Oleh Marwidin Mustafa
Penulis Jamaah Masjid Raya Baiturrahman dan Penikmat Isu-isu Strategis di Aceh
Pemerintah Mualem-Dek Fadh harus memastikan bahwa gas dari tanah Aceh benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Dengan strategi lobi yang cerdas dan kebijakan yang tepat, Aceh bisa kembali ke masa keemasannya, kali ini bukan dengan Petro Dolar, tetapi dengan Petro Dirham sebagai simbol kemandirian ekonomi yang sesungguhnya.
Penemuan cadangan gas baru di lepas pantai kawasan atas Meureudu dan Samalanga membawa harapan baru bagi Aceh. Di tengah tantangan ekonomi dan menipisnya dana otonomi khusus, kekayaan migas ini bisa menjadi tonggak kebangkitan ekonomi daerah. Namun, sejarah telah mengajarkan bahwa tanpa strategi lobi yang kuat ke pemerintah pusat, Aceh hanya akan menjadi penonton dalam eksploitasi sumber daya alamnya sendiri.
Kita harus belajar dari sejarah. Di masa lalu, Aceh pernah berjaya dengan industri migas melalui PT Arun, yang menjadikan Lhokseumawe sebagai ‘Kota Petro Dolar’. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran Gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, yang memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Soeharto untuk memastikan bahwa pengelolaan gas Arun memberikan manfaat maksimal bagi Aceh. Kini, dengan penemuan gas terbaru di Blok Meureudu dan Samalanga, sejarah itu harus diulang, tetapi dengan model yang lebih berpihak kepada rakyat Aceh.
Dalam sebuah podcast di media SagoeTV pada Jumat, 7 Maret 2025, akademisi Universitas Syiah Kuala, Dr. Tgk. H. M. Adli Abdullah, SH, MCL, mengatakan bahwa Mualem-Dek Fadh sebagai pemimpin Aceh saat ini memiliki kesempatan emas untuk mengukir sejarah baru dengan melobi Presiden Prabowo Subianto. Lobi ini bukan sekadar meminta bagian dari eksploitasi migas, tetapi memastikan bahwa pengelolaan sumber daya ini dilakukan di Aceh, dengan melibatkan tenaga kerja lokal, membangun industri hilir, serta menciptakan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat. Sabang bisa menjadi pusat ekspor, tetapi Aceh juga harus menjadi pusat pengolahan dan distribusi gas, bukan hanya menjadi wilayah eksploitasi.
Mantan Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN ini juga pernah menyampaikan pandangannya bahwa Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) harus berfungsi sebagai badan yang benar-benar strategis, bukan sekadar lembaga birokrasi yang hanya mengawasi eksploitasi oleh perusahaan asing. Kontrak kerja sama yang berpihak pada Aceh harus diperjuangkan, termasuk skema bagi hasil yang lebih adil. Jangan sampai gas dari Meureudu dan Samalanga hanya dipipanisasi ke luar Aceh, sementara rakyat Aceh tetap hidup dalam keterbatasan.
Jika Mualem mampu memainkan strategi politik dan diplomasi dengan baik, bukan tidak mungkin era kejayaan migas Aceh bisa kembali. Kali ini, dengan sebutan ‘Petro Dirham’—simbol ekonomi berbasis migas yang benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat Aceh. Prabowo sebagai presiden tentu memahami arti strategis Aceh dalam peta energi nasional. Jika kedekatan politik ini dimanfaatkan dengan cermat, Aceh bisa mendapatkan bagian yang lebih besar dalam industri migas, menghidupkan kembali kawasan industri berbasis gas di Lhokseumawe, dan menciptakan ribuan lapangan kerja baru.
Aceh tidak boleh lagi hanya menjadi objek eksploitasi tanpa mendapatkan keuntungan nyata. Pemerintah Mualem-Dek Fadh harus memastikan bahwa gas dari tanah Aceh benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Dengan strategi lobi yang cerdas dan kebijakan yang tepat, Aceh bisa kembali ke masa keemasannya, kali ini bukan dengan Petro Dolar, tetapi dengan Petro Dirham sebagai simbol kemandirian ekonomi yang sesungguhnya.
