adanya gerakan yang mengarah pada persiapan konflik baru. Yang terjadi justru konsolidasi dalam bingkai sistem demokrasi dan politik Indonesia.
Kolega saya lalu merujuk variabel lain, yaitu sisa akar konflik masa lalu. Mengutip Paul Collier, Hoeffler dan Soderbom (2004) ia menyebutkan, jika akar konflik masa lalu seperti kemiskinan dan korupsi masih ada atau belum selesai, maka kemungkinan besar perdamaian akan berakhir dalam jangka waktu singkat.
Namun ketika melihat kenyataan Aceh hari ini, kolega saya meragukan teori tersebut. Kemiskinan hingga kini masih menjadi masalah utama di Aceh. Begitu pun dengan korupsi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis antara Maret-September 2021 menunjukkan Aceh berada pada posisi provinsi termiskin di Pulau Sumatra dan masuk dalam lima provinsi dengan penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Tapi kemiskinan akut tersebut tidak menggagalkan perdamaian dan tidak pula menyebabkan terjadinya konflik baru.
Lalu kolega saya beranjak ke pelaksaan pemilihan umum dini. Mengutip hasil riset Anna K. Jarstad (2009), ia menyebutkan bahwa pemilihan umum yang digelar terlalu cepat, beberapa bulan setelah perjanjian damai, umumnya dapat menyebabkan durasi damai berlangsung singkat.
Sebab, situasi pada fase awal biasanya belum stabil. Senjata ilegal masih beredar luas, kepercayaan belum tumbuh, ekonomi masih sulit, dan masyarakat masih terbelah. Jadi, menggelar pemilu dalam situasi seperti itu sangat rawan. Apalagi pemilu sifatnya kompetisi. Ketegangan pasti sangat mudah terjadi.
Namun kekhawatiran Anna K. Jarstad tidak sepenuhnya terjadi di Aceh. Meski gesekan dan ketegang di lapangan sempat terjadi, akan tetapi tidak sampai merusak damai. Sejak 2006, Aceh bahkan telah menggelar pilkada, pemilu legislatif dan presiden hingga berulang kali. Kenyataannya perdamaian Aceh masih tetap utuh.
Keberadaan pasukan perdamaian dari hasil bacaan kolega saya juga merupakan salah satu elemen penting dan menentukan bertahan atau tidaknya damai. Mengutip Fortna (2004) kolega saya menyebutkan, semakin lama pasukan perdamaian berada di daerah paska konflik maka semakin lama pula damai bertahan.
Dalam kasus Aceh, AMM atau Aceh Monitoring Mission selaku pemantau proses damai hanya berada di Aceh selama satu tahun satu bulan (15 September 2005 hingga 15 Desember 2006). Mereka meninggalkan Aceh bahkan sebelum semua butir-butir penjanjian damai diimplementasikan. Kenyataannya, damai Aceh tetap bertahan.
Lalu kolega saya menyorot keadilan transisi. Sambil mengutip Loyle dan Appel (2017) ia menyebutkan bahwa keadilan transisi paska konflik merupakan salah satu yang paling menentukan bertahannya damai. Sebab, keadilan adalah salah satu yang kerap dijadikan alasan utama memberontak.
Namun dalam kasus Aceh kenyataannya ternyata berbeda. Meski para pelaku kejahatan masa konflik tidak diadili, kebenaran belum diungkap, rekonsiliasi antara pelaku dan korban belum terjadi, dan hak-hak korban belum sepenuhnya dikembalikan, perdamaian Aceh tetap bertahan.
Kondisi tersebut membuat kolega saya semakin penasaran. ”Lantas apa yang membuat perdamaian Aceh mampu bertahan hingga 17 tahun lamanya?” tanyanya penuh penasaran ke saya. Saya hanya mampu menggelengkan kepala, memberi sinyal bahwa saya pun tidak tahu.[]