Pengelolaan Sumber Daya Aceh
Aceh kembali dihadapkan pada peluang besar dalam industri migas. Penemuan cadangan gas baru di lepas pantai kawasan atas Meureudu dan Samalanga menjadi angin segar bagi perekonomian daerah, yang sejak lama merindukan kejayaan industri migas seperti era PT Arun di Lhokseumawe. Kini, di bawah kepemimpinan Mualem-Dek Fadh, Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kekayaan alam ini tidak hanya menjadi angka statistik dalam laporan eksplorasi, tetapi benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Aceh.
Pemerintah Aceh tidak boleh hanya menjadi penonton dalam eksploitasi sumber daya alamnya sendiri. Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan bahwa hasil dari eksploitasi gas ini tidak hanya mengalir keluar daerah, tetapi juga memberikan dampak langsung bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa gas dari Aceh akan dipipanisasi langsung ke Medan atau Jakarta tanpa memberikan nilai tambah bagi perekonomian lokal.
Sabang sempat diusulkan sebagai pusat ekspor gas, mengingat lokasinya yang strategis dan kedekatannya dengan lapangan migas Andaman. Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) telah berkomitmen menjadikan Sabang sebagai pusat logistik (shorebase) bagi kegiatan eksplorasi migas di Blok Andaman. Mubadala Energy, perusahaan migas asal Uni Emirat Arab, tengah mempertimbangkan penggunaan fasilitas pelabuhan di Sabang, yang dapat menjadi langkah awal dalam memastikan bahwa Aceh memiliki kontrol lebih besar dalam rantai distribusi gasnya.
Berpihak pada Rakyat Aceh
Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) memegang peran kunci dalam memastikan bahwa pengelolaan migas di Aceh berjalan dengan optimal. Namun, BPMA harus lebih dari sekadar lembaga birokrasi tanpa arah. Institusi ini harus diisi oleh individu-individu yang memiliki visi strategis, pemahaman mendalam tentang industri migas, serta kemampuan melakukan negosiasi yang menguntungkan bagi Aceh.
Sejarah panjang perjuangan Aceh dalam mendapatkan hak bagi hasil migas menunjukkan bahwa tanpa strategi lobi yang kuat, kepentingan daerah bisa dengan mudah terpinggirkan. Setelah melalui 125 kali pertemuan, akhirnya lahirlah PP 23 Tahun 2015 yang mengatur pembagian hasil migas dengan skema 70:30 atau 30:70, tergantung pada lokasi eksplorasi. Aceh juga berhasil memperoleh hak bagi hasil dari eksploitasi migas di luar 12 mil laut setelah negosiasi panjang dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ini menunjukkan bahwa pendekatan politik dan diplomasi yang tepat sangat diperlukan agar Aceh mendapatkan manfaat maksimal dari sumber dayanya.
Aceh tidak boleh jatuh ke dalam jebakan sejarah yang sama, di mana kekayaan alamnya dikeruk tanpa memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Pemerintah Aceh harus memastikan bahwa kontrak kerja sama dengan perusahaan migas dibuat dengan skema yang menguntungkan daerah. Lebih dari sekadar bagi hasil, Aceh harus memiliki kontrol lebih besar dalam pengelolaan industri ini.
Strategi konkret harus segera diterapkan, termasuk peningkatan keterlibatan tenaga kerja lokal, pembangunan infrastruktur pendukung, dan pengembangan kawasan industri berbasis migas di Lhokseumawe dan sekitarnya. Jika dikelola dengan baik, gas dari lepas pantai kawasan atas Meureudu dan Samalanga dapat menjadi bahan bakar utama bagi kebangkitan ekonomi Aceh.
Momentum ini adalah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan. Pemerintah Aceh, di bawah kepemimpinan Mualem-Dek Fadh, harus memiliki visi yang jelas dan langkah nyata dalam memastikan bahwa Aceh tidak lagi menjadi korban eksploitasi tanpa manfaat nyata. Dengan strategi yang matang, Aceh bisa kembali menjadi salah satu pusat industri migas terbesar di Indonesia, mengembalikan kejayaan yang dulu pernah diraih, dan memastikan bahwa hasil bumi ini benar-benar menjadi berkah bagi rakyat Aceh. Jangan biarkan sejarah terulang, saatnya Aceh mengambil kendali atas masa depannya sendiri. Semoga!